Salah satau ajaran Islam adalah menghormati guru, ulama, atau ahlul ‘ilmi. Di masyarakat Indonesia ini, ulama atau ahlul ‘ilmi lebih banyak dikenal di pesantren-pesantren karena yang namanya pesantren pasti memiliki pimpinan, dan pimpinannya biasanya seorang ulama yang kemudian istilah pesantrennya dikenal dengan kiai. Seorang kiai yang memimpin pesantren memiliki derajat sosial yang tinggi di hadapan masyarakat, lebih-lebih kepada santri-santrinya.
Bagi masyarakat, terutama santri, menghormati kiai merupakan kewajiban yang harus dilakukan dengan cara bersikap ta’zhim. Mungkin selain memang karena ajaran Islam menghormati seorang guru itu wajib, ditambah lagi dengan budaya yang sudah turun-temurun melekat di kehidupan pesantren. Satu hal lagi yang menjadi motivasi bagi masyarakat dan santri ketika mereka ta’zhim pada kiai, yaitu keyakinan mendapatkan barokah.
Memang, menghormati kiai atau bersikap ta’zhim merupakan kewajiban masyarakat dan santri karena beliau sebagai guru dan ulama, lebih tepatnya karena ilmunya. Namun ada beberapa hal yang perlu dikritisi untuk membangun. Ini tentang sikap hormat masyarakat dan santri kepada keluarga kiai atau orang-orang yang memiliki hubungan keluarga dengan kiai.
Masyarakat dan santri kadang menghormati keluarga kiai, anaknya, saudaranya, ponakannya. Itu bagus, menghormati karena melihat kiainya, karena ada hubungan keluarga dengan kiainya. Tapi kadang juga berlebihan dalam cara penghormatannya, sampai pada tingkat kultus. Ini yang salah. Ini yang perlu dikritisi sehingga salah satu dari mereka ketika ada yang salah tidak ditegur, tidak ada nasehat, tidak ada kritik yang membangun, dibiarkan begitu saja. Atau hanya berkomentar, jeriyah helap (dia helap). Akhirnya keluarga kiai tersebut dibiarkan salah dan terus salah. Padahal dia juga manusia, yang sama-sama memiliki kesempatan melakukan kesalahan, dan tentu butuh nasehat.
Ada sebagian pesantren yang memberi pesan bagus pada santrinya tentang menentukan sikap pada keluarga kiai. Di pesantren tersebut, santri diberi pesan bahwa jika ada keluarga kiai, anak-anak kiai, ponakan-ponakan kiai, saudara-saudarnya kiai, atau siapapun yang memiliki hubungan keluarga dengan kiai, tidak alim jangan disalami, jangan sampai disungkem (dicium tangannya). Artinya, harus bersikap biasa saja, hormati sebagai teman atau sahabat, salami secara wajar.
Pesan di atas sangat bagus dan mendidik karena jika sampai dicium tangannya, apalagi dibolak-balik tangannya, tidak karena kealimannya, tidak karena syiar Islamnya, tapi karena kerabat dengan kiai, bukan malah menghormati keluarga kiai tersebut, tapi malah membuat penyakit hati mereka.
Memang, dalam kitab “Ta’lim al-Muta’allim” ada cerita tentang santri yang menghormati gurunya, keluarganya sampai pada anaknya. Ketika anaknya lewat sedang bermain, maka si santri berdiri. Lewat lagi berdiri lagi, lewat lagi berdiri lagi, demi menghormati gurunya. Kisah ini sebenarnya ingin memotivasi para pembaca dan para pengkaji kita tersebut, bagaimana rasa tingginya menghormati seorang guru, bukan kemudian pada penekanan menghormati putra guru. Sekarang zamannya tuntutan pendidikan juga berbeda. Kalo keluarganya kiai dihormati dengan demikian, potensi untuk disalahgunakan sangat besar. Bukan mendidik, bukan menghormati, tapi meracuni.
Hal itu bukan pendidikan yang baik. Memang kita dianjurkan berbuat baik kepada orang alim, guru kita dan juga keluarganya, tapi tempatkan dengan baik. Masyarakat kita masih simpang siur memberi penghormatan pada kiai dan keluarganya, semisal tidak alim tapi karena keluarga kiainya, lantas dihormati dengan cara yang berlebihan. Ini yang akan merusak hati anak kiainya.
Contoh Lora yang menyalahgunakan sikap hormat masyarakat
Lora adalah salah satu bagian keluarga kiai. Tepatnya, anak dari kiai. Dialah yang kadang membuat ulah di masyarakat atau di pesantren dengan memanfaatkan atau menyalahgunakan sikap hormat masyarakat atau santri. Lora seperti ini biasanya berdalih, “saya kan anaknya kiai. Jadi, saya mau melakukan apa saja di pesantren ini atau di masyarakat, santri dan orang-orang tidak akan mempermaslahkannya. Paling-paling mereka hanya berkomentar pada saya, “biasa, dia lora yang helap”.
Masyarakat dan santri kadang terlalu lugu dalam memberi penghormatan pada seorang lora. Seolah-olah lora adalah manusia yang sudah lepas dari kesalahan atau kekeliruan sehingga ketika ada yang salah dari kelakuan loranya, mereka tidak menegur atau memberi nasehat, malah hanya terdiam dengan komentar, “tang lora helap (lora saya memiliki sikap yang harus dimaklumi)”.
Nasehat Tentang Menghormati Lora
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, menghormati guru atau kiai itu wajib. Menghormati beliau karena ilmunya, sementara menghormati keluarga kiai, perlu diadakan klasifikasi sesuai latar belakang keilmuannya. Karena tak semua keluarga kiai sama dengan kiainya, apalagi dalam hal keilmuannya. Apalagi ada keluarga yang sengaja memanfaatkan kekerabatan dengan kiai.
Klasifikasi ini mencakup: ada keluarga kiai yang berilmu, ada keluarga kiai yang tidak berilmu tapi memiliki peran dan karakter yang bagus di pesantren ataupun di masyarakat, atau keluarga kiai berilmu tapi tidak memiliki peran dan karakter yang bagus, dan ada keluarga kiai selain tidak berilmu dia juga tidak memiliki peran dan karakter yang bagus, justru kelakuannya seenaknya sendiri.
Dari klasifikasi di atas, sudah jelas siapa saja dari keluarga kiai yang harus dihormati sejajar dengan kiainya, dihormati sewajarnya, dan tidak perlu dihormati guna memberi pelajaran. Sebab, semisal jika ada keluarga kiai, umpama lora yang dikenal sering berbuat ulah, loratersebut tak perlu dihormati. Karena jika tetap dihormati, secara tidak langsung kita membiarkan atau malah mempersilakan kepada lora itu untuk terus melakukan kesalahan. Kita harus memahamai, bahwa lora yang seperti itu berbuat seenaknya karena dia merasa dirinya lora yang dihormati. Jika kita tidak menghormati, dia tidak akan mengulangi lagi.
Tentang penghormatan kepada manusia, termasuk kiai dan keluarganya, perlu memahami hadis yang diriwayatkan Siti Aisyah dari Rasulullah Saw.,
اَنْ نَنْزِلَ النَّاسَ مَنْزِلَهُ
“Hendaknya kita menempatkan manusia pada tempatnya.”
Maksud dari hadis di atas adalah bagaimana menempatkan manusia dalam interaksi sosial menurut perbedaan latar belakangnya. Dalam konteks pesantren, tentu di dalamnya banyak manusia yang memiliki latar belakang yang berbeda. Kiai tidak sama dengan keluarganya yang lain. Di dalam keluarganya pun pasti ada banyak perbedaan latar belakang. Oleh sebab itu, masyarakat dan santri harus cerdas dalam memberi penghormatan pada keluarga kiai, jangan sampai pada tingat kultus.
Sikap hormat yang cerdas akan memberi nilai pendidikan pada orang yang dihormati. Sementara sikap hormat yang sampai pada tingkat kultus akan menjadi racun hati pada orang yang dihormati, kecuali orang yang memang hatinya sudah taqarrub fillah. (mahadaly-situbondo)