Sayyidah ‘Aisyah Sosok Ahli Fikih

0
534

‘Aisyah merupakan satu dari beberapa istri Nabi yang mendapat gelar Ummul Mukminin, putri dari Khalifah Abubakar as-Shiddiq. Beliau dilahirkan di kota Mekkah di kediaman Muslim Karim, kira-kira 4-5 tahun setelah terutusnya Nabi sebagai Rasul, Sayyidah Aisyah mempunyai lima saudara yaitu Abdurrahman, Abdullah, Muhammad, Asma’ dan Ummu Kulsum.

Sayyidah Aisyah hidup dalam tiga fase yaitu pada masa Nabi, masa Khulafa’ur Rasidin dan sebagian masa al-Mu’awiyyah. Sayyidah Aisyah berpulang ke rahmatullah bertepatan pada bulan Ramadhan tahun ke 58 Hijriyyah seusai mengerjakan shalat witir. Beliau dimakamkan pada malam ke 17 bulan Ramadhan di pekuburan Baqi’ bersama dengan Ummul Mukminin lainnya.

Sayyidah Aisyah merupakan salah satu sumber rujukan utama dan otoritatif dalam hukum Islam. Beliau merupakan istri Nabi yang banyak mengeluarkan pendapat dalam urusan Agama. Bahkan, dapat dinilai sebagai sosok perempuan yang mempunyai kapasitas sebagai Mujtahid Mutlaq. Beliau merupakan wanita yang alim, ahli dalam obat-obatan herbal, silsilah Arab, syair-syair Arab sekaligus termasuk ahli Hadits yang tsiqah. Meskipun muridnya banyak dari kaum lelaki, Sayyidah ‘Aisyah tidak minder. Ia adalah sosok guru yang tegas, tidak tergesa-gesa dalam menyampaikan materi, lembut penuh dengan kasih sayang dan mengatakan kebenaran tanpa rasa takut maupun malu.

Lantaran kecerdasannya, ada sebagian ungkapan yang oleh para ulama dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw yaitu: خذوا نصف دينكم من هذه الحميراء يعني عائشة yang artinya Ambillah setengah pengetahuan ilmu Agama kalian dari al-Khumaira’(yakni Aisyah).

Sayyidah Aisyah menguasai dan hafal sebagian besar ayat-ayat hukum. Terbukti ketika ditanya tentang hukum, beliau tidak pernah melihat mushaf karena sudah hafal Alquran di luar kepala, beliau juga menguasai tentang makna-makna ayat, Sababunnuzul, Nasikh Mansukh, sampai-sampai sahabat Urwah yakni anak laki-laki dari saudarinya berpendapat tentang beliau “ bahwa Sayyidah Aisyah adalah salah satu dari fuqaha’ kota Madinah aku belum pernah menemukan terhadap orang yang sangat ahli seperti Sayyidah Aisyah, beliau merupakan orang yang paling alim tentang ayat yang mana diturunkan, tentang kewajiban-kewajiban, kesunnahan dan lain sebagainya”.

Salah satu yang menjadi bukti kongkrit bahwa beliau mempunyai pemahaman yang mendalam dan sangat mendetail tentang keistimewaan ayat-ayat serta urutan dalam Alquran adalah perkataan dari beliau yaitu, “Ayat Alquran diturunkan secara gradual dan terperinci diantaranya ada yang menerangkan tentang surga dan neraka sehingga apabila umat manusia telah berkumpul di dalam Agama Islam maka turunlah ayat tentang halal dan haram.”

“Seandainya ayat yang pertamakali turun berbunyi janganlah kalian meminum khamer maka niscaya mereka akan mengatakan kami tidak akan menolak khamer selamanya, seandainya ayat tentang zina yang pertamakali adalah janganlah kalian berzina niscaya mereka mengatakan kami tidak akan menolak zina selamanya, sungguh ayat ini بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهى وَأَمَرُّ turun di Mekkah ketika aku masih gadis yang masih suka bermain. Surah al-Baqarah dan an-Nisa’ tidak turun kecuali ketika aku bersama Nabi”.

Tidak perlu diragukan lagi bahwa beliau merupakan pembesar dari kalangan Muhaddits dan banyak hafal tentang sunah Nabi, beliau mempunyai riwayat Hadits dari Rasulullah sebanyak 2210 Hadis yang berposisi no 4 terbanyak periwayatan Haditsnya setelah Abu Khurairah, Ibnu Umar, dan Anas. Beliau banyak memahami tentang Asbabul Wurud Hadis, Nasakh Mansukh, termasuk perawi yang dhabit dan tsiqah, menjadi rujukan di kalangan sahabat untuk menetapkan suatu Hadits, sampai sampai Abu Musa al-Asari berkomentar tentang beliau:

ما اشكل علينا اصحاب محمد حديث قط فسالنا عائشة عنه الا وجدنا عندها منه علما

Artinya: Sahabat-sahabat Nabi Muhammad tidak pernah bertanya kepada kami tentang suatu hadis, jadi kami bertanya kepada Aisyah, kecuali kami menemukan pengetahuan darinya.

Beliau banyak mengetahui permasalahan ijma’, dalam beberapa fatwanya banyak menggunakan ijma’ sebagai rujukan, pendapat beliau tidak ada yang bertentangan dengan ijma’ dan beliau menggap ijma’ sebagai hujjah. Bukti bahwa beliau mengamalkan ijma’ dari kalangan sahabat adalah tentang kewajiban Sa’i antara bukit Safa dan Marwa. Beliau berkata “ Rasulullah melakukan tawaf dan kaum muslimin juga melakukannya maka hal itu merupakan bentuk dari sunah Nabi” yang dimaksud dengan muslimin dari riwayat diatas adalah para sahabat. Disisi lain periwayatan ini menunjukkan bahwa Sayyidah Aisyah berhujjah dengan ijma’nya para sahabat untuk melakukan ibadah Sa’i dalam kesehariannya.

Sayyidah Aisayah merupakan orang yang paling alim dalam permasalahan kalam Arab, paling fasih diantara para sahabat dan paling mengetahui ilmu balagah. Oleh sebab itu Musa ibnu Talhah mengatakan “ Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih fasih dari Aisyah” sahabat Muawiyah juga berkomentar tentang beliau ia mengatakan “ Demi Allah aku tidak pernah mendengar seseorang yang lebih ber balagah dari Aisyah Kecuali Rasulullah. Beliau juga memahami apa yang di kehendaki dari suatu lafad dan makna-makna yang terkandung didalam Alquran, Sunah dan pemaknaan secara bahasa, urf dan syara’.

Meskipun ilmu Usul Fikih masih belum terdengar pada saat itu, tapi embrio dari Usul Fikih itu sendiri sudah ada pada zaman Rasulullah dan mengapa ilmu ini masih belum dibutuhkan karena pada masa awal Islam para sahabat banyak paham tentang pensyariatan hukum, seperti Asbabun Nuzul, Naskh Mansukh, dan penjelasan dari Nabi sendiri selaku pembawa pilar syari’at. Oleh karena itu para sahabat tak perlu yang namanya Usul Fikih, terlebih istri Nabi Muhammad sendiri dan Sayyidah Aisayah sangatlah paham dengan yang namanaya Ushul Fikih sertabpenerapannya dalam melakukan istinbat hukum Islam meskipun penamaan dari Ushul Fikih belum ada.

Tidak hanya itu Sayyidah Aisyah merupakan sosok mujtahid yang dapat menggabungkan dua kubu antara yang memfokuskan pemikirannya menggunakan nalar akal dan yang memfokuskan kepada periwayatan, beliau bisa menggabung keduanya salah satu buktinya adalah tentang tabyitun niyyah (niat waktu malam) pada puasa yang wajib, dalam permasalahan ini beliau lebih memilih jalur riwayah daripada nalar terbukti beliau mengutip salah satu Hadits rasul yaitu “barang siapa yang tidak mentabyit niat sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya”.

Selain itu ada lagi contoh praktik hukum yang menggunakan nalar yaitu tentang keputusan melakukan tawaf dan sa’i dengan menggunakan kendaraan beliau tidak begitu berkenan dengan praktik ini meskipun seakan-akan bertentangan dengan realita yang pernah dilakukan oleh nabi, sayyidah aisyah dalam merespon kasus ini berargumentasi bahwa praktik yang dilakukan oleh nabi merupakan suatu gejala yang timbul dari sebab tertentu yaitu beliau khawatir akan tawaf dan sa’i wajib dilakukan dengan berjalan kaki, sehingga riwayat tidak bisa diamalkan begitu saja tanpa tau apa yang melatar belakangi hukum itu di praktikkan. Hal ini juga menandakan bahwa Sayyidah Aisyah juga paham tentang Maqasidussyari’ah meskipun penamaan dari Maqasidussyariah belum ada pada saat itu tapi beliau sudah menerapkannya dalam bidang hukum.

Dari ulasan singkat diatas terbukti bahwa Sayyidah Aisyah merupakan sosok mujtahid yang sangat ahli dalam kajian hukum syariah. Bahkan beliau dijadikan rujukan utama oleh para sahabat saat Rasulullah masih ada bahkan ketika sampai Rasulullah wafat. (mahadaly-situbondo)

*Oleh : Nur Hefni Davinsi (Mahasantri Ma’had Aly Sekaligus Redaktur Majalah Tanwirul Afkar)

Tinggalkan Balasan