Oleh: Dr. Tgk. Rahmat Saputra
Aceh, yang dikenal sebagai “Serambi Mekkah,” memiliki sejarah panjang dalam mengintegrasikan kepemimpinan agama dengan pemerintahan. Nilai-nilai keislaman yang kuat dan berakar dalam budaya masyarakat Aceh menjadikan ulama sebagai sosok sentral dalam kehidupan sosial dan politik. Dalam kerangka ini, gagasan untuk mengusung calon gubernur atau wakil gubernur dari kalangan ulama sangat relevan & menjadi langkah strategis yang sangat pantas untuk diperjuangkan.
Pada Pemilihan Umum Presiden yang lalu, Aceh memberikan dukungan signifikan kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, yang membawa pesan religius dalam kampanye mereka. Pasangan Anies-Cak Imin memperoleh 2.369.534 suara atau 73,56% di Aceh. Dukungan yang begitu besar ini tidak terlepas dari peran ulama yang mempengaruhi masyarakat untuk memilih pemimpin yang mereka yakini mampu membawa aspirasi keagamaan ke tingkat nasional.
Fenomena ini menunjukkan potensi besar bagi ulama di Aceh untuk tidak hanya menjadi penentu arah politik di belakang layar, tetapi juga sebagai aktor utama yang dapat memegang peran kepemimpinan eksekutif di tingkat provinsi.
Mengusung calon gubernur atau calon wakil gubernur dari kalangan ulama bukan sekadar upaya untuk mewakili kelompok tertentu, tetapi lebih dari itu, yakni menghadirkan kepemimpinan yang berakar kuat pada nilai-nilai yang telah menjadi bagian integral dari identitas masyarakat Aceh selama berabad-abad.
Seorang ulama yang memiliki integritas, wawasan keagamaan mendalam, dan pemahaman yang luas tentang dinamika sosial, politik dan pemerintahan bisa menjadi figur ideal untuk membawa Aceh menuju masa depan yang lebih baik.
Keputusan politik terkini yang diambil oleh Muzakir Manaf atau Mualem yang memilih Ketua Gerindra Aceh sebagai pendampingnya di pemilihan gubernur, menunjukkan perlunya ulama untuk lebih berani mengambil peran dalam kepemimpinan politik. Kalangan ulama menginginkan Tgk H Muhammad Yusuf A Wahab atau Tu Sop sebagai calon wakil gubernur Aceh yang mendampingi Mualem. Bahkan ada seribuan ulama, cendikiawan, dan cerdik pandai dari seluruh Aceh telah menyurati Mualem, namun ini belum cukup untuk meyakinkan Mualem agar dapat memilih sosok ulama sebagai calon wakil gubernur.
Ulama memiliki etika yang tinggi dalam berpolitik. Mereka tidak berambisi mengejar kekuasaan; sebaliknya, umatlah yang mendorong ulama untuk maju sebagai calon gubernur atau wakil gubernur. Konsekuensinya, masyarakat Aceh yang mencintai ulama siap bergotong royong mendukungnya, baik dari segi finansial, dukungan logistik, termasuk suara. Ini merupakan bentuk solidaritas umat dengan tujuan mulia, mengokohkan kepemimpinan ulama di Aceh.
Dukungan kepada Tu Sop, tidak hanya datang dari kalangan ulama dan pengikutnya, tetapi juga dari akademisi, tokoh-tokoh berpengaruh, milenial, elemen sipil, aliansi Gen Z, hingga masyarakat Aceh di Malaysia. Ini menunjukkan bahwa Tu Sop adalah sosok yang dihormati lintas kalangan dan memiliki potensi besar untuk memimpin Aceh ke depan. Inilah saatnya ulama bersatu. Inilah momentum untuk membangun koalisi tangguh yang berani mengusung ulama sebagai calon gubernur atau wakil gubernur Aceh. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Semua warga Aceh pasti mencintai ulama dan tidak akan pernah meninggalkan mereka dalam perjuangan ini.
Jika seribuan ulama, cendikiawan, dan cerdik pandai dari seluruh Aceh telah membubuhkan tanda tangannya dalam waktu singkat untuk mendukung Tu Sop, maka besok insyaAllah ratusan ribu dukungan akan diberikan untuk mendukung ulama sebagai calon gubernur atau wakil gubernur Aceh.