Istri Nusyuz Karena Berawal dari Ngambek

0
1229

Makna nusyuz dan penyebabnya

Makna asal dari kata nusyuz adalah takabbur dan al-irtifa’ (membesarkan dan meninggikan diri).[1] Syaikh Islam Abi Yahya Zakariya al-Anshari mendefinisikan nusyuz cukup singkat, adalah menyimpang dari ketaatan.[2] Definisi ini bersifat umum. Artinya, yang melakukan penyimpangan bisa saja sang suami atau istri. Istri yang melakukan penyimpangan dari ketaatan pada suaminya diistilahkan nasyizah.[3]

Ali ash-Shabuni memberi pengertian nusyuz dengan menafsiri kata nusyuzahunna adalah kedurhakaan para istri dan meninggikannya diri mereka dengan cara mengabaikan kepatuhan terhadap suaminya.[4]

Beberapa makna nusyuz di atas menujukkan bahwa seorang istri yang melakukan nusyuz adalah dia yang membesarkan dan meninggikan diri. Istri yang meninggikan diri akan gampang menyimpang dari ketaatan dari perintah suaminya, karena dirinya dianggap yang paling tinggi. Sehingga, jika suaminya memerintahkan sesuatu dia menganggap remeh. Kelakuan seperti itu dikategorikan telah durhaka pada suaminya. Istri yang durhaka akan dihukumi nusyuz.

Pertanyaannya, kenapa hal itu bisa terjadi? Jawabannya hanya satu, karena istri itu memiliki sifat suka ngambek. Istri yang ngambek sangat enggan melakukan apa-apa, termasuk melakukan perintah suami. Jadi, istri nusyuz itu sebenarnya karena berawal dari ngambek, bukan karena keinginan meninggikan diri atau sombong.

Nusyuz istri dalam al-Qur’an dan pendapat para ulama’

Nusyuz isteri disebut dalam ayat 34 surah al-Nisa’ sebagaimana berikut,

وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً (النساء:34

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. an-Nisa: 34).

Nusyuz dalam ayat ini berarti durhaka atau ingkar. Oleh sebab itu, maksud ayat ini ialah, sekiranya kamu bimbang akan kedurhakaan dan sikap meninggi diri mereka (isteri) dari pada mematuhi apa yang diwajibkan Allah ke atas mereka, yaitu mentaati suami.[5] Penafsiran ini senada dengan penafsiran Syaikh Sa’id Hawwa, yaitu kedurhakaan seorang istri dan sikap meninggi diri mereka dengan cara mengabaikan ketaatan pada suami.[6] Imam Abi Muhammad al-Husain bin Mas’ud menafsiri kata nusyuzahunna hanya dengan kedurhakaan para istri.[7] Syaikh Abi Qasim Mahmud bin Umar az-Zmakhsyari al-Khawarizmi disamping menafsiri kata nusyuzahunna dengan kedurhakaan para istri, beliau menambah, tidak menetapnya perempuan pada suaminya.[8] Sementara Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi menafsiri kata tersebut dengan pengertian para istri membenci suami dan meninggikan dirinya dengan bersikap sombong.[9]

Sayyid Imam Muhammad Rasyid Ridha menjelaskan, nusyuz pada asalnya bermakna meninggi. Perempuan yang menyimpang dari hak-hak suaminya sungguh dia telah meninggikan dirinya atas suaminya dan berusaha menjadikan suaminya berada di bawah pimpinannya. Bahkan, dia juga meninggikan karakternya sehingga dia menyalahi tatanan fitrah yang dikehendaki dalam bergaul. Oleh sebab itu, dia bagaikan sesutu yang meninggi dari tanah yang keluar dari permukaan yang datar.[10]

Dalam kitab Tafsir al-Bahrul al-Muhith telah dipaparkan tentang nusyuznya seorang istri dengan menafsiri kata nusyuzahunna, dengan mengkolaborasikan beberapa pendapat ulama’. Syaikh Atha’ berkata, nusyuznya seorang istri adalah tidak memakai wangi-wangian (konteks sekarang, tidak berdandan), enggan melayani (berhubungan badan) sang suami, dan berubahnya sikap istri dari baik menjadi buruk. Abu Mansur berkata, nusyuznya seorang istri adalah ketidaksenangannya pada suami. Ada yang mengatakan, nusyuznya istri adalah dia enggan bertempat tinggal bersama suami di rumah suami, justru dia memilih tempat tinggal yang tidak dikehendaki sang suami. Ada pula yang mengatakan, nusyuznya itu bisa berbentuk dia enggan menuruti ajakan suami untuk melakukan hubungan seksual. Sekian pendapat tersebut merupakan bentuk praktik nusyuz dari pihak istri yang kesemuanya saling mengisi tentang pemahaman nusyuz istri.[11]

Perempuan nusyuz adalah perempuan yang meninggi diri daripada suaminya, meninggalkan perintahnya, menjauhkan diri daripadanya, mengelak diri dari suaminya, menyebabkan suaminya marah.[12] Dalam kitab Qulyubi wa Umairah menggambarkan perempuan yang nusyuz adalah perempuang yang menyimpang dari keaptuhan pada suaminya, semisal keluar rumah tanpa izin suami, tidak membuka pintu ketika suami hendak masuk, atau tidak bersedia disaat suami mengajak berhubungan badan.[13] Pengertian ini sealur dengan pengertian Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, hanya saja beliau berbeda dalam hal membuka pintu bagi suami. Beliau mengatakan sebaliknya, yaitu istri menutup pintu disaat suami hendak masuk. Tidak hanya itu, beliau menganggap tetap nusyuz meskipun yang melakukan semua itu adalah istri yang gila.[14]

Imam Muhammad Razi Fakhruddin berpendapat, praktik nusyuz istri bisa berupa ucapan seperti dia tidak merespon ajakan istri dan tidak bernada rendah ketika berdialog bersama suami, dan bisa beruapa tingkahlaku seperti dia tidak berdiri ketika suami masuk menghampirnya, atau tidak cepat-cepat melaksanakan perintah suami dan tidak bergegas saat suami memanggil untuk datang ke tempat tidurnya.[15] Sebagaimana pendapat tersebut, Imam Taqyuddin Abi Bakr Muhammad al-Hasini Damaskus memaparkan pembagian praktik nusyuz dalam kitabnya.[16] Syamsuddin Muhammad bin Abi Abbas menggambarkan nusyuz berupa ucapan adalah ketika dia menjawab pertanyaan suami dengan kata-kata yang kasar atau suara yang keras, bermuram muka, dan berpaling dari suaminya.[17] Abdurrahman Ba’lawi berpendapat, istri yang tidak menjawab ajakan suami untuk pindah ke suatu tempat (rumah) itu termasuk nusyuz.[18]

Sedangkan Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa ciri-ciri nusyuz isteri adalah istri menolak untuk diajak pindah ke rumah suami tanpa alasan yang  sah, isteri mau untuk tinggal di rumah kediaman bersama, tetapi kemudian dia pergi dan tidak kembali tanpa alasan yang dibenarkan syara’, keduanya tinggal di rumah isteri, tetapi isteri melarang sang suami untuk memasuki rumahnya.[19]

Termasuk nusyuz apabila keluar dari tempat tinggal bersama tanpa seizin suaminya. Akan tetapi mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa apabila keluarnya isteri itu untuk keperluan suaminya maka tidak termasuk nusyuz, akan tetapi jika keluarnya isteri itu bukan karena kebutuhan suami maka isteri itu dianggap nusyuz.[20] Begitu juga, apabila isteri menolak untuk ditiduri oleh suaminya. sebagaimana Muhammad Sarbini al-Katib berpendapat, perempuan dianggap nusyuz ketika dia enggan diajak melakukan hubungan seksual.[21]

Nasehat

Ngambek yang merupakan sikap yang mungkin oleh sebagian perempuan dianggap sepele, jangan sampai dijadikan sikap kebiasaan dalam kehidupan rumah tangga. Sebab, sebagaimana dijelaskan di atas, sikap ngambek merupakan awal dari perilaku yang akan menyebabkan seorang istri terjerumus pada hukuman nusyuz.

Biasanya, sikap ngambek ini oleh perempuan dijadikan senjata untuk tidak melakukan perintah suami. Karena menurut para istri, seorang suami akan enggan memaksa istrinya yang ngambek untuk melakukan perintahnya. Apalagi kepada suami yang mengerti, bahwa istri yang sedang ngambek tidak boleh diganggu, lebih-lebih diperintah.

Dari itu, kepada para suami, jangan sampai membuat istrimu ngambek, jika engkau tidak ingin perintahmu diremehkan atau diabaikan. Jangan engkau anggap istrimu nusyuz jika dia tidak melakukan printahmu karena dia ngambek, sementara dia ngambek karena ulahmu. Tapi, semoga kita (suami atau istri) saling mengerti dalam kehidupan rumah tangga, sehingga suami atau istri pun tidak terkena hukum nusyuz. Amin…

(img: google)


[1] Imam Abi Muhammad al-Husain bin Mas’ud, Tafisr al-Baghawi, Juz I, hlm. 336

[2] Syaikh Islam Abi Yahya Zakariya al-Anshari, Fathul Wahhab, Juz II, hlm. 63 Begitu juga redaksi yang sama dipaparkan dalam kitab Tuhfatu al-Tullab, hlm. 102

[3] Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu’in, hlm. 110

[4] Ali ash-Shabuni, Rawai’ul Bayan; Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Juz I, hlm. 366

[5] Al-Qurtubi, al-Jami` Li-Al-Ahkam al-Quran, Jilid 5, hlm.170

[6] Syaikh Sa’id Hawwa, al-Asas fi al-Tafsir, Jilid II, hlm. 1054

[7] Imam Abi Muhammad al-Husain bin Mas’ud, Tafsir al-Baghawi, Jilid I, hlm. 336

[8] Syaikh Abi Qasim Mahmud bin Umar az-Zmakhsyari al-Khawarizmi, al-Kasysyaf, Juz I, hlm. 524

[9] Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi, Syar Uqud al-Lijain, hlm. 7

[10] Sayyid Imam Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, Jilid V, hlm. 58

[11] Muhammad bin Yusuf  asy-Syahid bi Abi Hayyan al-Andalusi, Tafsir al-Bahru al-Muhith, Juz,III, hlm. 251

[12] Imam Jalil al-Hafid Imaduddin Abi Fida’ Islamil bin Katsir al-Qursyi al-Damasqi, Tafsir al-Quran al-Azim , Jilid II, hlm. 776.

[13] Syaikh Syihabuddin al-Qulyubi dan Syaikh Umairah, Qulyubi wa ‘Umairah, hlm. 300

[14] Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu’in bi Syarhi Qurrat al-‘Ain, hlm. 110

[15] Imam Muhammad Razi Fakhruddin, Tafsri al-Fakhru al-Razi, Juz V, hlm 92

[16] Imam Taqyuddin Abi Bakr Muhammad al-Husaini ad-Dimaski, Kifayat al-Akhyar, Juz II, hlm. 77

[17] Syamsuddin Muhammad bin Abi Abbas, Nihayat al-muhtaj ila Syarh al-Minhaj, hlm. 390

[18] Abdurrahman Ba’lawi, Bugyah al-Musytarsyidin, hlm. 272.

[19] Muhammad Yusuf Musa, Ahkam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah fi Fiqh al-Islami, hlm. 222.

[20] Imam Taqiyu ad-Din Abi Bakr ibn Muhammad al-Husaini ad-Dimasqi, Kifayat al-Akhyar, Juz, II, hlm. 148.

[21] Muhammad Sarbini al-Katib, Mugni al-Muhtaj, Juz VI, hlm. 295.

Tinggalkan Balasan