Positif-Negatif Nafsu
Sebagaimana penjelasan di atas, nafsu memiliki dua sifat, yaitu negatif dan positif. Nafsu negatif seringkali disanding-barengkan dengan kata hawa, Sehingga seakan-akan kedua kata tersebut menjadi satu kata majemuk. Menurut al-Alūsi, secara umum hawa dapat diartikan sebagai kecenderungan hati untuk melakukan sesuatu yang diinginkan. Raghib al-Ashfahāny menyatakan, hawa berasal dari hawā-yahwī yang berarti turun. Disebut hawa sebab orang yang memilikinya akan terjerumus dalam kehinaan (wāhiyah) di dunia dan terperosok ke neraka (hāwiyah) di akhirat nanti.[1]
Orang yang sedang diliputi oleh hawa akan menggunakan segala cara untuk mendapatkan apapun yang ia inginkan. Ia tidak bisa berpikir dengan jernih, yang penting keinginan bisa tercapai. Bahkan, ia tidak peduli apakah harus menabrak aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku. Misalnya, jika ada orang yang ingin memperkaya diri, dan ia tidak bisa mengendalikan hawanya, niscaya ia akan melakukan pencurian, mengambil riba, korupsi, dan semacamnya. Bila seseorang sangat ingin berkuasa dan ia tidak bisa mengendalikan hawanya tersebut, boleh jadi ia akan melakukan praktek-praktek curang seperti money politic, black campaign, dan lain sebagainya. Yang penting, keinginan pribadinya bisa tercapai. Menurut Ibnu Abbas, ketika seseorang menuruti hawanya, sejatinya ia telah menjadikan hawanya sebagai Tuhan selain Allah.[2] Pernyataan Ibnu Abbas ini berdasarkan firman Allah swt dalam al-Qur’an,
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا (43)
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (QS. Al-Furqān [25]: 43).
Nafsu negatif ini juga erat kaitannya dengan syahwat. Sebagaimana kata Al-Ghazali, nafsu ini terdiri atas syahwat dan gadlab.[3] Ada yang mengatakan, bahwa syahwat memiliki makna yang sama dengan hawa. Berkenaan dengan syahwat ini, nabi Muhammad saw bersabda,
طَاعَةُ الشَّهْوَةِ دَاءٌ وَعِصْيَانُهَا دَوَاءٌ
“Menaati syahwat adalah penyakit, dan mendurhakainya adalah obat.”
Sedangkan yang dimaksud gadlab adalah kemarahan yang bergejolak sehingga memiliki keinginan untuk membalas.[4] seseorang yang tidak bisa menahan gadlab akan melakukan balas dendam. Selama dendamnya belum terbalas, hatinya terasa sesak dan membuatnya tak tenang. Kemarahan yang tak tertahankan dapat menjadikan seseorang kehilangan pikiran jernihnya. Emosi menjadi tidak stabil sehingga yang ia perbuat seperti orang ‘kesetanan’. Lihat saja aksi-aksi anarkistis ketika terjadi tawuran, itu merupakan salah satu potret potensi gadlab yang tak terkendali.
Uraian di atas memberikan kesimpulan, bahwa nafsu yang dikuasai oleh hawa, syahwat, atau gadlab adalah nafsu yang sakit. Itu akan berdampak negatif pada diri manusia. Seseorang yang memiliki Nafsu demikian hanya mementingkan diri sendiri (egois), tidak peduli bagaimana orang lain di sekitarnya. Jangankan orang lain, bahkan aturan-aturan Tuhan pun akan dilabrak demi kepentingan pribadinya. Nafsu yang demikian itu tidak bisa mengantarkan seseorang untuk dapat mengenal Tuhan.
Untuk lebih menjelaskan tentang sisi positif dan negatif nafsu, dalam kajian tasawwuf nafsu diklasifikasi menjadi tujuh bagian. Pertama, nafsu ammarah. Nafsu ini mempunyai karakter jelek. Ia senantiasa mendorong manusia bersikap hedonis, hanya ingin mencapai kelezatan duniawi belaka, dan memanjakan kehendak syahwat yang dilarang oleh agama. Nafsu inilah yang kemudian melahirkan sifat-sifat tercela, seperti sombong, rakus, syahwat, dengki, marah, kikir dan iri hati. Hal ini telah disinggung oleh Allah dalam al-Qur’an dalam surat Yusuf ayat 53:
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (QS. Yusuf [12]: 53)
Kedua, nafsu lawwamah, yaitu nafsu yang disinari dengan cahaya hati. Nafsu ini tunduk pada kekuatan akal, tetapi terkadang melakukan maksiat, kemudian menyesal dan mencaci dirinya. Setelah itu kembali tunduk pada Tuhannya. Nafsu ini memiliki karakter sifat yang tercela seperti mengeluh, hawa, menipu, ujub, ghibah, riya’, suka berbohong, dan lalai dari kewajiban. Allah berfirman dalam surat al-Qiyamah ayat 2:
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (diri sendiri).” (QS. Al-Qiyamah [75]: 2)
Ketiga, nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang disinari dengan cahaya hati, sehingga kosong dari sifat tercela dan terhiasi dengan sifat terpuji. Nafsu ini mampu menciptakan ketenangan jiwa. Orang yang berada pada tingkatan ini, tergolong ahli thariqat (berjalan menuju taman ilahi). Pada nafsu ini terdapat sifat-sifat yang terpuji seperti: dermawan, tawakkal, ibadah, syukur, ridha, dan takut kepada Allah. Sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Fajr ayat 27:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
“Wahai jiwa yang tenang.” (QS. Al-Fajr [89]: 27)
Keempat, nafsu mulhamah, yakni nafsu yang dianugerahi ilmu, sikap tawadlu’, qana’ah, suka bertaubat, dan mendorong untuk berlaku dermawan. Oleh karena itu, nafsu ini menjadi sumber kesabaran, kekuatan menanggung derita, syukur dan terhindar dari sifat tercela.
Kelima, nafsu rādliyah, yakni nafsu yang rela dan pasrah kepada Allah. Nafsu ini mempunyai karakter sifat terpuji seperti kedermawanan, zuhud, ikhlas, wara’, senang melakukan riyadlah, dan memenuhi kewajiban.
Keenam, nafsu mardhiyah, yaitu nafsu yang mendapat ridha Tuhan. Ini terlihat dengan timbulnya prilaku baik, kasih sayang, kemuliaan, keikhlasan, dan dzikir pada Allah serta mengajak pada kebaikan dan memaafkan kesalahan orang lain. Pada tingkatan ini, nafsu akan mampu mengenal Tuhannya.
Ketujuh, nafsu kamilah, yakni nafsu yang benar-benar mencapai tingkat kesempurnaan. Nafsu ini telah melebur, menyatu ke Dzat Tuhan, sehingga mampu menampakkan sifat-sifat ketuhanan. Nafsu ini selalu memotivasi diri untuk beribadah dan mendapat anugerah ilmu keyakinan. Ia hanya merasakan kebahagiaan hakiki bila bersama dengan Tuhannya.[5]
Sebenarnya, dari tujuh macam nafsu di atas dapat disederhanakan menjadi tiga macam. Pertama, nafsu dzalim. Yaitu nafsu yang selalu berbuat kejahatan. Masuk kategori ini adalah nafsu ammarah. Kedua, nafsu saabiqun bil khairat. Yaitu nafsu yang selalu berpacu dalam kebaikan. Masuk pada bagian ini ialah nafsu muthmainnah, mulhamah, radliyah, mardliyah dan kamilah. Ketiga, nafsu muqtashid. Yakni nafsu yang suatu saat berbuat baik, namun di kali yang lain terjerembab dalam kawah kemaksiatan. Termasuk dalam derajat ini adalah nafsu lawwamah. Allah SWT berfirman dalam surat Fathir ayat 32:
فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ
“Lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.” (QS. Fathir [35]: 32)
Manajemen Nafsu
Dari pembagian di atas, jelaslah bahwa tak semuanya nafsu jelek, tapi ada pula yang baik. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana mengontrol nafsu yang jelek itu menjadi baik?
Sebenarnya, Sebejat apapun nafsu tak perlu dibinasakan, tetapi cukup ditundukkan dan diarahkan saja. Karena dengan nafsu, manusia dapat berbeda dengan malaikat. Dengan nafsu, manusia menjadi makhluk dinamis. Sedangkan malaikat, tanpa nafsu, menjadi makhluk konstan tidak bisa berubah keimanannya. Dengan nafsu ini pula, seorang hamba mampu mengimbangi kehidupan ruhaniyah uluhiyah (ibadah) dengan tetap mampu berakselerasi (mengadakan peningkatan) dalam kehidupan sosial keduniaan. Ini selaras dengan firman Allah dalam surat al-Qashas ayat 77:
وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) akhirat. Dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia.” (QS. Al-Qashas [28]: 77)
Dari pembagian nafsu di atas, hanyalah nafsu ammarah dan lawwamah yang perlu ditundukkan. Nafsu ini bagai bara api yang berpijar, membakar jiwa lemah yang hanya memperturutkan hawa, gadlab, dan syahwat. Sementara yang lain hanya butuh pupukan agar tumbuh dan berkembang sampai puncak destinasi. Dalam rangka tazkiyah al-nafsi (penyucian jiwa), ini tak jauh beda dengan “Menejemen Qalbu”. Karena nafsu dalam kajian tasawwuf ini juga merupakan kata lain dari hati.[6]
Untuk mengendalikan nafsu negatif ini, ada baiknya terlebih dahulu menyitir firman Allah,
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (40) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى (41)
“Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nāzi’āt [79]: 40-41)
Pada ayat ini dijelaskan, seseorang akan mendapatkan kebahagiaan (surga) apabila dalam dirinya terdapat dua hal, yaitu mengakui dan tunduk akan kebesaran Allah serta menahan diri dari hawa nafsunya. Al-Alūsi, salah satu tokoh tafsir terkemuka menyatakan bahwa cara menahan diri dari hawa nafsu adalah dengan terus berusaha mendahulukan perbuatan-perbuatan baik dalam setiap tindakan tanpa harus terbuai oleh kenikmatan-kenikmatan yang bersifat sementara.[7]
Dalam kitab Sirāj al-Qulūb wa ‘Ilāj ad-Dzunūb dijelaskan, Agar seseorang dapat lebih memperhatikan perbuatan baik dan tidak terbuai oleh kenikmatan yang bersifat sementara serta terus berada dalam ketakwaan, ia harus mampu melakukan aktifitas ritual (ibadah) yang berat. Oleh karena itu, ia tidak sekedar melaksanakan ibadah yang wajib, melainkan juga yang sunnah dengan kuantitas yang banyak semampunya. Di samping itu, ia harus meminta pertolongan kepada Allah agar supaya diberikan kemampuan dalam menahan dirinya dari hawa nafsu. Kalau perlu, ia harus mengatur jadwal aktifitasnya mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Tentu, yang diisi haruslah kegiatan-kegiatan yang baik dan bermanfaat.[8]
Lebih gambalng, menejemen nafsu yang ditawarkan para tokoh sufi memiliki dua arah, yaitu secara internal dan eksternal. Menejemen yang bersifat internal ini meliputi: (1) menahan nafsu dari kehendak syahwat (2) melakukan kebalikan sifat tercela yang bersarang dalam jiwa. (3) Koreksi diri, baik melalui diri sendiri ataupun orang lain. Sementara menejemen yang bersifat eksternal mencakup dua hal, yaitu: (1) Meminta petuah pada seorang mursyid (pembimbing) dan (2) bersahabat dengan orang shaleh.[9]
Kalau proses ini telah terlewati, seorang hamba akan lebih konsentrasi untuk menggapai posisi nafsu yang lebih mulia. Sehingga ia benar-benar berada pada titik kesempurnaan dan mampu mengekspresikan pancaran sinar ilahi dalam kehidupannya.
Dalam kondisi seperti ini, seorang hamba terkadang hilang kesadarannya. Sehingga ia mengklaim diri sebagai Tuhan. Tak heran jika Syekh Siti Jennar dan Mansur al-Hallaj dikala jadzab-nya (lepas kontrol) melontarkan kata-kata ana al-haq (akulah kebenaran), anallah (akulah Allah), anarrab (akulah tuhan) dan lain-lain. Karena kondisi jiwa (nafsu) pada maqam ini disibukkan dengan hanya bernostalgia bersama sang kekasih, Allah rabul ‘izzati.
Terakhir, yang paling penting dari proses tazkiyah al-nafsi ini bukan hanya mampu melalui tahapan secara teosentris (abstraksi penghambaan terhadap tuhan), tetapi lebih dari itu, ia harus mampu mengaktualisasikan sifat-sifat tuhan secara antroposentris (interaksi sosial sehari-hari), sehingga dapat tercipta keseimbangan secara vertikal dan horizontal. Artinya, hubungan kepada Allah dan manusia tetap seimbang. Wallahua’lam.
[1] Abu Fadl Mahmūd al-Alūsī, Rūh al-Ma’ānī, juz 22, h. 159.
[2] Abu Hasan Ali al-Mawardi, Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, h. 18.
[3] Mukhtashar Ihyā’ `Ulūmi al-Dīn, h. 131; Qatrul Ghaits, h. 5.
[4] Ragīb al-Asfahānī, Al-Mufradāt, h. 379.
[5] Tanwīru al-Qulūb, h. 465-466; Ensiklopedi Indonesia, jilid IV, h. 2324-2325; Qathru al-Ghaits, h. 5.
[6] Mukhtashar Ihyā’ `Ulūmi al-Dīn, h. 132.
[7] Rūh al-Ma’ānī, juz 22, h. 159.
[8] Abu ‘Ali Zainuddin bin Ali al-Ma’īri, Sirāj al-Qulūb wa ‘Ilāj ad-Dzunūb, juz 1, h. 30
[9] Tanwīru al-Qulūb h. 467; Ihyā’ `Ulūmi al-Dīn, juz 3, h. 69-70.