“Jadi, uda puasa berapa hari kamu, Cha?” tanya Mela, sahabatku, sambil mengobrak-abrik meja belajarku. Lebih tepatnya bukan mengobrak abrik sih, dia hanya melihat-lihat koleksi blocknoteku. Maklumlah, aku ini salah satu penggemar blocknote lucu dan aku sudah mengoleksinya sejak dari SMP. Padahal tidak semua blocknote itu kugunakan. Bahkan ada beberapa yang setelah kubeli langsung kususun begitu saja di meja belajar, tanpa pernah disentuh sama sekali sampai sekarang.
“Mmm, berapa ya? Udah sekitar 10 hari kok,” jawabku bangga.
“Hah? 10 hari? Aduh Chacha sayaaang, kita ini udah sampai hari ke-25 lho di Ramadhan tahun ini, dan kamu baru puasa 10 hari? 15 harinya kamu ngapain ajaa?” teriak Riri, sahabatku yang satunya lagi, begitu mendengar penuturanku masalah puasa 10 hari itu.
“7 hari aku lagi dapet, sisanya lagi gak mood puasa. Daripada ntar aku puasa tapi hatinya gag ikhlas, mending aku gag puasa sekalian kan?” jawabku santai.
Mela dan Riri, sobat kentalku sejak SD ini, hanya bisa geleng-geleng kepala. Sobat terbaik yang pernah aku kenal, karena mereka masih betah bersahabat denganku, yang bisa dibilang memiliki sifat yang jauh berbeda dengan mereka. Meskipun tidak bisa disebut alim atau muslimah sejati, setidaknya mereka ‘jauh lebih muslimah’ dibanding aku. Jilbab menutup dada sudah setia mereka pakai sejak kami SMP. Ibadah-ibadah pun selalu dilakukan. Mereka sudah melakukan puasa Ramadhan sebulan penuh sejak kelas 4 SD. Sholat wajib pun udah gag bolong-bolong lagi. Sedangkan aku? Bahkan di usiaku yang sudah 18 tahun ini, puasa Ramadhan masih ogah-ogahan. Jilbab kadang pakai sering lepas. Sholat? Jangan ditanya, aku sholat kalau sedang ingat saja. Hehe… Keluargaku pun sepertinya sudah bosan sekali menasehatiku tentang kelakuanku yang bandel ini. Maklumlah, aku anak tunggal dari sebuah keluarga yang bisa dibilang lebih dari berkecukupan, dan dari kecil aku sudah dimanja oleh kedua orangtuaku.
Tiba-tiba saja Mela sudah duduk di sebelahku sembari memegang sebuah blocknote Mickey Mouse yang terbuka di halaman pertama. “Ini apa, Cha?” tanyanya sambil menatapku.
“Apaan sih?” aku malah balik bertanya sambil tetap memegang hp kesayanganku. Aku sedang asyik twitteran saat ini.
“Ini lhooo. Kok ada tulisan kayak perjanjian gitu, terus ada tanda tangan kamu, Hida sama Memey. Hida sama Memey di sini tu temen sekelasmu waktu SMA dulu kan?” tanya Mela lagi.
“Perjanjian apa sii, Mel? Hida ama Memey apa lagi? Aku lupaa. Udah bacain aja dee tulisan yang lagi kamu pegang itu. Lagi seru-serunya twitteran nii aku.” balasku, mulai merasa terusik karena Mela menanyakan hal yang tidak penting dan sudah mengganggu keasyikanku.
“Oke aku bacain yaa. Hari ini, 2 April 2012, Chacha, Hida dan Memey, masing-masing dari kami berjanji akan memberikan makanan kepada 5 orang fakir miskin/yang membutuhkan jika kami lulus Ujian Nasional tahun ini. Itu bunyinya. Terus di bawahnya ada tanda tangan kamu, Hida ama Memey. Ini perjanjian apa sii, Cha?” tanya Mela dengan mimik wajah serius.
Aku terdiam. Hp yang sedari tadi kupegang langsung kuletakkan di tempat tidur. Aku ingat perjanjian itu. Perjanjian yang kubuat dengan Hida dan Memey, 2 orang teman sekelasku saat SMA, menjelang Ujian Nasional yang harus kami hadapi. Hida dan Memey menyebutnya nazar, dan kata mereka nazar itu sifatnya wajib, harus dilakukan. Masing-masing dari kami mengucapkan janji itu di hadapan yang lain, dan aku yang mengusulkan supaya nazar itu ditulis di buku kami masing-masing supaya kami tidak lupa. Namun jujur saja, aku sudah melupakan nazar itu sampai Mela mengingatkannya hari ini.
“Cha? Ini apa? Semacam nazar gitu ya?” tanya Mela membangunkanku dari lamunan masa laluku.
“Mm, iya. Kata Hida ama Memey si itu namanya nazar. Tapi aku lupa. Untung kamu ingetin hari ini. Emang penting ya?” tanyaku dengan muka santai, padahal sebenarnya hatiku tidak sesantai itu. Aku tahu sekali kalau nazar itu penting dan kita harus benar-benar melakukannya jika sudah mengucapkannya.
“Chacahaaaaaaa, nazar itu wajib hukumnya. Kalau kamu udah ngucapin itu,berarti kamu harus bener-bener melakukannya. Bahkan, sori ya, kalaupun kamu belum sempat melakukan nazar itu karena sesuatu hal, maka orang yang mendengar nazarmu harus melakukannya untukmu. Itulah gunanya saksi saat kamu mengucapkan nazar. Kamu tau wajib kan, Cha? Wajib itu harus dilakukan, kalo enggak dosa lho.” ucap Mela panjang lebar.
Aku terdiam (lagi). Nasihat Mela terngiang-ngiang di telingaku. Bahkan sampai Mela dan dan Riri pamit pulang, aku masih saja memikirkan kata-katanya. Wajib itu harus dilakukan, kalo enggak dosa lho. Ucapan Mela selalu melintas di benakku. Apa memang aku harus melakukannya, ya? Toh Cuma 5 orang ini, pikirku.
——————-
Hari-hari pun berlalu. Aku sudah lupa (lagi) dengan nazar itu. Hingga tibalah hari ini, hari terakhir di bulan Ramadhan tahun ini. Saat aku sedang membaca novel, tiba-tiba saja aku melihat block note yang memuat nazar itu tergeletak di atas meja. Rupanya aku belum membereskannya waktu itu. Aku kembali teringat akan nazar yang sudah seharusnya aku lakukan. Mungkin, aku memang harus melaksanakan nazar itu. Walaupun bandel gini, sebenernya aku juga nggak mau numpuk dosa dalam hidupku. Mungkin dengan melakukannya aku nggak bakal kepikiran terus kayak gini, batinku. Akhirnya, di pagi terakhir bulan Ramadhan itu kuputuskan untuk melakukan nazar yang sudah seharusnya aku lakukan sejak dulu.
——————–
Pukul 15.30 WIB. Aku sudah berpakaian rapi dan sedang mematut diri di depan cermin. Sore ini aku sudah siap untuk melakukan kewajiban yang sudah seharusnya kulakukan sejak dulu. Ah tak apalah, semoga Allah memaafkan keterlambatanku dalam melaksanakan nazar ini, ucapku dalam hati. Aku berpamitan pada Mama dengan mengatakan bahwa aku akan pergi untuk melaksanakan sesuatu yang sangat penting. Awalnya, Mama mendesakku untuk memberitahunya apa yang akan aku lakukan. Namun aku berkeras tidak mau mengatakannya. “Nanti aja kalo udah selese aku bakal ceritain ke Mama. Mama gag usah khawatir. Aku gag ngelakuin yang aneh-aneh kok. Aku janji. Mama bisa pegang omonganku.” ucapku pada Mama sebelum aku keluar rumah. Meskipun aku bandel, namun jika aku sudah berani berjanji, Mama akan langsung percaya padaku. Keluarga kami memang sangat menjunjung tinggi sebuah janji. Sejak kecil aku sudah dididik bahwa jika sudah mengucapkan sebuah janji maka aku harus benar-benar melakukannya. Ingkar janji adalah perbuatan yang sangat dilarang di dalam keluargaku. Maafkan aku Ya Allah, semoga keterlambatan melakukan nazar ini tidak termasuk perbuatan melanggar janij, doaku dalam hati.
Aku memutuskan untuk pergi dengan menaiki sepeda motor sendiri, bukannya dengan mobil beserta supir seperti biasanya. Jujur, aku belum tahu apa yang harus kulakukan pertama kali. Aku harus membeli makanan seperti apa dan dimana, serta bagaimana nanti aku menemukan orang yang akan kuberi makanan dan apa yang harus kukatakan kepadanya. Aku terus saja menyusuri jalan raya yang belum terlalu ramai oleh orang-orang yang sedang mencari makanan buka puasa, atau istilah kerennya ngabuburit. Saat melewati sebuah kedai yang menyediakan makanan cepat saji, tiba-tiba saja kuputuskan untuk membeli makanan di situ. Aku pun memarkirkan motorku dan segera masuk ke dalam.
Pada mas-mas yang sedang memencet-mencet kalkulator di dekat etalase makanan, aku memesan 5 kotak nasi beserta lauk dan 5 gelas jus alpukat. Sambil menunggu pesananku selesai, aku memencet-mencet keypad hp, namun sebenarnya aku tidak tahu apa yang akan kulakukan. Aku masih setengah sadar melakukan nazar ini, masih belum ngeh bagaimana aku bisa secepat itu memutuskan untuk melakukan nazar itu hari ini juga. Mungkin ini hidayah dari Allah, pikirku cepat.
15 menit kemudian pesananku selesai. Aku segera membayar dan menunggu uang kembalian yang sedang dihitung oleh mas-mas tersebut. Saat menyerahkan kembaliannya ke tanganku, mas-mas itu berkata, “Mau lebaran ya Mbak, jadi males masak di rumah? Hehe….” Aku hanya cengar cengir gag jelas, tak tahu apa yang harus kukatakan. Sok tau banget si Mas, gerutuku dalam hati. Aku pun segera keluar dari kedai itu dan memacu motorku sebelum mas-mas itu mengatakan hal-hal lain yang membuatku semakin banyak menggerutu.
Jalanan semakin ramai. Maklum, sekarang sudah hampir pukul 16.30 WIB, dan orang-orang mungkin sedang menikmati ngabuburit terakhir mereka di tahun ini. Kupacu motorku perlahan, karena jalanan penuh dengan kendaraan motor di mana-mana serta berbagai penjual makanan berderet di kanan-kiri jalan. Aku harus memberikan makanan ini kemana yaa, pikirku. Aku teringat pada pemulung yang biasanya berkeliaran di depan rumahku dan rumah-rumah tetanggaku. Mungkin aku harus mencari ke perumahan, pikirku sembari meluncurkan motorku ke arah perumahan terdekat.
Perumahan yang kumasuki lumayan sepi. Sebagian rumah yang kulewati tampak tertutup rapat seperti tidak berpenghuni, dengan lampu teras yang dibiarkan menyala padahal hari masih cerah. Oh, barangkali mereka sedang mudik, batinku. Tiba-tiba dari kejauhan kulihat seorang penjual mainan bola plastik yang berjalan cepat ke arah utara. Apa bapak itu aja yang kukasih makanan? Tapi kalo ada yang lebih butuh daripada bapak itu gimana? Jalannya aja masih cepet gitu. Masih kuat deh kayaknya, ucapku dalam hati. Merasa tidak yakin bahwa bapak itu yang harus kuberi makanan, aku pun kembali memacu motorku mengelilingi perumahan itu.
10 menit aku berkeliling, masih belum kutemukan juga orang yang kuinginkan. Lah, tau gitu aku ngasi bapak yang tadi aja, batinku. Setelah berkata seperti itu, tiba-tiba saja kulihat seorang tukang becak sedang duduk-duduk di rerumputan di pinggir jalan. Wajah bapak itu tampak kelelahan. Keringat mengucur deras di dahinya. Kuputuskan bahwa bapak itulah yang akan kuberi makanan ini. Langsung saja kuparkirkan motorku di pinggir jalan tak jauh dari becak bapak itu. Sambil menenteng sekotak nasi dan segelas jus, perlahan-lahan kudekati bapak itu. Kulihat bapak itu akan mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya, seperti kotak rokok. Namun segera dimasukkan lagi ketika melihatku mendekatinya.
“Permisi, Pak. Maaf, apa Bapak sudah makan?” tanyaku perlahan.
“Oh…. eh belum, Mbak. Dari tadi siang saya belum makan mbak. Terakir makan tadi pagi, eh maksud saya waktu sahur tadi, Mbak.” jawab bapak itu gelagapan. Aku menangkap sesuatu yang ganjil dari ucapan bapak itu. Entah kenapa aku berfikir bahwa bapak itu tidak puasa hari ini. Apa bapak ini nonmuslim? pikirku. Tapi ya sudahlah, toh aku berniat memberikan makan kepada orang yang kurang mampu, bukan kepada orang yang akan berbuka puasa.
“Ini Pak, ada sedikit makanan dari saya. Semoga bermanfaat ya, Pak.” ucapku sembari memberikan makanan dan minuman yang kupegang.
“Oh, matur suwun, Mbak. Matur suwun sanget. Ini pasti bermanfaat banget buat saya. Tak doain mbaknya dilancarkan rezekinya dan jadi anak sholehah. Oh, mbaknya pasti udah sholehah lah ya. Wong masi sempet ngasih makanan langsung ke orang gag punya seperti saya.” ucap Bapak itu kegirangan.
Aku tersenyum. Senyum getir. Apa anak seperti aku, yang puasanya masi pake mood, yang sholatnya bolong-bolong, dan sempat menganggap enteng sebuah nazar itu sudah pantas disebut anak sholehah hanya karena memberikan sekotak nasi dan segelas minuman ke bapak becak ini? pikirku sedih.
Setelah berpamitan, aku kembali memacu motorku menyusuri perumahan itu. Kata-kata anak sholehah membayang di pikiranku. Entah kenapa aku merasa tersindir, meskipun aku tahu bahwa bapak itu tulus dalam mengatakannya. Tak lama setelahnya, aku melihat 2 anak perempuan berjilbab sedang mendorong sebuah gerobak yang tampak penuh sekali. Setelah kudekati, rupanya gerobak itu berisikan berbagai macam pernak-pernik, mulai dari jepit, bando, pin, sampai kaos kaki dan sarung tangan pun ada. Dan ternyata 2 perempuan yang sedang mendorong gerobak itu adalah seorang remaja dan anak kecil, kira-kira berusia 10 tahun. 2 orang itu tampak lusuh sekali. Baju mereka seperti sudah berhari-hari tidak diganti. Aku tahu sekali kalau jilbab yang mereka kenakan sebenarnya berwarna putih, namun sekarang tampak sangat kusam dan warna putihnya sudah tak tampak lagi. Kuputuskan untuk mendekati mereka berdua dan memberikan makanan ini.
“Assalamualaikum, Dek. Maaf aku ganggu gak?” tanyaku berbasa-basi.
Kedua anak itu tampak kaget. Namun sejurus kemudian si remaja menjawab, “ Walaikumsalam. Oh, enggak kok, Mbak. Mbak mau beli apa? Kita punya apa aja lho, Mbak. Mbak mau beli apa? Pin, jepit, bando, atau yang lain?” jawab si remaja dengan gaya promosinya. Sepertinya dia sudah sering mengucapkan itu, terbukti dengan kefasihannya menawarkan barang dagangannya kepadaku.
“Oh, enggak. Ini aku cuma mau tanya kalian udah ada makanan buat buka puasa belum? Aku ada sedikit makanan buat kalian.” ucapku sembari menunjukkan makanan dan minuman di kedua tanganku.
“Wah, kebetulan kita belom beli makan, Mbak. Seharian ini dagangan kita cuma laku dikit. Kalo Mbak mau ngasih kita, kita bakal seneng banget. Iya kan, Mbak Put?” kali ini giliran si kecil yang menjawab sambil menoleh kepada gadis di sebelahnya. Si remaja tampak tersenyum sungkan kepadaku.
“Iya, ini makanan buat kalian. Dimakan ya nanti pas buka.” kataku sambil tersenyum dan menyerahkan makanan dan minuman yang sedang kupegang ke tangan mereka.
“Makasih banyak ya, Mbak. Makasih sekali, lho. Nanti Bapak kita pasti seneng banget kalo kita pulang bawa makanan enak kayak gini.” jawab si remaja dengan senyum cerahnya. Senyum yang tak kunjung henti. Ia berkali-berkali mengucapkan terima kasih kepadaku. Begitu pula si kecil yang ada di sebelahnya. Dia bahkan sampai melompat-lompat kegirangan setelah menerima makanan dariku.
“Bapak?” Tanpa sadar aku mengucapkan kata itu. Niatnya sih diucapkan dalam hati, tapi entah kenapa malah meluncur begitu saja dari mulutku. Si remaja merasa ditanya, maka ia pun langsung bercerita panjang lebar.
“Iya, Bapak kita, Mbak. Ini sebenernya dagangan Bapak. Cuma Bapak sekarang lagi sakit, Mbak. Udah gag bisa jualan lagi. Mmmm…. kakinya…. lumpuh. Seminggu yang lalu Bapak jadi korban tabrak lari. Akirnya aku yang nggantiin Bapak. Kata Bapak, kalo kita tetep mau hidup, kita harus kerja keras. Kata Bapak juga, aku gag perlu mikirin berapa nanti hasil yang aku dapet. Yang penting usaha dulu. Soalnya, kalo aku gag dapet hasilnya sekarang, Allah pasti bakal ngasih hasilnya ke aku suatu saat nanti. Kata Bapak juga, Allah tau yang terbaik buat kita semua. Allah juga tau, kalo meninggalnya ibuku setahun yang lalu itu pasti juga keadaan yang terbaik buat kita. Karena dengan begitu, aku bisa tau artinya ketegaran, keikhlasan, serta kerja keras dalam hidup.” Gadis itu bercerita dengan mimik wajah penuh ketegaran, padahal aku tau hatinya pasti sedih sekali menceritakan hal ini. Itu terlihat dari kedua matanya yang memerah dan air mata yang siap menetes setiap saat dari kedua bola matanya.
Aku terdiam. Entah apa yang harus kukatakan setelah mendengar cerita dari gadis itu. Tanpa sadar, mataku sudah berkaca-kaca dan siap menggulirkan air mata sekarang juga. Namun cepat-cepat kuusap dengan punggung tanganku. Aku tak mau terlihat menangis di depan gadis tegar ini. Cepat-cepat aku berpamitan dan beranjak dari tempat itu.
Tak lama kemudian, adzan Maghrib berkumandang. Kini aku sudah berada di depan dua orang ibu-ibu pemulung yang sedang berisitirahat di lapangan kecil. Aku menatap mereka yang sedang meneguk minuman yang kuberikan. Mereka hanya meminumnya sedikit, lalu menutup gelasnya kembali.
“Gak diabisin, Bu?” tanyaku perlahan.
“Gak, Nak. Makanan dan minuman ini mau kita bawa pulang aja. Mending dimakan ama anak-anak aja di rumah. Kasian, sekarang mereka pasti buka puasa cuma pake air putih. Jarang sekali mereka makan makanan enak seperti ini. Makasih ya, Mbak. Gak banyak orang yang perhatian ama kita kayak Mbak gini. Makasih banyak ya, Mbak. Berkat Mbak anak-anak kita bisa makan enak hari ini.” ucap ibu itu dengan senyum yang tak kunjung hilang dari wajahnya, bahkan sampai aku pergi dari tempat itu.
——————–
Bapak tukang becak, dua gadis penjual dengan bapaknya yang lumpuh, dan dua ibu pemulung yang rela hanya menikmati sedikit minumannya demi anak-anaknya. Hatiku berdesir. Aku malu dengan sebutan anak sholehah dari bapak itu. Aku sedih mendengar kisah si gadis penjual sekaligus kagum akan ketegarannya. Dan aku terharu dengan kasih sayang ibu pemulung yang begitu besar kepada anak-anaknya. Semua kejadian tadi sore berkelebat di pikiranku. Kata-kata yang dituturkan si gadis penjual mengawang jelas di otakku. Dan tiba-tiba saja mataku memanas. Air mataku mengalir secara perlahan. Aku tak kuasa membayangkan jika apa yang dialami oleh si gadis dan adiknya itu menimpaku. Aku pasti tak akan setegar itu. Aku pasti tak akan sekuat gadis itu. Aku pasti tak mampu tersenyum selebar dan secerah yang dilakukan gadis itu.
Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar. Laa ilaaha illallahuallahu akbar. Allahu akbar walillahilham. Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar. Laa ilaaha illallahuallahu akbar. Allahu akbar walillahilham.
Bibirku bergetar. Air mataku mengalir semakin deras. Di tengah kumandang takbir yang terdengar begitu jelas di telingaku, aku menangis tersedu-sedu. Astaghfirullahal adzim, kemana saja aku selama ini? Apa saja yang sudah kulakukan selama ini? Sementara mereka yang di luar sana bekerja keras, aku malah melakukan hal-hal tidak penting di sini. Maafkan aku Ya Allah. Maafkan aku, rintihku dalam hati.
Hari semakin malam. Kumandang takbir semakin lama semakin lirih terdengar. Namun bulan dan bintang-bintang tetap bersinar terang, seterang hatiku yang sudah dicerahkan oleh hidayah Allah. Ya, aku telah sadar. Hidayah Allah datang melalui kelima orang yang kutemui kemarin sore. Lima orang dengan kisah yang berbeda, namun telah memberiku sebuah kesadaran bahwa aku harus berubah. Bahwa aku tidak boleh menyia-nyiakan hidup yang sudah Allah berikan padaku.
——————
Pagi menjelang. Aku merasa pagi ini matahari terbit lebih cerah dari biasanya. Entah itu memang cerah, atau karena diriku yang merasa telah lahir menjadi Chacha yang baru. 1 Syawal tahun ini adalah 1 Syawal yang luar biasa bagiku, bukan 1 Syawal biasa yang dulu kulalui dengan biasa saja pula. 1 Syawal tahun ini akan menjadi hari awal bagiku untuk berusaha menjadi anak yang sholehah, seperti yang diucapkan bapak tukang becak itu.
Oleh: Aisyah Asmi, mahasiswi Universitas Airlangga