Kudekatkan jariku kesebuah jendela di apartemenku dengan kaca yang tertutup oleh serpihan-serpihan salju putih yang menutupi pandanganku. Terlihat jelas menara eifel kokoh berdiri diantara putihnya gumpalan-gumpalan salju yang terlihat jelas dari tempatku. Salju di bulan Desember memang begitu lebat, dan sedikit membuatku susah untuk berpakaian karena aku harus menggunakan beberapa pakaian untuk melindungi kulit tropisku ini yang tak terbiasa dengan suhu dingin.
Aku pun kembali duduk didekat mesin penghangat yang ada apartemenku, ku cari sebuah buku untuk kubaca seraya menikmati secangkir kopi untuk sedikit menemaniku disituasi seperti ini. Dengan tidak sengaja kutemukan sebuah buku catatan kecil, buku diaryku yang selalu menemaniku selama aku masih SMA. Teringat disaat dimana aku dan kawan-kawanku selalu menghabiskan waktu bersama di atas gedung sekolah kami dan membuat suatu taruhan.
“Hai bagaimana jika kita bertaruh?” Ucap Lidya.
“Dih Taruhan kan dosa Lid?” Saut Novi seketika.
“Tau nih Lidya! Kata pak gurukan kita gak boleh taruhan!” Saut aku dan Rika.
“Ih dengerin dulu! Jadi taruhannya tuh kita berempat nulis cita-cita kita di kertas kecil ini dan ketika sampai dirumah kita tempel dilangit-langit rumah kita! Dan siapa yang lebih cepat menggapai mimpi itu dia yang menang!” Ucap Lidya.
“Terus yang kalah hukumannya apa?” Tanya Rika.
“Ia yang kalah hukumannya apa?” Saut aku dan Novi.
“Yang kalah harus jadi penggemar yang menang! Hahaha, gimana setuju gak?” Tanya Lidya.
“Boleh juga sih!” Saut Novi.
“Ia udah jadi sekarang kita tulis mimpi-mimpi kita dikertas ini!” Lalu Lidya pun memberikan sobekan-sobekan kecil kertas yang telah ia genggam ditangannya.
Seketika kami pun menulis semua yang kami impikan di kertas tersebut. “Eh eh lu nulis apa Lus?” Tanya Rika ke aku.
“Gua pengen ke Paris!” Jawabku seketika.
“Hah Paris??” Tanya semua teman-temanku.
“Tapikan itu jauh banget Lus?” Tanya Lidya.
“Ia, emang kenapa? Mimpi tuh gak usah tanggung-tanggung kali! Hehehe, toh kalo kalah cuma jadi penggemar kalian doang kan?” Jawabku seketika.
“Ia juga sih!” Ucap Novi.
“Nah terus mimpi kalian apa?” Tanyaku pada mereka.
“Mimpi gua, gua mau jadi penyanyi!” Ucap Lidya.
“Kalo gua mau jadi Reporter!” Ucap Novi.
“Gua gak muluk-muluk Cuma mau jadi koki aja tuh! Hehehe,” Ucap Rika.
“Oke, kan kita udah nulis mimpi-mimpi kita sekarang ayo kita pulang dan tempel mimpi ini diatas langit-langit kamar kita jadi ketika kita terbangung kita gak pernah lupa akan mimpi yang telah kita buat ini!” Ucap Lidya.
Semenjak saat itulah kami mulai mencoba untuk menggapai mimpi-mimpi indah kita.
*
Kini sudah memasuki waktu Lohor di Paris, seketika kututup buku Diary itu dan kumulai mengambil air wudhu dan kukenakan sebuah mukena putih lalu kugelar sebuiah sajadah sebagai alasnya. Selama di Paris aku memang selalu membiasakan sholat terlebih dahulu sebelum melakukan aktifitas lainnya.
Selesai sholat kusiapkan seluruh buku catatan dan laptopku dan kumasukan semua kedalam tas ranselku. Ku kenakan kerudung untuk menutupi auratku ini sebagaimana yang sering ibuku katakana padaku “Wanita yang cantik merupakan wanita yang menutup auratnya!” Beberapa saat aku akan keluar dari apartemen aku teringat akan buku diary itu, kubuka kembali pintu apartemen itu dan ku ambil buku diary itu.
Jalan disini sungguh dingin, bahkan untuk pergi ke Kampus pun aku harus memakai tiga helai baju. Selama diperjalanan itu aku teringat kembali ketika aku dan ketiga temanku berangkat sekolah bersama, memang rumah kita tidak searah tapi kita selalu menunggu disuatu tempat dan berjalan menuju kesekolah bersama.
*
Kelas pun berakhir, aku memutuskan untuk melihat kembali buku diary lamaku ini, teringat disaat kelas berakhir kami selalu berkumpul di atas gedung sekolah kami dan berbicara banyak tentang mimpi-mimpi kami. Kesombongan dimasa muda itu memang indah, kami selalu menyombongkan sesuatu yang bahkan kami tak pernah mendapatkannya.
“Nih nanti kalo gua udah jadi koki ternama gua bakal pergi keliling dunia dan memperkenalkan sayur asem sebagai salah satu masakan terbaik Indonesia! Hahaha,” Ucap Rika.
“hahaha, masa sayur asem sih? Lidah orang bule mah gak cocok ama yang begituan!” Saut Novi.
“Eh jangan salah lu! Obama aja suka sate!” Jawab Rika.
“Ya itukan sate, bukan sayur asem mbak! Hehehe,” Jawab Novi lagi.
“Tenang-tenang Rik! Nanti kalo gua udah go Internasional gua bakal ngenalin sayur asem ke Musisi-musisi dunia!” Ucap Lidya.
“Bener Lid? Yaudah nanti gua bikin sayur asem special keju! Hahaha,” Ucap Rika.
“Hahaha, mending nanti lu suruh Novi buat ngeliput masakan sayur asem lu nanti Rik! Hahaha,” Ucapku pada Rika.
“Oh iya bener juga lu Lus! Rika kan nanti jadi reporter ya? Hehehe,” Saut Rika.
*
Ya saat itu kami sering bermimpi, bermimpi dan berkhayal bahwa suatu saat kita akan menggapai mimpi kita bersama-sama. Ku bangun dari sebuah bangku taman di kampusku dan bersiap untuk pergi membeli suatu makanan untuk mengisi perutku yang kosong. Aku datang di suatu kedai makanan dan memesan sebuah makanan.
Kulihat dari jendela, Nampak jalanan di daerah paris kini menjadi memutih, ku buka kembali buku catatan itu dan kukenang saat dimana kami sedang bercanda bersama seperti biasa diatas gedung sekolah kami. Hingga ada suatu kabar yang tak menyenangkan hinggap di telinga kami.
“Apa? Ayah kecelakaan? Baiklah aku akan kesana Mah!” Ucap Rika saat mengangkat handphonenya, dan dengan langkah terburu-buru ia pun meninggalkan kami.
Kami bertiga tak tahu apa yang terjadi sebenarnya, seketika saat Rika mengangkat handphonenya ia langsung saja pergi meninggalkan kami.
“Hei apa yang sebenarnya terjadi pada Rika?” Tanyaku pada mereka.
“Entahlah! Tapi tadi gua dengar ayahnya kecelakaan!” Jawab Novi.
“Bener? Lu gak salah dengerkan Nov?” Tanya Lidya.
Keesokan harinya pun kami mendengar bahwa ayahnya Rika telah meninggal dunia pagi ini. seketika kami pun langsung keluar kelas dan memilih bolos untuk kerumah Rika. Terlihat bendera kuning berkibar tepat di jalan menuju rumah Rika. Terlihat raut wajah berduka di rumah tersebut.
Kami dapati seorang anak perempuan sedang terduduk lemas diantara para pelayat yang datang, itulah Rika, seakan belum siap untuk kehilangan ayahnya yang tercinta ia hanya bisa terdiam sambil sesekali meneteskan air mata. Kami pun langsung mendekatinya.
“Sabar Rik! Semua pasti akan kembali kesisinya! Jadi kamu harus ikhlas ya!”. Seketika kami pun langsung mencoba untuk menenangkannya.
Seketika saat itupun Rika langsung memeluk kami sambil meneteskan air matanya, kini pundakku penuh dengan tetesan air matanya.
“Kenapa dia ninggalin gua secepat ini? Gua pun bahkan belum sempet ngebuat dia bangga!” Sambil menetaskan air mata Rika seakan tak rela kehilangan ayahnya.
“Sabar Rik! Sabar!” Ucap kami.
Ayah sekaligus tulang punggung bagi Rika dan keluarganya ini kini telah berpulang. Mulai saat itu Rika seakan menjauh dari kami, kini ia pulang lebih cepat dari biasanya. Kamipun memutuskan untuk berkunjung kerumahnya setelah pulang sekolah.
“Assalamualaikum!” Kami seraya mengetuk pintu rumah yang kecil itu.
Seketika keluar ibunya Rika sambil menggendong anaknya yang masih berusia dua tahun. “Waalaikum salam! Eh Lusi, Lidya, Novi! Ada apa ya?” Tanya Ibu Rika pada kami.
“Rikanya ada bu?” Tanyaku.
“Oh! Rikanya sedang ngelayanin dirumah makan!” Ucap Ibu Rika.
“Oh yasudah makasih ya bu!” Ucapku dan teman-temanku.
“Ia sama-sama!” Jawab Ibu Rika.
Seketika kami pun merasa Iba mendengar Rika selalu menghabiskan waktu ketika pulang sekolah untuk berjualan di rumah makan milik ibunya itu. Kami pun langsung saja pergi ke tempat Rika berjualan.
“Oh gitu ya? Jadi lu gak mau cerita-cerita kekami kalo lu udah menang taruhan!” Ucap Lidya dengan wajah seakan kesal dan ingin untuk mencakar wajah Rika.
“Teman-teman?” Ucap Rika kaget saat akan sedang memasak didapur.
“Kenapa lu gak pernah cerita kekita kalo lu harus jualan saat pulang sekolah?” Ucap Novi.
“Emang lu anggap kita ini apa? Bukankah kita ini sahabat?” Ucapku saat itu.
“Maaf! Gua hanya gak mau nyusahain kalian!” Dengan wajah tertunduk lemas Rika pun meminta maaf ke kami.
“Rikaaa!” Lidyapun langsung mendekati Rika seakan ingin menamparnya. Namun ia justru memeluk Rika dengan erat. “Kita ini kan sahabat, bukankah sahabat itu harusnya saling membantu? Jadi kenapa lu gak pernah cerita akan hal ini? apakah lu gak pernah menganggap kita ini sahabat?” Ucap Lidya sambil meneteskan air matanya.
“Maaf! Maaf gak pernah cerita ini kekalian! Maaf ngebuat kalian khawatir! Maaf banget! Gua nganggap kalian sahabat gua kok! sahabat terbaik yang pernah gua temuin selama gua hidup di dunia ini!” Tetesan air mata pun menetes dari mata Rika.
Seketika kami pun langsung memeluk Rika dengan meneteskan air mata. Air mata cinta dari seorang sahabat yang tulus menyayangi sahabatnya. Dan Mulai saat itu Rikalah yang memenangkan taruhan ini, dan kami pun menjadi penggemar nomor satu nya Rika saat itu.
*
Kututup buku diaryku itu dan bergegas untuk kembali ke apartemenku. Sejenak aku berhenti di suatu sekolah didaerah itu. Terlihat anak-anak sedang asik bermain bola salju di dinginnya cuaca ini. Terlihat tawa lepas penuh kebahagiaan dari mereka. Mengingatkanku saat dimana kami lulus SMA.
“Alhamdulilah gua lulus!” Ucap Lidya dengan penuh kebahagiaan.
“Gua juga lulus! Terus kalian bagaimana?” Tanya Novi.
“Gua juga lulus!” Saut Rika.
“Berarti kita semua lulus ya! Alhamdulilah jadi perjuangan kita gak sia-sia deh! Hahaha,” Ucapku saat itu.
“Oh iya Lus! Gua denger lu dapat beasiswa ya dari UI?”. Tanya Lidya.
“Yang bener Lus?” Tanya Rika dan Novi penasaran.
“Ia gua dapat beasiswa soalnya kemarin gua iseng-iseng ngikut seleksi beasiswa di UI! Hehehe,” Ucapku.
“Wah selamat ya Lus! Bisa dong kita makan-makan? Hehehe,” Ucap Novi.
“Terus makannya dirumah makan gua ya! Nanti gua masakin yang spesial deh buat kalian! Hehehe,” Ucap Rika.
“Wah boleh tuh! Gimana Lus? Lu traktir ya? Hehehe,” Tanya Lidya.
“Ia deh ia! Tapi harganya harga temen ya Rik! Hehehe,” Jawabku sekaligus bercanda dengan Rika.
Kami pun tiba dirumah makan Rika, bergegas Rika pun langsung masuk ke dapur untuk menyiapkan kami makanan.
“Terus habis ini kalian mau lanjut kemana?” Tanyaku pada Lidya dan Novi.
“Kalo gua mah mungkin akan lanjut ke broadcasting!” Ucap Novi.
“Kalo gua mau masuk ke sekolah seni!” Saut Lidya.
“Widih kalian udah mulai mencoba menggapai mimpi kalian ya? Hehehe,” Tanyaku pada mereka.
“Yo’I, kita kan gak mau kalah sama Rika!” Saut Lidya.
“Eh gua denger ada yang nyebut-nyebut nama gua nih?” Sambil membawa makanan Rika keluar dari dapurnya.
“Ah enggak kok! perasaan lu doang kali? Hihihi,” Jawab Novi.
“Yaudah makan yuk! Udah laper banget nih!” Saut Lidya.
Saat semua sudah mulai mencoba untuk menggapai mimpinya, aku hanya dapat diam karena tak tahu harus memulai darimana untuk menggapai mimpiku ini. kertas itu masih menggantung, menggantung diatas langit-langit kamarku dengan satu mimpi, mimpi yang masih menggantung tepat dihadapanku setiapku terbangun atau pun akan tertidur.
*
Ku buka kembali pintu apartemenku dan kulepaskan tiap helai baju yang menempel di tubuh ini seraya berjalan mendekati penghangat tubuh yang ada di kamarku. Mulai kucoba untuk membuka buku diary ini dan kubaca lagi buku itu, buku yang selalu menemaniku selama ini. Tiba-tiba terdengar bunyi getar dari androidku.
Ternyata satu pesan dari Lidya. “Cie yang dapet beasiswa di Paris diem-diem aja? Udah lupa ya sama kita-kita ini? oh ia, kita lagi reunian nih di tempat dimana kita mulai melakukan taruhan itu, taruhan yang menentukan segalanya. Oia gua besok nyanyi ke Malaysia, terus Novi besok pergi ke Papua dan Rika tadi baru aja ngebuka cabang Rumah makannya yang ke lima. Kita kali ini bertaruh siapa yang lebih cepat nyusul lu ke Paris, Paris emang jauh, tapi jika lu bisa kenapa kita nggak? Jadi mulai saat ini kita akan gantung mimpi itu dengan tujuan bisa berkumpul lagi sama lu di satu tempat yaitu menara eifel. Jadi tunggu aja ya kita pasti bisa nyusul lu!”
Ku balas pesan tersebut “Baiklah gua akan nunggu kalian! Dan jika kalian udah sampai disini gua janji akan mengajak kalian berkeliling di kota ini!” sambil tersenyum aku pun melihat ke langit-langit kamar ini.
~The End~
*
Tuliskan mimpi itu di suatu kertas dan gantungkanlah diatas langit-langit kamarmu, jadi setiap kali kau terbangun kau akan ingat mimpi itu ada dan akan selalu ada di dalam kehidupanmu. Jangan pernah biarkan mimpi itu jatuh dan hilang dari kehidupanmu, percayalah suatu saat mimpi itu akan terwujud. Man Jadda wajada.
Oleh: Andika Sahputra, mahasiswa Mercu Buana kelas karyawan
, Img: kaskus