[Cerpen] Ada Cinta di Rusia

0
425


“Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai diri sendiri.” Juga sabda Rasulullah, “Barang siapa ingin mendapatkan manisnya iman, maka hendaklah ia mencintai orang lain karena Allah.”

(HR Hakim dari Abu Hurairah)”.

Hari itu musim dingin, di Rusia. -23 derajat celcius, dengan suara angin yang menderu diiringi hujan salju, negeri beruang merah ini menjadi sangat ganas. Neva termangu menatap keluar dari jendela kamarnya, duduk menopang dagu, menatap tanah Rusia yang sekarang tertutup selimut putih. Pikirannya berisi seribu macam hal yang silih berganti mengusik hari-harinya. Teman-teman sekamarnya masih sibuk berkutat dengan dosen mereka masing-masing di korpus (sebutan untuk gedung perkuliahan disini). Neva terdiam lama sampai akhirnya dengan suara lirih dia menggumam…

NEVA:

“Apa arti pernikahan…? Apa dengan menikah aku pasti bahagia…? Apa iya aku akan punya suami seperti yang selama ini aku idam-idamkan? Apa aku akan punya anak yang lucu-lucu dan sholeh sholehah? Apa suamiku nanti akan bertanggung jawab terhadap keluarga kecil kami? Lalu mengapa ada perceraian? Mengapa ada pengkhianatan? tidak bisakah kata-kata itu dan semacamnya dihapuskan saja dari kamus bahasa Indonesia…? Lebih tepatnya, dihapuskan dari muka bumi ini…”

 

Arrggghhhh! Neva mengacak-acak rambutnya sendiri. Neva memang memakai kerudung, tapi di kamar tentu saja tidak. Neva sedikit tomboy, tapi bukan berarti dia tidak bisa berdandan girly seperti teman-teman perempuannya yang lain. Neva sadar alangkah baiknya jika dia bisa berjilbab dan berpakaian lebih “rapih”. Kadang ia berpikir, mungkin nanti saat dia sudah berkeluarga, tapi apakah dia masih diberi waktu oleh Allah untuk memperbaiki cara berpakaiannya? Saat ini dia lebih senang bergaya simple. Jeans, T-shirt atau kemeja, sneakers, dan jilbab. Namun tetap tidak bisa menutupi ke-tomboy-annya. Toh kalau dia harus bergaya cantik pun, seperti saat perpisahan SMA dulu,  semua orang memuji kecantikannya.

Lagi-lagi Neva menghela nafas, ia tahu ini adalah sebuah keputusan yang tidak mudah. Sejak orangtuanya bercerai 3 tahun lalu, sejak saat itu ia mulai berpikir untuk tidak menikah. Ibu yang begitu mencintai ayah, bersikeras memilih ayah walau nenek tidak setuju pada awalnya. Lalu apa yang diperbuat ayah? Ia dengan teganya menelantarkan kami, ia mencari kebahagiaannya sendiri di luar sana tanpa kami. Tanpa aku, ibu, abang, dan adik-adikku. Kami pikir kami sangat berharga baginya. Kami pikir kami adalah darah daging yang akan dicintainya sampai habis nafasnya. Dulu mungkin iya. Tapi sekarang, ayah bahkan sepertinya tak pernah memikirkan ibu yang bekerja pagi sampai malam tanpa mempedulikan kesehatannya. Ia mengabdikan dirinya untuk mengajar dari satu kampus ke kampus lain, membagi ilmunya, tanpa lelah, tanpa merasakan usianya yang sudah mendekati angka 50. Ibuku, ya.. ibuku..

Lalu, kalau orangtuaku tidak mendapatkan kebahagiaan dari menikah, apa aku yakin tidak akan mengulangi hal yang sama seperti orang tuaku? Hati Neva begitu masygul, bagaimanapun juga, tetap selama 2 tahun terakhir ia menjalin hubungan dengan seorang laki-laki yang dicintainya, awalnya ia tidak yakin, ia lelah.. lelah dengan permainan dan lika-liku cinta yang seringkali menyakitkan. Belajar mengerti seseorang yang benar-benar baru di hidupnya, memahami saat dia marah, bosan, dan manja.. membagi perhatiannya yang sampai saat ini sudah banyak terbagi untuk hal-hal lain di hidupnya. Dan yang lebih penting, apakah hubungan yang sudah berjalan 2 tahun ini akhirnya akan berakhir dalam sebuah ikatan pernikahan? Tak ada yang menjamin.

NEVA:

“Aku tadi lagi dipanggil sama manajer, ngobrol masalah keberangkatan aku ke Rusia, banyak banget yang kita obrolin, jadi aku gak bisa angkat telfon kamu… maafin aku doooongg…”

Neva menjelaskan dengan suara memelas kepada pacarnya di telfon. Pacarnya tinggal untuk dinas di Sulawesi. ia jarang sekali bertemu dengannya. Awal menjalin hubungan, pacarnya—Naren—sering sekali bolak-balik Jakarta untuk mengisi weekend dengannya. Tapi semakin lama, Naren hanya sekali dua kali dalam setengah tahun mengunjunginya.

NAREN:

“Kamu pasti bohong, apa susahnya sih angkat telfon sebentar? Pasti manajernya masih muda, kamu pasti dideketin ya sama dia? Aku makin curiga sama kamu sejak kamu kerja disana!!!”

 

Whaattttt???!!! Dadaku sesak, rasanya seperti dihimpit diantara dinding tebal dan tidak bisa bergerak, sulit bernapas. Aku memang bukan perempuan sholehah yang langsung menundukkan pandangan saat melihat laki-laki tampan, bukan pula perempuan suci yang tidak senang dirinya dipuji dan diperhatikan oleh laki-laki saat ia berpenampilan all out dan terlihat cantik. Tapi aku selalu belajar, memperbaiki diri dan imanku, dan yang terpenting aku akan setia saat aku sudah berkomitmen. Aku akan mencurahkan seluruh hidupku untuk satu orang. Cukup satu orang. Tapi bagaimana cara membuatnya melihat semua itu?

Hufhhh, satu demi satu bulir air mataku mengalir. Apa untuk air mata ini aku mencintai seseorang? Apa untuk disakiti hatiku sedalam ini aku mencintai seseorang? Apa hanya untuk dimaki-maki aku mencintai seseorang? Gila.. aku bisa gila.

 

NAREN:

“Dasar perempuan murahan. Lo pasti sengaja nyariin gw tempat kost yang jauh dari tempat lo nginep kan? Biar lo bisa pergi sama cowo lain!! Dasar lo ******! ****! ”

 

Aarrgghh! Kenapa harus kata-kata kasar? Kenapa harus kata-kata tidak senonoh??? Tidak tahukah dia hati perempuan sangatlah lembut? Mengapa dia tega mengeluarkan kata-kata seperti itu untuk seseorang yang—katanya—dicintainya? Mengapa tidak bisa sedikit merubah sifat temperamennya? Kenapa harus aku yang selalu mengerti dia? Kenapa? Nah! Lagi-lagi aku terdesak kepada suatu kondisi dimana aku menjadi sangat perhitungan. Aku tidak suka ini.

Dia tidak pernah tau bagaimana sulitnya mencari kamar kos untuk menginap satu atau dua hari menjelang wisuda. Aku berkeliling seharian dengan temanku dari satu tempat kos ke tempat kos lain, mencari kosan yang masih kosong, berharap ada tempat yang layak untuk dia tempati satu-dua hari. Tapi dengan seenaknya dia menganggapku seperti itu. Mengapa di pikirannya hanya hal-hal buruk yang ada tentang diriku?

Selama menjalin hubungan dengannya, aku tidak pernah menggubris ajakan teman-teman kampusku, dengan alasan dia meminta agar aku menjaga perasaannya, bahwa dia sekarang sedang bekerja keras menghilangkan kebosanannya di sebuah pulau di Sulawesi, yang tentu saja sangat berbeda keadaannya dengan aku yang tinggal di Ibukota Indonesia. Seharusnya aku berpikir “so what???”, tapi semuanya sudah terlambat. Saat itu aku bagai tak punya kehidupan sendiri. Hidup yang aku jalani adalah yang sesuai dengan keinginannya. Fool you Neva. Kamu terlalu naïf. Ok, dia sangsi. Dia meragukan semua yang aku lakukan. Lalu saat aku bertanya—kenapa? Dia hanya menjawab…

 

NAREN:

“Karena aku sayang banget sama kamu, karena aku gak bisa ngebayangin kamu pergi dengan cowo lain, ngobrol, jalan… aku gk bisa! Walaupun itu temen kampus kamu..”

Whatever. Itukah cinta? Cinta macam apa itu? Dengan alasan itukah dia boleh mengata-ngataiku seperti ini? Memaki-makiku dengan kata-kata kasar saat dia naik pitam karena alasan yang tidak jelas. Karena dia selalu berpikir buruk tentang diriku. Karena dia terlalu mencintaiku? Bullshit. Aku yang tidak pernah sekalipun dibentak oleh ibu, aku yang tidak pernah direndahkan seperti ini. Tapi lihat! Tetap saja aku bisa memaafkannya.. ya! Tetap saja aku bisa memaafkannya.

NEVA:

“Kamu kenapa Naren? Kenapa telfonku dari tadi gk diangkat? Aku salah apa lagi? Cuma karena aku pergi sama temen-temen kampus untuk reunian? Ayo doonggg, jangan diem… kasih tau kalo kamu marah…jangan diemmm… please…”

Aku begitu merengek agar dia mau mengatakan kesalahanku. Aku bukan tipe perempuan yang bisa diam saja melihat kekasihnya diam dan merajuk. Helloooo… aku tahu ini 2012, tapi apa sekarang zamannya laki-laki yang merajuk seperti perempuan, dan perempuan yang harus selalu mengalah atas laki-laki dan mencoba membuat semua masalah menjadi terang dan jelas. Semuanya berbalik 180 derajat??!! Tolong katakan tidak!!! Oh! Kill me! Ggrrrrrr! Aku gemas.

Kenapa dia seperti ini?? Berpuluh-puluh kali aku menelfonnya hari ini, sampai akhirnya pada telfon yang kesekian puluh kalinya dia akhirnya mengangkat telfonku. Dia hanya diam. Diam dan diam. Aku tidak bisa seperti ini. Aku segera memutuskan untuk terbang ke Sulawesi besok. Seandainya bisa hari ini aku akan terbang hari ini, sayangnya tidak ada penerbangan kecuali besok, hari ini penerbangan terakhir sudah berangkat. Ini sudah kesekian kalinya, mungkin keempat atau kelima? Aku dengan tanpa pikir panjang memutuskan untuk mengunjunginya di Sulawesi sana. Dengan alasan yang sama, dia ngambek. Dia tidak pernah memintaku untuk datang, tapi aku yang tidak sanggup menerima kelakuannya yang hanya diam, diam, dan diam. Ini memang klise, tapi ini kenyataan. Lebih baik segera di depan mataku sendiri dia mengakhiri hubungan ini daripada harus didiamkan berhari-hari tanpa kabar dan tidak pernah tahu dimana letak kesalahanku.

Kenapa harus ada cinta? Cinta itu rumit. Cinta itu kompleks. Untuk apa berbagi, jika dengan dirimu sendiri pun kau bisa bahagia. Persetan dengan orang diluar sana yang belum tentu bisa membahagiakanmu seperti kamu yang selalu berusaha membagi kebahagiaan dengannya. Tapi kenapa aku tetap mau menerimanya dan mencintainya???

Pernah sekali aku dipukulnya, oh bukan, bukan sekali… tapi dua kali.. aku menangis sejadi-jadinya. Air mata mungkin biasa, tapi ini hatiku yang menangis, ngilu … apa iya aku mau menjalani hidupku sebagai seorang istri dari laki-laki yang begini ringan tangan? Hatiku bukan lagi menangis, ia berteriak.. ia menyerah.. tapi lagi-lagi, laki-laki itu meluluhkan hatiku, ia menangis.. meminta maaf sepenuh sadarnya..

NAREN:

“Aku cinta banget sama kamu Neva, keegoisan aku mencintai kamu yang bikin aku gak rela kamu menolak satupun permintaan aku.. tolong maafin aku… aku cuma emosi aja tadi….”

Lagi dan lagi, terbuat dari apa sebenarnya hatiku? Mengapa ia tak mampu menolak? Mengapa ia tak mampu melepas? Dan akhirnya, masih aku bertahan untuk mencintainya dan berada di sisinya. Tapi kesetiaanku toh tak berarti apa-apa bagi dirinya, karena suatu hari ia berkata lewat telfon sambil menangis… Tangisan apa itu, akupun tak mengerti..

 

NAREN:

“Maafin aku Neva, kamu gak usah lagi perhatiin aku, kamu gak perlu lagi telfon aku… aku udah punya pacar, aku udah selingkuhin kamu.. berat memang aku ngomongnya, tapi ini beneran.. maafin aku udah khianatin kamu…”

DANG!!! Apa lagi ini Tuhan? Masih belum cukup kesabaran dan kesetiaanku? Dan sekarang dia pergi begitu saja dengan kalimat bahwa dia sudah punya pacar lagi? Lalu dianggap apa aku selama ini? Huffhh… untungnya saat itu aku tidak memiliki jam mengajar, hari Jumat, guru-guru dan anak didik akan mengadakan seminar kecil di aula sekolah. Aku bisa sepuasnya menangis. Aku terduduk sendiri di ruang guru SMA. Air mataku menitik, kali ini ringan.. tidak begitu besar beban yang menggayuti hatiku. Air mataku mengalir lebih deras, tapi hatiku sedikit ringan. Sudah terlalu banyak aku dikhianati, sudah terlalu lelah aku mecoba bersabar. Aku tidak boleh menangis terlalu banyak. Aku harus menyayangiku diriku sendiri. Untuk apa mencintai seseorang yang toh bisa mengatakan… “Aku sudah punya pacar lagi…” Kalimat macam apa itu? Seharusnya bahasa Indonesia tidak memiliki susunan kalimat seperti itu. Susunan kalimat yang sederhana tapi menusuk sampai ke organisme terkecil dari tubuh. Mengapa harus ada susunan kalimat seperti itu. Seharusnya organ tubuh manusia memiliki rancangan otot dan saraf yang menahan pemilik badan itu untuk tidak mengeluarkan kalimat seperti itu dan semacamnya.

Ah! Otakku mulai tak waras. Lagi-lagi aku menghela nafas panjang dan menitikkan air mata terakhir. Dia memang bukan yang terbaik untuk aku. Biarlah 2 tahun ini aku mengambil pelajaran dari apa yang sudah aku lalui bersamanya. Cukup Tuhan yang tahu seberapa jauh aku menjaga hubungan ini, dan seberapa besar aku mencintainya. Dia mungkin tak pernah melihat, karena kita berada di tempat yang berbeda. Tapi kalau dia juga tidak merasakan apa yang sudah aku pertahankan selama ini, baiklah… mungkin semua memang sudah harus berakhir. Aku sudah lebih kuat sekarang. Aku sudah jauh lebih mengerti apa yang harus aku lakukan terhadap hatiku. Kalau aku mengingat saat-saat itu… Aku merasa ada yang salah dengan cinta yang aku jalani selama ini. Ada yang mengganjal dalam hatiku. Apa karena selama ini cintaku bukan dilandaskan karena cintaNya….?

***

Bbbbrrrrr… badanku menggigil kedinginan. Aku kembali tersadar dari lamunan panjangku. Kepala asrama belum juga memberikan tirai kamar yang selama ini dia janjikan kepadaku dan teman-teman kamar. Ya, aku tinggal di asrama mahasiswa Internasional. Bertiga dengan temanku dari Uzbekistan dan Cina. Kolaborasi yang indah bukan? Aku sedang mengambil studi Magisterku, dan sekarang sedang mengikuti kelas bahasa sebelum kuliah magister dimulai musim gugur tahun depan. Lagi-lagi aku mengacak-acak rambut pendekku. Kebiasaan yang tidak bisa hilang sejak aku SD. Huffhhh… lagi-lagi menghela nafas… dan sekarang tentang Navro..

NAVRO:

“Please… tolong dong kasih aku SIM…”

NEVA:

“Apa itu SIM?”

NAVRO:

“Surat Izin Mencintaimu”

Apa-apaan ini? Hahahahaa.. aku tergelak! Sudah sejak beberapa minggu sebelum aku berangkat ke Rusia, ada satu laki-laki yang selalu membuatku bisa tertawa geli dan begitu ringan. Perasaan yang sudah lama tidak aku rasakan terhadap laki-laki yang tidak aku kenal pada umumnya. Ada yang lain. Ada rasa yang tidak biasa. Ya Allah…

Neva bingung, ada seorang laki-laki yang begitu ingin mendapatkan hatinya. Hmm.. nampaknya sih begitu, karena laki-laki itu tidak pernah berhenti untuk berusaha mengambil perhatian Neva. Dimanapun. Di *My Page, laki-laki itu berkali-kali mengomentari semua fotonya. Konyol. Gila. Tapi entah darimana asalnya, Neva berbunga-bunga. Dia bahagia. Tapi apa dia yakin?

NAVRO:

“30 menit lagi keretaku sampai di kota kamu”

Oh tidak, akhirnya.. kami akan bertemu. Jantungku seperti berlomba-lomba berdegup seiring dengan turunnya salju pertama di musim dingin ini. Bahkan salju pun seperti menyambut kedatangannya. Aku panik, canggung, malu, tapi aku bahagia. BAHAGIA. Bertemu dengan orang yang selama ini hanya kukenal dari dunia maya dan entah karena apa dia ingin sekali mengenal lebih dekat tentang diriku. Bahagia karena aku merasakan dia memiliki sesuatu yang lain yang tidak dipunyai laki-laki yang selama ini mendekatiku. Hmmm… apa ia terlihat persis seperti yang selama ini aku lihat di foto? Atau ternyata itu semua palsu dan dia adalah sosok yang sama sekali lain???

Dari luar ruangan stasiun kereta di kotaku ini aku melihatnya berjalan menghampiri pintu keluar dimana aku berdiri sekarang. Dia bersama seorang temannya yang juga mahasiswa Indonesia yang sedang belajar satu kota dengannya. Akupun kenal dengan temannya itu. Dia sering dipanggil ustadz blangkon karena ciri khasnya yang selalu memakai blangkon, dia juga salah satu yang selalu menjadi rujukanku menanyakan ilmu-ilmu agama dan berbagai permasalahan Islam sejak aku di Rusia. Ustadz blangkon juga yang membuatku mengizinkan Navro untuk silaturrahim ke kotaku untuk bersama-sama ke Moskow merayakan idul adha.

Aku tidak bisa berhenti tersenyum. Ya, benar dia orangnya. Orang yang rajin menghujaniku dengan puisi-puisi gombal, dengan kata-kata manis yang selalu membuat aku tertawa dan geli. Come on Neva… kendalikan hatimu. Hihihiiii… aku tidak berhenti tersenyum dalam hati, dari jauh kharismanya sudah membuatku terdiam. Aku tidak bisa merasakan detak jantungku lagi saat dia semakin mendekat. Aku seperti lupa cara bernafas, astaghfirullaah… aku jd seperti orang bodoh. Oke.. let’s see..

NAVRO:

“Aku ingin menggengam tangan kamu dan gak ingin melepaskannya”

Aku tidak pernah mendengar kata-kata yang demikian tulus. Dia bukan berkata lewat mulutnya saja, tapi dia berkata dengan hatinya. Dan apa yang berasal dari hati akan sampai juga ke hati. Dan sekarang hatiku begitu sejuk, aku tidak pernah diperlakukan setulus ini. Dulu aku pernah mendengar kata-kata yang sama. Dari beberapa laki-laki yang katanya mencintaiku. Tapi semua seperti terdengar biasa. Mengapa saat Navro yang mengucapkannya semua terdengar lain? Keseriusan yang selama ini diungkapkannya di depanku dan di depan ustadz blangkon membuatku merasakan sesuatu yang jujur, yang tidak bisa aku abaikan begitu saja. Lama kelamaan aku mulai menyadari, aku mulai merasakan apa yang membuat rasa ini berbeda…

NAVRO

“Aku ingin berbagi kebahagiaan dengan kamu.. karena aku tahu bahwa kamu meragukan kebahagiaan itu sendiri, benar kan?”

Apa? Aku belum 1 jam bertukar pikiran sambil ngobrol dengannya di musholla kedutaan Indonesia di Moskow ini dan dia sudah paham betul apa yang menjadi kerisauan hatiku selama ini. Dia memikirkan perasaanku, dia berusaha memahami setiap kesedihan dan keraguanku. Dia tidak hanya menginginkan aku menjadi kekasihnya, tapi dia menginginkan aku menjadi tempatnya berbagi kebahagiaan, dia menginginkan aku menjadi istrinya.

NAVRO:

“Aku tidak akan memandangmu lama-lama, karena aku tau itu akan menyebabkan hatiku menjadi keruh, biarkan aku menyimpan senyum dan wajah kamu di dalam hati aku saja, untuk kuselipkan di dalam do’aku, karena aku ingin kamu menjadi pendampingku…”

Saat dia mengucapkan itu di *Metro, di Moskow, Aku belum memberi kepastian untuknya. Aku bahkan berkali-kali meminta dia untuk tidak berharap banyak dari aku. Aku tidak ingin memberi harapan kosong untuknya. Aku hanya belum siap memutuskan bahwa aku akan menjalin hubungan serius untuk kesekian kalinya dengan seorang laki-laki dan aku takut ini akan gagal lagi. Tapi dia tidak mau tahu, dia berkali-kali mengatakan bahwa perasaannya tidak akan berubah, dia mencintaiku dengan tulus, dan dia tahu suatu saat aku akan merasakan ketulusan itu dan menerimanya ke dalam hidupku. Dia tidak pernah memaksa aku mencintainya, dia tidak pernah memaksaku merasakan cintanya, tapi dengan sendirinya semua kata-kata dan sikapnya membuatku merasakan itu. Hari itu, hari terakhir bagiku, Navro dan teman-teman kami sesama pelajar Indonesia di Rusia berkeliling Moskow. Kami akan kembali ke kota masing-masing besok pagi. Dan seperti hujan di musim kemarau..

 

NAVRO:

“Maukah kamu menjadi ibu untuk anak-anakku? aku ingin menikahi kamu, bulan April nanti..”

Tolong jangan bangunkan aku! Aku tidak ingin terbangun. Ini pasti mimpi kan? Dia mengajakku menikah. Bulan april? Bulan april 2013. 5 bulan lagi? Tolong jangan bangunkan aku. Biarkan aku terus bermimpi. Tapi ini bukan mimpi Neva! Ini kenyataan, dan di depan kamu ada seorang laki-laki yang sangat ingin menunjukkan keseriusannya, seseorang yang begitu ingin membahagiakanku, seseorang yang mengatakan bahwa ia ingin menyempurnakan separuh imannya bersamaku.

Sudah sering aku mendengar ajakan menikah dari laki-laki lain dalam hidupku, juga Naren. Masih banyak lagi nama-nama di belakangnya yang tidak perlu disebutkan. Tapi semua kata-kata mereka tidak pernah terbukti. Mereka pergi, mencintai orang lain begitu cepat, dan melupakan aku.

NAVRO:

“Aku bukan orang kaya, aku bukan seorang jenius, aku juga tidak tampan.. tapi aku punya cinta yang begitu besar untuk kamu yang semuanya aku landaskan cintaku kepada Sang Khalik, aku ingin berbagi kebahagiaan yang aku rasakan dengan keluargaku bersama kamu, dengan segala kesederhanaan ini aku ingin menunjukkan simbol kemandirian aku Neva, aku tidak akan mengandalkan orangtuaku, aku akan bertanggung jawab sepenuhnya atas kamu, dengan menguras otak dan tenagaku.. aku akan bertanggung jawab penuh atas keluarga kecil kita nanti.. tapi aku mohon, temani aku baik saat aku senang ataupun sulit ya Neva…”

Aku tidak perlu kekayaan kamu Navro, aku tidak perlu ketampanan, aku tidak perlu kejeniusan. Semua itu bisa diraih dan dipelajari. Aku ingin cintamu yang begitu tulus dan kesholehanmu yang begitu indah. Cintamu yang membuatku sadar bahwa kekayaan dan ketampanan tidak abadi. Kesuksesan tidak mensyaratkan kejeniusan, ia mensyaratkan keuletan, ketekunan dan kekuatan mental. Aku tahu kamu memiliki semua yang aku inginkan dari seorang laki-laki yang akan mendampingi hidupku. Itu semua lebih dari cukup, Navro…

NAVRO:

“Aku tertegun melihat bagaimana kamu bersikap begitu indah, kamu tahu bagaimana melayani tamu, bagaimana kesopanan terhadap orang tua, untuk hal-hal kecil sekalipun.. aku sudah jarang melihat hal seperti itu dari seorang wanita yang notabene pintar dan merasa dirinya superior.. kamu adalah kombinasi unik yang jarang sekali aku lihat sekarang ini dari seorang wanita modern. Kamu adalah wanita sholehah yang modern namun tidak melupakan kewajiban kamu sebagai wanita yang sesungguhnya. Itulah yang membuat aku bertekad mendapatkan kamu Neva..”

NAVRO:

“Aku ingat cara kamu bertanya kepada Pak Fahri dan Kak Angga saat kita bertamu ke tempat kepala sekolah *SIR waktu itu, apakah mereka mau dibuatkan teh atau tidak… wow, aku kagum dengan sikap hormat kamu kepada orang yang lebih tua, bagaimana cara kamu menghargai keberadaan orang-orang di sekeliling kamu… aku yakin kamu pun akan menjadi seorang istri dan ibu yang sholehah kelak…”

NAVRO:

“Aku ingin menjadi laki-laki yang sesungguhnya Neva, aku mohon kepada kamu..kalau nant kelak aku sudah kuat dalam materi, janganlah kamu bersusah payah bekerja, aku mohon kamu di rumah untuk anak-anak kita, kalau kamu ingin bekerja, maka bekerjalah yang sekiranya tidak membuat kamu teramat lelah sehingga anak-anak kita nanti akan tercukupi perhatian serta kasih sayangnya di rumah… Karena kamu adalah sekolah bagi anak-anak kamu nanti Neva.. ”

Navro… kamu mencintaiku dengan begitu sederhana. Mencintaiku seperti aku adalah yang pertama dan terindah di hidupmu. Kamu ingin segera menikahiku agar tak terbuka pintu zina melainkan pintu ibadah. Di sisi lain kamu begitu detil menyusun semua masa depan kita nanti. Kamu sangat ingin menjadikan aku putri di hati kamu. Kamu begitu yakin bahwa semua masa lalumu dan masa laluku tentang cinta yang tidak begitu indah adalah jalan yang akhirnya mempertemukan kita berdua dalam cinta yang lebih indah… CInta karena Allah… Aku menangis. Menangis bahagia. Inilah ternyata yang tidak pernah aku dapatkan dari laki-laki yang aku kenal sebelumnya. Mereka dulu hanya mengedepankan cinta, namun bukan cinta yang tulus karena Allah, mereka hanya mencintai apa yang terlihat oleh mata, apa yang nampak oleh fisik saja, begitupun aku yang dulu dilenakan oleh pernak-pernik dunia yang semuanya ternyata menipu saja. Aku ikhlas Ya Allah, biarlah semua yang telah aku lalui itu menjadi jembatan untuk sesuatu yang lebih indah dan lebih baik di hadapanMu. Akan aku jadikan semua itu pelajaran yang sangat berharga untuk menjadi istri dan ibu terbaik.

***

Langit Moskow, Red Square, Kremlin, St. Basil… bersaksilah atas kebahagiaan kami. Atas pelabuhan dua cinta yang telah disatukan oleh Allah di atas bumimu, bukan bumi Indonesia tempat kami dilahirkan, tapi bumi Rusia. Hari ini, di Mesjid Agung Moskow ada cerita baru yang kami torehkan dalam sejarah hidup kami. Ada cinta dimana-mana, begitu juga di Rusia. Cinta bisa datang dimana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. Seperti cinta yang selalu ada di hati dua manusia yang memiliki nama yang nyaris serupa ini, Neva dan Navro. Ini kan yang disebut takdir? 😉

-Selesai-

*My Page        : Jejaring Sosial semacam Facebook (fiktif)

*SIR                : Sekolah Indonesia Rusia

*Metro             :  Salah satu alat transportasi yang sangat populer di Moskow

Oleh: Raisa Shahrestani

Tinggalkan Balasan