[Cerpen] Setangkai Mawar Merah Berduri

0
1417

Lama Marsha termangu di depan lukisan yang satu tahun ini menghiasi kamarnya. Marsha mencoba mengejanya. Walaupun yang ada hanyalah perih.   air matanya tumpah. Entah sudah berapa kali air mata itu tumpah. Meskipun sering kali mencoba untuk menahannya, tetap saja dia terus mengalir bak air hujan yang jatuh begitu derasnya. Yah, Lukisan itu seakan menyibak kembali kenangan masa silam. Kenangan yang menyesakan jiwa siapa saja. Tapi benda itu terlalu berharga untuk Marsha. Hingga akhirnya dia tak mampu untuk menyingkirkan lukisan itu bahkan setia menemaninya.

Ketika itu Marsha turun dari angkot di depan kampusnya. Saat itu kampus masih sepi. Mungkin karena Marsha datang terlalu pagi, jam 7 pagi. Sementara jam kuliah biasanya dimulai pukul 8 pagi. Tak tahu kenapa kemarin ketua kelas mengatakan dosenya yang bersangkutan minta pindah jadwal lebih awal. Tak ada masalah buat Marsha. Walau rumahnya cukup jauh dengan kampus. Toh selama ini di SMA masuknya juga jam 7 pagi. Apa bedanya dengan kampus? Sama-sama tempat menuntut ilmu.

Masha mencari dompet dalam tas. Berualng kali dicarinya. Hingga membuat penumpang dan sopir angkot menungu lama.

“buruan neng? Kasihan penumpang lain.” Desak sopir angkot.

“ia bang, tunggu sebentar. Kok dompet saya gak ada ya? Jawab Marsha dengan bingung sambil terus mengobrak-abrik tasnya. Tapi dompet itu tettap tak ada.

“jadi gimana neng, abang Cuma narik 3 penumpang sama neng. Mana nariknya jauh lagi” protes sopir angkot.

“sebenarnya niat bayar gak si Neng? Modus kehilangan dompet seperti ini sudah biasa.” Tambah sopir angkot dengan kesal.

“beneran Bang, dompet saya sepertinya ketinggalan. Gak bohong kok Bang? Sebentar ya bang saya telpon teman saya dulu. saya pasti bayar kok?” jawab Marsha dengan sedikit mengiba.

Marsha mengambil hp dalam tasnya.

“Ne bang” entah datang dari mana, tiba-tiba pemuda itu telah menyodorkan uang kepada sopir angkot.

“dan kembalian di ambil aja” tambahnya lagi.

“wah makasih dek. Adek pacarnya neng berjilbab ini ya? Pasangan yang serasi” kata sopir angkot itu sambil nyengir kuda. Seakan tak bersalah telah menuduh Marsha yang bukan-bukan. Malah berbicara asal-asalan.

Muka Marsha merah menahan malu. Apalagi dbilang sopir angkot pemuda itu pacarnya.

” terima kasih ya?” ucap Marsha setelah agak lama mereka terdiam.

“sama-sama.” Pemuda itu tersenyum. Senyum manis yang mungkin hanya pemuda itu yang punya.

“Besok InsyaAllah, uangnya sya balikin ya?” tambah Marsha lagi.

“gak perlu kok. Insya Allah saya ikhlas.” Kata pemuda itu masih dengan senyuman dibibirnya. Senyuman yang akan meluluh lantakan hati siapa saja walau sekeras batu sekalipun. Dari kejauhan terlihat seorang gadis tengah berlari-lari kecil menuju kearah mereka.

“Ngapain kalian disini?” tanya gadis itu dengan mata rasa ingin tahu.

“tadi dompet Marsha ketinggalan. Jadi saya bayarin dulu ongkosnya. Saya duluan ya” jawab pemuda itu. lalu berlalu pergi meninggalkan kedua anak manusia yang terpaku layaknya patung yang berjejer di depan gerbang kampus. Entah apa yang ada dipikiran mereka masing-masing. Tak ada yang tahu.

“kok bisa-bisanya dompet ditinggalin” ujar Diana cukup lama mereka terpaku

“buka ditinggalin Di, tapi ketinggalan”Marsha meluruskan statment karibnya.

“sama aja. Intinya tinggal. Untung ada Ardo yang nolongi. Kalau misalnya kamu di apa-apain sama tuk sopir gimana? Jaman sekarang kan ngeri Sha?” pertanyaan demi pertanyaan meluncur dimulut Diana. Cerocos tanpa henti. Persis seperti selancar di tengah lautan. Malah mikir yang tidak-tidak. Marsha hanya menghelai nafas. Dia tahu persis gimana sikap temannya satu ini. Jadi sudah sangat terbiasa.

“jadi nama cowok itu Ardo ya? Kali ini Marsha yang bertanya. Marsha baru sadar kalau dia belum sempat berkenalan dengan pemuda itu. tapi anehnya dia tahu nama Marsha. Dan itulah sedikit  mengganjal pikiran Marsha setelah kepergiannya.

“Astaga Marsha! Kamu itu lugu atau oon sih?” jawab Diana dengan kesal hingga membuat Marsha makin bingung.

“dia itu teman satu kelas kita. Marsha kita tu udah kuliah 3 hari. Masa belum tau? Kalau cowok kelas yang lain kamu gak tau itu gak masalah, tapi.. ini Ardo Sha. Ini Ardo.” Diana jengkel.

“Memangnya kenapa Di?” tanya Marsha pelan seakan tak tahu. Tubuh Diana mulai lemas mendengar pertanyaan Marsha barusan. Tapi mata bening sahabatnya itu menunujukan memang dia tak tahu sama sekali. Tak tahu dengan seorang Ardo. Pemuda tampan yang digilai teman-teman wanitanya di kelas. termasuk Diana. Walau tak seagresif yang lain. Tetap saja dia menaruh harapan kepadanya. Tak hanya teman-teman sekelasnya. bahkan Kakak senior dan mahasiswi yang lainpun tak malu kalah memcoba menarik perhatiannya.

***

Di depan gerbang kampus itulah Marsha ketemu Ardo pertama kali. Senyuman manis yang khas miliknya. Suaranya yang lembut tapi bijaksana. Setidaknya masih tergambar jelas di otaknya. Walau sudah 2 tahun berlalu.  Tanpa terasa dia cukup mengenal pemuda itu. pemuda tampan yang dipuja-puja wanita. Yah, Ardo serupa Yusuf yang menarik hati kaum wanita. Karena ketampanannya membuat siapa saja menjadi mabuk kepayang. Hingga orang lupa segalanya. Tak cukup itu. sikapnya yang baik dan santun semakin menjadikan dia sebagai idola. Tak jarang anak-anak di kelas akan menatapnya, menkhayalkannya ketika sudah bosan mendengar dosen ceramah. Ardo seakan obat  penyejuk hati ketika gersang menyelimuti hati mereka.

“ini tanda persaudaraan” ardo memberikan gantungan kunci. Cantik sekali. Gantungan kunci terbuat dari batu dengan ukiran lafazh Allah.

Marsha terdiam. Sedikit bingung. Ini pertama kalinya dia diberi hadiah seorang pria. Bukan tak ingin. tapi rasanya agak aneh. Kenapa pula Ardo harus memberinya hadiah? Apakah ini bentuk perhatian Ardo kepadanya? Entahlah Marsha sulit untuk menjawabnya. Yang pasti dia tak mungkin menerima hadiah itu.

“sudah diambil saja, Sha” perintah Diana membuyarkan pikiran Marsha.

“tapi.. aku,,” suara Marsha terputus dan seorang wanita muncul dihadapan mereka.

“Ardo terima kasih hadiahnya. Aku senang banget lo” wanita itu tersenyum bahagia lalu berlalu pergi begitu saja.

“kenapa Sha? Tanya Ardo

“eeh gak Papa. Aku suka kok dengan hadiahnya” jawab Marsha dengan muka memerah menahan malu. kalau saja Ardo tahu apa yang barusan terlintas dipikirannya, tentu Marsha tak berani lagi menampakkan muka di depan Ardo. Malu sekali rasanya. tak tahu kenapa pikiran seperti itu tiba-tiba saja terlintas dibenaknya. Mungkin benar yang dikatakan orang bahwa wanita terlalu bermain dengan perasaan. Baru dikasih perhatian sedikit sudah merasa kegeeran.

“kamu suka sama Ardo ya? Tanya Diana ketika Ardo telah pergi.

“Hah?” Marsha kaget. Pertanyaan Diana barusan bak komet jatuh di hadapannya. Tanpa tanda-tanda sama sekali, tiba-tiba saja Diana bertanya seperti itu. pertanyaan yang justru menambah deretan pertanyaan di otak Marsha hari ini yang dia sendiri tak tahu jawabannya.

“kok diam? Berarti benar kan?” Diana bertanya kembali dengan sedikit menggoda. Dan sifat temannya yang seperti ini yang Marsha tak suka. Menggoda dengan rayuan genitnya.

“kamu tahu aku Di, mana mungkinlah” jawab Marsha

“kan jatuh cinta gak haram Sha? Udah jujur saja. Aku mengikhlaskan kok untuk sahabatku tersayang.  “ ujar Diana masih dengan godaannya

“ sok tahu kamu itu. jatuh cinta memang gak haram Di, tapi untuk saat ini belum waktunya. Karena?”  belum sempat Marsha melanjutkan,

“karena cinta itu hanya diberikan untuk suami kita nanti. Ingat Di, menikah dengan orang yang kita cintai mungkin itu kebetulan, tapi mencintai orang yang telah menikahi kita itu kewajiban.” Potong Diana agak kesal.

Marsha tertawa kecil. Dan angin berhembus perlahan menyapa lembut tubuhnya.

***

“Happy birthday Marsha” selembar kartu ucapan bertengger di atas kado yang ada di dalam tas Marsha. Entah bagaimana tiba-tiba kado itu telah berduduk manis dalam tas tanpa disadarinya sama sekali.

“ini tanda persaudaraan. Ardo.” Tulisan terakhir di kartu itu.

“A-r-d-o” Marsha menyebut nama itu dengan terbata. Kaget, bingung, tak percaya sudah bercampur aduk dikepalanya. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan diotaknya yang sudah lelah terkuras agenda kampus hari ini. Apa maksud semua ini? Kenapa lagi-lagi Ardo memberinya hadiah. Apakah? Ahh Marsha tak ingin berpikir yang macam-macam lagi. Dia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti ketika Ardo memberinya gantungan kunci 5 bulan yang lalu. Tapi ini kado ulang tahun? Walau tak ada surat cinta lengkap dengan asesoris yang bernuansa pink, tetap saja kado ini diberikan di hari spesialnya. Apa Ardo juga memberikan kado kepada teman-teman wanita dikelasnya seperti hal yang sama kepadanya. Entahlah Marsha benar-banar bingung. Yang dia tahu sorang pria yang mencintai wanita biasanya akan memberikan hadiah dihari spesial wanita yang dicintainya.

Marsha membuka bungkus kado itu. mencoba mencari tahu beribu tanya di kepalanya. Tak butuh waktu lama. Cukup lima menit kado itu sudah bisa dibuku marsha. Marsha menelan ludah seakan tak percaya dengan apa yang barusan dilihatnya. Lukisan setangkai bunga mawar berduri berada di depan matanya. Dan lukisan itulah yang ada dibalik kado yang diberikan Ardo kepadanya. Lukisan yang membuat hatinya bergetar keras. Getaran yang tak pernah terjadi dalam hidupnya.

Tubuh Marsha terasa lemas. Terlebih lagi hatinya. Tak tahu apa yang dia rasakan sekarang. Senang atau sedih? Kecewa atau marah. Sungguh dia tak tahu. Rasanya semua begitu cepat.

***

“Apa maksud semua ini?” tanya Marsha dengan suara tertahan.

Ardo hanya diam.tak tahu apa ingin dibicarakannya. Dia sudah mengira akan terjadi hal sperti ini.  Tapi dia tak punya pilihan lagi. Pilahan Cuma itu. memberikan lukisan itu pada Marsha. Karena dengan itu Marsha akan tahu perasaannya yang sesungguhnya. Marsha tak mungkin tak tahu tentang lukisan itu. lukisan yang menjadi pemenang pada kontes lukisan yang di adakan di taman budaya setahun yang lalu. Yang Marsha sendiri menjadi panitianya.

“ bunga mawar ini melambangkan seseorang yang kucintai. Dia sepeti mawar yang anggun tapi dia tak mudah untuk diraih. Dan karena itulah mawar itu berduri.” Jawab Ardo ketika MC menanyakan makna lukisannya kala itu.

“itu tanda persaudaraan Sha?” jawab Ardo. Mungkin itulah jawaban yang tepat atas pertanyaan Marsha.

“Persaudaraan atau harapan?” suara Marsha bergetar menahan marah dihatinya. Dia sendiri tak tahu kenapa dia harus marah. Bukankah tak ada yang salah jika ada yang mencintainya.

Ardo menghelai nafas. Lalu memandang lepas ke langit. Seakan dia mencari jawaban di sana.

“tidak Sha. Itu tanda persaudaraan” jawab Ardo mencoba meyakinkan

“maaf aku gak bisa menerimannya” Marsha meletakkan kado di atas tanah tepat di dekat kaki Ardo. kemudian melangkah pergi meninggalkannya.

“haramkah rasa ini Sha?” teriak Ardo cukup  menghentikan langkah kaki Marsha.

“haramkah jika aku mencintaimu? Aku tak berharap apapun darimu Sha karena harapan itu telah terkubur satu tahun lalu. Setelah aku tahu kalau wanita yang kucintai adalah aktivis Rohis. Aktivis yang punya batasan ketat terhadapa lawan jenisnya demi menjaga kehormatannya. Aku menghargai itu. mungkin karena itu juga aku begitu mengagumimu.” Ardo menelan ludah.

“Tapi salahkah semua ini. aku tak pernah menginginkan rasa ini. andai aku bisa memilih, sungguh aku tak ingin Sha? Kau tahu betapa menyakitkannya mecintai sendiri. ambilah  Sha sebagai tanda persaudraan kita. Sungguh harapan itu sudah terkubur tapi lukisan ini telah terlanjur kulukis untukmu.” Ardo menghelas nafas. Akhirnya Marsha tahu tentang perasaannya. Perasaan yang disimpan begitu rapat hampir dua tahun ini.

Marsha terdiam. Kali ini dia yang tak bisa berkata apa-apa.  Dan akhirnya benar-benar pergi meninggalkan Ardo.

***
Marsha menghapus air matanya. Lalu berjalan menuju jendelah berusaha menjauh dari lukisan itu sejenak. Dibiarkannya jendelah terbuka dan semilir anginpun mulai membelai lembut tubuhnya. Dipejamkan matanya dan berharap dapat melihat bayangan itu ketika dia membuka matanya. Bayangan yang selalu hadir dalam doa malamnya.

Oleh: Ayu Ratna Wati, Jambi

Tinggalkan Balasan