Rizal masih tak beranjak dari tempat tidurnya. Ia berusaha mencari posisi senyaman mungkin di kamarnya meskipun panas matahari sudah terik. Hari minggu adalah hari untuk bermalas-malasan baginya. Tak ada alasan untuk bangun pagi. Bahkan terkadang ia mampu tidur seharian selama 12 jam setiap hari Minggu. Ia hanya akan bangun jika ada sesuatu berbau lezat yang mampu menggoda perutnya. Namun hal itu jarang sekali ia dapatkan. Emaknya yang sudah setengah rentan hanya mampu memberinya makan tempe penyet, sop wortel, bahkan terkadang hanya kerupuk saja yang menemaninya makan. Rizal hanya menerima itu semua dengan ikhlas dan ridho’ asalkan ada makanan yang bisa dimakan, baginya itu sudah cukup.
Rizal menatap ke jam dinding di kamarnya yang angka-angkanya sudah pudar namun masih bisa ia pahami. Sudah hampir jam satu siang. Tetapi maknya belum menggedor pintu kamar untuk membangunkannya. Sungguh tak seperti biasanya. Rizal pu menegakkan tubuhnya dan memutuskan untuk mengakhiri tidurnya yang sudah hampir 13 jam. Rizal menggaruk-garuk ramburnya yang cepak dengan mata setengah merem menuju dapur mencari maknya.
“Mak?” Rizal melihat ke sekeliling namun dapur masih tampak bersih. Biasanya kalau maknya sudah masak, pasti dapur akan kotor dan penuh dengan bumbu-bumbu yang berjatuhan di lantai. Mungkin karena pengelihatan maknya sudah tidak sejelas dulu. Rizal beralih menuju ruang tamu, kamar mandi, dan menuju ke kamar maknya. Namun Rizal tak juga mendapati maknya di manapun. Rizal menatap ponselnya dan berencana untuk menelpon maknya. Belum sempat Rizal menelponnya, ia melihat Hp Nokia 1900 milik maknya tergeletak di atas TV hitam-putihnya. Maknya selalu aja lupa dan meninggalkan ponselnya di rumah. Perut Rizal semakin keroncongan. Sudah sejak pagi ia belum makan apapun. Bahkan maknya tidak membuatkannya kopi pagi ini dan hilang begitu saja. Rizal mencoba untuk mencari uang di bawah koran di meja makannya. Biasanya maknya menaruh uang disana untuk keperluan sehari-hari. Sejak bapaknya meninggal, Rizal dan Maknya selalu berusaha keras untuk mencari uang bersama-sama. Namun maknya tetap menyuruh Rizal untuk kuliah meskipun kenyataanya untuk makan saja sudah susah. Maknya ingin melihat Rizal menjadi sarjana dan sukses. Rizal selalu berjanji pada maknya akan membeli rumah yang besar untuk maknya jika ia sudah kerja nanti. Maknya selalu tersenyum setiap mendengar perkataan itu dari Rizal. Maknya selalu bilang jika nanti Rizal sudah menikah, ia yang akan mengurus cucunya sementara Rizal dan istrinya bekerja. Bagi maknya itu adalah hiburan tersendiri.
Rizal menuju ke warung madura langgannanya. Warung itu adalah warung termurah yang pernah Rizal temukan. Bahkan terkadang Rizal mendapat bonus tempe dan dadar jagung dari penjualnya. Rizal hanya perlu mengeluarkan uang tiga ribu untuk membeli nasi dan sayur kangkung. Setelah itu ia kembali pulang dan menghabiskan makanannya. Seusai makan Rizal segera berwudhu dan solat dhuhur. Entah mengapa pikirannya kali ini agak kacau. Ia terus memikirkan maknya yang belum nongol sejak tadi. Tak seperti biasanya maknya keluar begitu saja tanpa pamit kepada Rizal. Seusai solat Rizal langsung keluar tanpa mengganti pakaiannya. ia hanya mengenakan kaos oblong dan celana jins belel bolong-bolong. Ia berencana mencari maknya ke sawah atau ke tempat rumah-rumah tetangga.
Di tengah jalan Rizal bertemu seorang gadis muda berpakaian kaos yucansi dengan rok mini dan rambut berwarna kemerah-merahan digerai menutupi pundaknya.
“Rizal? Kau sudah sadar?” Gadis itu mendekat ke arah Rizal dengan gaya sok kenal.
“Emang kamu siapa?”
“Hahaha..Masa kamu lupa? Aku Rista. Gadis yang semalam kau ajak minum.”
“Ha? Semalem?” Rizal mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Tapi yang ia ingat semalam ia hanya tidur di rumah seperti biasa. Ia yakin kalau gadis itu berbohong padanya. Ia bahkan belum pernah memegang minuman keras apalagi meminumnya. Rizal tak memperdulikan gadis tersebut dan terus berjalan melewati gadis tersebut.
“Hey?” Gadis itu masih berusaha memanggil Rizal. Namun Rizal sama sekali tak menghiraukannya. Meskipun tak mempercayai perkataan gadis itu, namun Rizal masih mencoba mengingat apa yang terjadi semalam pada dirinya. Jika benar ia telah minum, pasti ia tak akan berani pulang karena maknya pasti akan marah besar. Namun kenyataanya ia malah dapat tidur di kasurnya dengan nyaman bahkan maknya tak membangunkannya hingga siang.
Rizal memandangi sawah di belakang rumahnya. Tetapi ia tak juga melihat maknya. Ia pun memutuskan untuk istirahat sejenak di gardu. Namun saat tangannya mencoba meraba sakunya, Rizal menemukan sebuah kartu nama seorang gadis bernama Rista. Rizal tersontak kaget. Bukankah itu gadis yang ditemuinya tadi di jalan. Jika kartu nama gadis itu berada di sakunya, maka apa yang dikatakan gadis tersebut adalah benar. Ia tidak berbohong. Rizal berusaha untuk memutar kembali pikirannya tentang apa yang terjadi padanya semalam. Mengapa kartu nama itu dapat berada di sakunya. Dimana ia berkenalan dengan gadis tersebut dan mengapa ia harus minum minuman keras. Sungguh itu semua membuatnya bingung.
***
“Rista.”
“Maaf Rista..saya harus segera pulang. Mak saya lagi nunggu saya.”
“Tunggu, Mampirlah sebentar Zal. Bukankah sebentar lagi kita akan jadi tetangga?! Masuklah sebentar kukenalkan pada teman-temanku.”
“Tapi..baiklah sebentar saja.”
Rista memperkenalkan Rizal kepada teman-temannya yang lebih mirip preman dan berandalan. Wajah mereka ada yang bertatto. Sebagian lagi ada yang memiliki rambut gondrong. Dan mereka semua menggunakan kalung dengan bandol tengkorak. Rizal merasa sangat asing diantara mereka. Namun tetap saja ia berusaha untuk tetap ramah terhadap teman-teman Rasti. Hingga tanpa terasa mereka telah akrab. Rasti memberikan minuman anggur kepada mereka yang sedang asik main poker. Rasti memaksa Rizal untuk meminumnya meskipun Rizal sudah berkali-kali menolaknya. Rizal pun menjadi semakin risih dengan desakan Rasti dan tanpa berpikir panjang Rizal melempar botol minuman tersebut hingga mengenai kepala salah satu teman Rasti. Rizal tampak ketakutan dan segera meminta maaf kepada lelaki bertubuh kekar tersebut. Tanpa menjawab permintaan maaf dari Rizal, lelaki itu segera mengambil sebuah botol minuman anggur yang masih terisi penuh. Lelaki tersebut menatap ke arah Rizal dengan sangat geram. Rizal merasa ketakutan ,ia berusaha kabur dari rumah tersebut.
“Eh..mau kemana lu?”
Salah satu lelaki berambut gondrong menjegal kaki Rizal hingga Rizal terjatuh. Kemudian dua lelaki yang lain memegang tangan Rizal dengan sangat kuat. Rizal bahkan tak mampu menggerakkan tubuhnya. Sedangkan lelaki berotot itu semakin mendekatinya dengan membawa botol minuman tersebut di tangan kanannya. Rizal berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan dirinya dari kedua orang tersebut. Ketika lelaki tersebut siap melayangkan botol minuman tersebut ke kepala Rizal, Rizal segera menggulingkan tubuhnya dengan sekuat tenaga. Sehingga ia pun berhasil lolos dari genggaman kedua orang tersebut. Rizal pun segera berlari dari rumah tersebut. Rizal baru menyadari bahwa hari sudah sangat gelap ketika ia keluar dari rumah tersebut. Keadaan sudah sangat sepi dan entah sudah pukul berapa saat itu. Rizal hanya dapat mendengar suara hembusan nafasnya yang semakin cepat dan suara langkah lelaki-lelaki preman yang masih mengejarnya tersebut.
***
Kini Rizal benar-benar ingat kejadian malam itu. Ia berhasil lolos dari preman – preman tersebut. Ia bersembunyi di kamarnya. Ya, ia berlari sangat kencang dan berhasil sampai di rumahnya. Ia bersembunyi di kamarnnya dan medekapkan tubuhnya di bawah selimutdi atas ranjangnya. Nafasnya terasa tak karuan. Maknya memanggilnya dari luar kamarnya. Namun Rizal hanya diam dan tak menjawab karena ia takut preman itu mendengarnya. Ia yakin preman-preman itu sedang menunggunya di luar. Rizal bisa mendengar langkah preman tersebut di perkarangan rumahnya. Jantung Rizal terasa berdetak kencang saat ia dengar suara pintu dapur yang menuju ke perkarangannya terdengar berbunyi. Sesaat kemudian Rizal mendengar suara botol yang pecah dan suara benturan seperti ada yang jatuh. Suara preman-preman tersebut terdengar sangat ricuh hingga kemudian keadaan menjadi sunyi kembali.
Rizal segera bangun dari gardu . Kini ia tahu dimana harus mencari maknya. Bukan di sawah, di rumah tetangga, di dapur, di ruang tamu, ataupun di kamar maknya. Rizal telah mengingat semuanya dengan jelas di pikirannya. Ia segera berlari pulang menuju rumahnya.
***
Rizal menghentikan langkahnya di perkarangan rumahnya. Matanya menyusuri setiap sudut di antara pohon-pohon di perkarangannya. Namun tepat di bawah kakinya ia menemukan sebuah botol minuman yang pecah menjadi dua bagian. Ia yakin jika botol itu adalah milik preman-preman tersebut yang semalam memasuki perkarangannya
Tubuh Rizal tiba-tiba menjadi sangat lemas tak ada kekuatan. Mungkin angin dapat menerbangkan tubuhnya yang lunglai seperti kapas saat ini. Pandangannya mengarah pada sosok berpakaian putih mirip mukenah terselungkup dari jarak satu meter tempat ia berdiri. Rizal mendekati sosok tersebut. Rizal tak dapat melihat dengan jelas wajah sosok tersebut karena matanya telah tergenang air mata yang sebentar lagi akan mengguyur di pipinya.
Ia bahkan belum sempat melepas mukenanya untuk mencariku. Ia pasti telah menunggu lama malam itu. Menungguku untuk pulang dan makan bersama dengannya. Ia bahkan keluar dan mengira suara preman itu adalah aku. Namun aku hanya bisa terdiam di kamar.
Rizal telah menemukan maknya. Namun pukulan botol dan benturan batu itu tak mampu membuat wanita rentan itu bertahan lebih lama.
Rizal membalikkan tubuh maknya dan ia menatap mukanya. Ia bahkan belum sempat membahagiakan maknya. Kini tak akan ada lagi maknya yang selalu menyiapkannya makan, memasakkannya masakan sop wortel, dan membuatkannya kopi di setiap pagi. Rizal hanya dapat menyesali apa yang telah ia lakukan. Rizal memeluk tubuh maknya telah dingin dan hanya membisu.
“Mak..Rizal sayang mak, maafkan Rizal.”
Oleh: Amaniyah, Bangil Pasuruan Jawa Timur