Sekolah Sebagai Miniatur Peradaban

0
594

(melacak ‘ideologi’ di balik kehidupan anak bernama Basar)

Buat sahabatku di kampung hijau…

Apa kabar, kawan? Saat ini aku sudah selesai melaksanakan Ujian Nasional. Tidak ada masalah di sekolah saat ujian itu. Tetapi ada satu hal yang ingin kuceritakan padamu, mengenai temanku yang bernama Basar. Dia tidak hadir saat ujian hari terakhir. Dia tidak mau datang padahal dia baik-baik saja, bahkan pergi ke kebun bersama ayahnya.

Basar adalah nama sebenarnya. Anak lelaki berusia 7 tahun ini hidup dalam keluarga sederhana bersama kedua orangtuanya yang masih tergolong muda dan tiga saudaranya.  Kehidupannya boleh dikata menyenangkan. Jadi sepertinya tidak ada masalah di balik kehidupan pribadinya.

Setiap orang memiliki masalah. Dan tidak setiap orang bisa mengutarakan masalahnya kepada orang lain. Aku tahu masalah Basar karena ia selalu menceritakannya padaku. Masalahnya ia ‘tidak dianjurkan melanjutkan sekolahnya’ oleh orangtuanya sendiri.

Ada guru kami yang sudah berusaha menjelaskan kepada orangtua Basar mengenai pentingnya sekolah, tetapi orangtua Basar tetap pada pendiriannya. Tak ada yang bisa mengubahnya.

Mudah-mudahan kamu tidak mengalami masalah ini. Selama kamu masih di sini, aku kenal orangtuamu yang agak galak dan menekanmu, memaksamu bekerja di kebun. Bahkan kamu pernah bilang, sebuah buku favoritmu dibakar oleh ayahmu. Bagiku orangtua seperti itu durhaka kepada anaknya. Hehee…

Dulu orangtuaku juga seperti itu. Aku dilarang beli buku, tetapi sering dibelikan makanan ringan. Sekarang mereka telah berubah. Perubahan bisa terjadi kapan saja.

Aku ingin mendengar kabar darimu. Balas lewat emailku.

USS

Kalau sudah bisa membaca…

Kehidupan yang dialami Basar, Ulfa, dan para remaja di kampung hijau masih ada sampai saat ini. Walaupun telah jauh berkurang namun ideologi sekolah sebagai ladang meraih jabatan masih dominan daripada untuk memperoleh lifeskill. Ilmu pengetahuan bagi kebanyakan orang adalah kemampuan menguasai tiga macam keterampilan, yakni: tulis, baca, hitung. Beberapa orangtua yang tidak pernah mengalami sekolah ke tingkat yang lebih tinggi menghentikan anaknya pada jenjang terendah (Sekolah Dasar), sebagian lagi masih memberi kesempatan merasakan kehidupan sekolah hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Masih banyak orangtua yang memiliki pemahaman bahwa sekolah merupakan tempat menguasai ketiga keterampilan dasar: baca, tulis, hitung. Tiga keterampilan akademis yang harus dimiliki minimal lulusan Sekolah Dasar (SD). Setelah lulus pada level sekolah tersebut banyak yang berhenti sekolah karena telah memiliki ketiga keterampilan dasar tersebut untuk hidup dalam masyarakat. Budaya membaca atau kemampuan membaca menempati level terendah dalam sistem persekolahan.

Hal ini juga dialami oleh Basar dalam lanskap yang sangat menekan. Anak cerdas ini akhirnya bergaul dengan anak-anak putus sekolah yang nakal (pencuri, suka memukul, pembohong). Otomatis kedekatannya dengan sahabat-sahabat itu membuatnya berubah perlahan-lahan menjadi lebih buruk. Teknik komunikasi yang ditemuinya di sekolah yang beradab berangsur hilang.

Kisah ini juga nyata terjadi pada pribadi lelaki bernama Faisal yang kini sudah berkeluarga. Saat masih duduk di Sekolah Dasar (SD), Faisal yang saat ini bertetangga dengan Basar, tergolong anak yang alim (suka berdakwah bersama Ustadz Zubair pada bulan Ramadhan). Pergaulannya dengan orang-orang putus sekolah yang menyukai minuman keras mengubah pribadinya. Ia berubah menjadi peminum dan terlibat dalam pergaulan bebas. Sebuah perubahan yang tidak mendapat restu dari orangtuanya. Faisal cilik yang semula memiliki keahlian berpidato di depan publik, lalu tumbuh menjadi pemuda yang kehilangan keahlian itu. Hidayah yang semula begitu terang, berubah menjadi laknat kegelapan jiwa akibat pergaulan yang tidak terkontrol.

Saat ini Basar, meskipun tinggal bersama orangtua dan saudara-saudaranya yang menjauhi keburukan (minuman keras dan pergaulan bebas), namun lingkungannya seolah-olah membuka gerbang menyatakan selamat datang di tanah kebebasan. Basar niscaya dapat takluk kepada ideologi tak beradab yang kini sedang mengelilinginya, apalagi ia telah tersingkir dari kehidupan sekolah.

Anak-anak yang menulis …

Basar pintar membaca, sangat lancar. Dia juga pintar menulis. Anak bertubuh mungil dan kokoh tersebut memiliki keahlian menulis lebih baik dibanding anak seusianya.

Menulis merupakan keterampilan yang lebih tinggi daripada membaca. Keterampilan membaca pun bagi orang yang suka membaca merupakan sebuah seni. Sebuah bacaan yang dibaca berulang-ulang dapat melahirkan bermacam-macam inspirasi. Orang yang suka menuliskan pikirannya (tidak didiktekan seperti anak kecil) telah memiliki kebiasaan yang lebih baik daripada orang yang hanya suka membaca. Penulis pasti suka membaca, sedangkan orang yang suka membaca belum tentu seorang penulis. Ahli menulis bukan sebuah keterampilan instant. Banyak orang bisa berkata, “saya juga bisa”, namun jarang sekali yang sanggup membuktikan kata-kata mereka. Keterampilan menulis harus dibangun dengan kebiasaan. Menulis seperti Basar dan anak-anak SD lainnya bisa kita lakukan, namun menulis sebagai sebuah keahlian dan seni (membuat tulisan menarik dibaca) tidak semua orang bisa melakukannya.

Sebuah hasil tulisan dari tangan yang terlatih menulis itu seperti hamparan kata yang sarat makna. Setiap kali dibaca memunculkan pengetahuan yang berbeda. Sebuah tulisan berkualitas selalu menimbulkan efek mendalam bagi pembacanya, karena merupakan bahasa tulisan. Sedangkan sebuah tulisan yang lahir dari pengkhutbah (pembicara) yang tidak terlatih menulis akan menjelma juga menjadi bahasa bicara (bukan bahasa tulisan).

Para remaja sekolah sejak SMP seharusnya telah memiliki keterampilan ini, bukan hanya sekedar tahu membaca atau sekedar tahu menulis yang didiktekan. Kemampuan membaca dan menjiplak naskah bacaan untuk ditulis merupakan kemampuan terendah yang dimiliki anak-anak SD.

Oleh sebab itu, lulusan sekolah lanjutan yang belum sanggup mengungkapkan imajinasinya lewat bahasa tulisan belum dianggap memiliki keterampilan sebagai  kaum terpelajar. Kemampuan dasar membaca dan menulis yang dibangun sejak pra-sekolah tidak pernah mengalami peningkatan karena para remaja sekolah lanjutan tidak dilatih menulis imajinasinya.

Beberapa remaja memiliki bakat menulis yang tumbuh karena lingkungan memiliki peran besar menumbuhkan bakat itu. Remaja yang lain menumbuhkan bakat itu setelah bergabung dengan organisasi kepenulisan. Sebagian besar penulis memiliki keahlian menulis karena kebiasaan itu terus dilakukan sebagai sebuah kebutuhan.

Beberapa tahun yang lalu seorang remaja bernama Fitri (SMAN 1 Benteng Selayar) menunjukkan bakat menulis novel. Kisah-kisahnya dalam Dego-dego Newsletter memukau pembaca. Tahun ini muncul seorang remaja lain yang bernama Naufal (SMP Babussalam Selayar) dengan bakat yang sama. Fitri seorang remaja penikmat novel. Seorang pembaca tekun yang menyukai berbagai literatur sastra, meski dia memilih kelas IPA. Naufal pun pasti seorang penikmat buku sastra yang membaca dengan imajinasi tanpa henti. Sebagaimana Fitri yang hidup dalam lingkungan keluarga yang menyukai dunia literasi, Naufal pun pasti seperti itu. Fitri dan Naufal adalah remaja-remaja yang telah sampai pada level tertinggi sistem persekolahan. Keduanya membaca dengan cara menyatu dengan bacaan, dan keduanya menulis dengan imajinasi tanpa batas.

Sekolah bukan tempat membaca dan menulis …

Ideologi ‘sekolah sebagai tempat membaca dan menulis’ bertahan kokoh dalam pikiran banyak orang. Pemahaman semacam ini ternyata hanya melahirkan output sekolah yang tidak memiliki keterampilan yang diharapkan untuk membentuk masyarakat yang lebih berbudaya. Makna ‘membaca dan menulis’ dibatasi pada level terendah, yakni kemampuan mengetahui semata. Para remaja sekolah diarahkan mendalami tiga keterampilan dasar saja untuk menghadapi masa depan mereka. Keahlian mereka dinilai matang apabila mereka sanggup melewati ujian nasional dalam ketiga ranah tersebut. Output sekolah tidak lain hanyalah kumpulan penjiplak pengetahuan dari orang lain. Ideologi materialisme sebagaimana yang diyakini para orangtua di kampung Basar sama kuat pengaruhnya dengan materialisasi persekolahan masa kini.

Sekolah adalah miniatur peradaban. Di sekolah ditemukan berbagai bentuk kehidupan seperti dalam masyarakat luas. Di sekolah ada organisasai kesehatan, sosial, keamanan, seni dan lain-lain. Di sekolah ditemukan banyak warga yang bermacam-macam (etnis, bahasa, kebudayaan) dari berbagai daerah. Sekolah adalah tempat bermain, beradaptasi, membangun kepribadian, komunikasi, tempat belajar kontrol (emosi dan sosial), berolahraga, dan pada puncaknya sekolah sejatinya adalah area terbaik untuk mengembangkan peradaban manusia.

Sebuah peradaban lahir bukan dari kepala para politikus yang memuja kekuasaan atau dari kaki-kaki tentara yang melabrak perbatasan. Peradaban lahir dari tangan-tangan terampil para sastrawan yang belajar membangun budaya literasi (baca-tulis-kaji-diskusi) sejak dini di sekolah rakyat dengan nuraninya.

Author: Nurbing

 

Tinggalkan Balasan