Pada malam yang sunyi ini disertai nyanyian jangkrik di belakang kamarku dan suara kodok yang saling bersahutan, aku telah menulis surat cinta untukmu sebanyak dua buah. Isinya sama, tentang cinta yang sia-sia. Namun, surat-surat ini tak akan kuberikan padamu. Cukup kutulis saja tentang perasaanku itu. Aku tak ingin kau mengetahuinya terlebih untuk membacanya. Selain juga karena adanya larangan dari pesantren untuk berhubungan dengan lain jenis. Selanjutnya, surat-surat ini akan kubuang. Aku hanya berharap suatu saat ada orang yang menemukan kemudian ia membaca dan membuangnya kembali, sampai berkali-kali, sampai surat-suratku tak terbaca dan menyatu dengan bumi. Kalau ini terjadi, bagiku sudah cukup aku bermimpi, aku pernah menjadi kekasihmu.
Surat Pertama
Pagi-pagi sekali aku beranjak dan bersemangat untuk menaruh surat yang telah aku buat agar tidak ketahuan seorangpun, terlebih Pak Satpam yang istiqomah menjaga tempat dimana tempat tersebut akan menjadi sasaran suratku. Surat yang pertama selanjutnya kutaruh di suatu tempat tersebut yang di istilahkan oleh ikhwan santri sebagai Gerbang Putri, tempat di mana pertama kali dengan tak disengaja aku menatap wajahmu yang begitu bersinar. Tempat yang menjadi saksi pertemuan kita. Aku ingat, saat itu air hujan gerimis jatuh menimpa jilbab indahmu itu.
Saat kutaruh surat Ini aku membayangkan orang yang menemukan suratku adalah anak-anak yang tengah ikut orang tuanya mengirim putri-putrinya. Saat anak itu menemukan surat ini, ia pasti akan bergembira, mengharap apa yang terisi di dalam amplop warna pink itu adalah uang. Anak itu akan berteriak, “Aku menemukan uang…!”.
Ibunya yang melihat amplop berwarna pink itu akan merebutnya sambil berbohong, “Kau masih tidak boleh membuka amplop itu. Amplop ini isinya surat, bukan uang…!”.
Dengan cemberut anak itu menyerahkan apa yang baru ditemukannya.
“Isinya surat apa, Bu?”, anak itu bertanya setelah ibunya selesai membuka dan membaca suratku ini.
“Cinta”
“Apa itu cinta, Bu?”
“Kau belum boleh tahu, Nak.”
“Kalau begitu apakah boleh aku minta kertas-kertas yang isinya cinta itu, Bu!”
“Untuk apa?”
“Membuat pesawat kertas untuk mainan.”
“Bagus itu, biar Ibu yang membuatkan.”
Jadilah tulisan-tulisan cintaku menghias sayap, tubuh, dan kepala pesawat kertas mainan itu. Pesawat kertas itu dilempar ke sana-ke sini, terbang kian-kemari, sampai akhirnya terdampar di ranting pohon jambu di depan gerbang putri.
“Sudah mari kita pulang, Nak. Memang pantas nasib pesawat kertas itu di sana. Biar hancur oleh hujan…!”
Aku terhenyak mengembangkan lamunanku. Betapa sia-sia aku menulis surat cinta untukmu, Salsabila. Ternyata perasaan cintaku tak bisa menaklukan orang lain.
~~o0o~~
Surat Kedua
Setelah surat yang kedua ini kumasukkan dalam amplop putih dan kutulis buat Salsabila, sama seperti surat pertama. Tapi, pada suratku yang kedua aku sengaja memasang fotoku, sedangkan yang pertama tidak. Aku titipkan surat itu pada anak-anak tetangga yang sekolah tiap pagi ke komplek putri untuk diletakan di bawah beranda WISMA santri putri yang ramai dikunjungi santri putri bersama adik mereka saat dikirim.
Sepuluh menit kemudian, setelah aku menitipkan surat itu dengan imbalan permen, aku menduga surat itu telah berhasil diletakkan di bawah beranda WISMA. Aku membayangkan adik kecil yang imut yang pernah aku kasik permen saat dia ke koperasi untuk membelikan kitab buat mbaknya, yang akan menemukan surat ini.
“Ada surat, Mbak!”, anak kecil itu berteriak pada Mbaknya.
“Sini, biar aku yang membuka, kamu masih kecil tidak boleh membaca surat.”
“Memangnya itu surat apa, Mbak?”
“Ini pasti surat cinta.”
“Surat cinta itu apa, Mbak?”. Santriwati berusia belasan tahun itu tak membalas pertanyaan adiknya. Ia membaca dengan cermat surat itu.
“Isinya apa, Mbak?”
“Kau belum boleh mengerti.”
“Tapi, itu foto siapa, Mbak?”. Anak kecil itu terus mem-borbardir pertanyaan kepada Mbaknya.
“Mbak tidak tahu, apa adik mengenal orang ini?”
Anak kecil itu mengerutkan keningnya.
“Apakah kau mengenalnya?”
“Iya, aku mengenalnya. Orang itu pernah memberikan permen ke aku waktu membeli kitabnya Mbak di koperasi putra. Tapi, aku tidak tahu dia itu siapa…!”
“Itu namanya kamu tidak mengenal, Bloon”.
Anak kecil itu nyengir dihina Mbaknya.
“Tapi, Mbak. Boleh aku menjadikan surat ini sebagai perahu kertas…!”, pinta anak itu.
Diberikannya surat itu pada adiknya. Kemudian anak kecil itu secepat kilat melipat-lipat kertas itu menjadi perahu. Dilabuhkannya perahu kertas itu beserta fotoku pada kolam di samping WISMA santri putri.
“Hore…, perahunya berjalan,” anak kecil itu berteriak girang sambil menepuk-nepukkan tangannya ke kolam agar perahu tersebut tetap berjalan. Tapi, tidak berapa lama kemudian perahu kertas itu hanyut dan akhirnya tenggelam.
“Mbak, perahunya hanyut tenggelam. Kenapa, ya?”
Pertanyaan anak kecil itu seakan-akan nyata dan mengagetkan lamunanku. Ah, Salsabila, betapa nasib cintaku ditakdirkan hancur. Terus apa yang masih kutunggu darimu, Salsabila. Aku tahu kalau kita sudah tidak bisa bersatu, karena ku tahu bahwa kau sudah menjadi milik orang lain. Tapi, kenapa aku masih berharap akan datangnya sebuah keajaiban. Terkadang masih ada hasratku untuk menolak kenyataan itu. Saat itu anganku akan menghadirkanmu yang tiba-tiba datang dan mengatakan padaku, “Apa yang terjadi pada kita bukanlah takdir…!”