Taqiyuddin an-Nabhani: Hukum Islam juga Wajib Diterapkan pada Non Muslim

0
1148

Islam memiliki peraturan yang super komplit. Islam membahas dan memberikan solusi bagi manusia dalam hal ibadah, muamalah, munakahat, jinayat dan lain sebagainya. Menerapkan hukum Islam di zaman sekarang ini tidak akan membuat manusia menjadi terbelakang atau kolot, lantaran hukum Islam memiliki sifat fleksibel dan berkembang mengikuti perkembangan zaman. Hukum Islam bersumber dari Al-Qur’an, Hadist, Ijma’ dan Qiyas.[1] Namun, pondasi dari ijma’ dan Qiyas harus sejalan dengan Al-Qur’an dan hadist. Kalau ijma’ dan Qiyas bertentangan dengan prinsip-prinsip umum dari nash, maka hukum yang diperoleh dari Ijma’ dan Qiyas tidak boleh diamalkan. Dengan demikian sumber hukum Islam yang hakiki adalah dari Al-Qur’an dan Hadist.

Dilihat dari aspek historis, kedatangan Islam memberikan ketentraman bagi manusia, baik dia percaya kepada agama Islam atau tidak. Hukum-hukum yang ditawarkan Islam dapat diterima oleh nonmuslim, sehingga penerapan hukum Islam bagi nonmuslim tidak masalah bahkan membawa kebebasan dalam melakukan transaksi dan bermasyarakat dengan siapapun.

Menurut Taqiyuddin an-Nabhani, hukum Islam wajib diterapkan kepada semua umat Islam dan nonmuslim, baik dia berstatus kafir dzimmi, mu’ahad ataupun musta’min.[2] penerapannya harus setara, tidak boleh memandang status dan jabatan lantaran hukum-hukum Islam adalah hukum yang digariskan oleh Allah kepada semua umat manusia tanpa terkecuali. Sesuai dengan firmannya.

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا.

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”. (Q.S An-Nisa’ [4] : 105).

Menurut Taqiyuddin, ayat di atas bersifat umum, mencakup kaum muslimin dan nonmuslim. Karena lafazd an-Nash bersifat umum.[3] Ketika Lafadznya umum maka penerapan kepada maksudnya juga umum. Oleh sebab itu, cakupan lafazd an-Nash meliputi muslim dan nonmuslim.

Menerapkan hukum Islam kepada nonmuslim yang meminta putusan hukum kepada umat Islam dalam kasus sengketa dengan sesama nonmuslim, maka dalam kasus tersebut kaum muslim diberikan pilihan antara memberikan putusan di antara mereka atau tidak.[4] Diberikan pilihan di sana apabila nonmuslim itu tidak mau tunduk dengan hukum Islam berstatus sebagai kafir dzimmi atau musta’man. Taqiyuddin mendasarkan perkataannya itu kepada firman Allah.

سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ

Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka”.

Taqiyuddin juga menjelaskan penerapan hukum Islam kepada nonmuslim yang ada dalam negara Islam tidak secara keseluruhan. Namun ada hukum-hukum yang tidak boleh dipaksakan kepada mereka lantaran hukum tersebut bertentangan dengan keyakinan mereka.[5] Misalnya nonmuslim kafir dzimmi, muahad dan musta’min menyebah berhala atau mereka meminum khomer.

Mereka tidak dikenakan sangsi atas melakukan kekufuran dan meminum khomer lantaran mereka dalam hal akidah diperbolehkan melakukan ibadahnya sesuai kepercayaan mereka dan berkaitan dengan meminum khomer, mereka tidak dihukum lantaran dalam mereka meyakini terhadap keharaman khomer.[6]

Penjelasan di atas selaras dengan undang-undang negara Islam pasal 7 yang berbunyi.

“Negara memberlakukan syariah Islam atas seluruh rakyat yang berkewarganegaraan Islam, baik muslim ataupun nonmuslim dalam bentuk-bentuk berikut ini.

  1. Negara memberlakukan seluruh hukum Islam atas kaum muslimin tanpa terkecuali.
  2. Orang-orang nonmuslim dibiarkan memeluk akidah dan menjalankan ibadahnya dibawah perlindungan peraturan umum.
  3. Orang yang murtad dari Islam dijatuhkan hukum murtad jika mereka sendiri yang melakuakn kemurtadan. Jika kedudukannya sebagai anak-anak orang murtad atau dilahirkan sebagai nonmuslim, maka mereka diberlakukan sebagai nonmuslim. sesuai kondisi mereka selaku orang musyrik dan ahli kitab.
  4. Terhadap orang-orang nonmuslim dalam hal makanan, minuman dan pakaian diberlakukan sesuai dengan agama mereka, sebatas apa yang diperbolehkan hukum syara’.
  5. Perkara nikah dan talaq antara nonmuslim diselesaikan sesuai agama mereka, dan jika perkara itu terjadi antara muslim dengan nonmuslim maka diselesaikn menurut hukum Islam.
  6. Negara memberlakukan hukum-hukum syara selain perkara-perkara di atas bagi seluruh rakyat (muslim ataupun nonmuslim, baik menyangkut hukum muamalat, sangsi, pembuktian, sistem pemerintahan, ekonomi dan sebagainya.

Negara juga memberlakukan terhadap mu’ahid dan musta’min dan siapa saja yang berada dikekuasaan Islam, kecuali bagi duta besar, konsultan, utusan negara asing dan sejenisnya, karena mereka memiliki kekebalan hukum.[7]

Islam juga mengatur tentang pergaulan dengan nonmuslim dalam bermasyarakat atau bernegara. Ayat yang dijadikan rujukan oleh taqiyudin dalam hal pergaulan muslim dengan nonmuslim dalam bermasyarakat adalah firman Allah.

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِير.

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)”.

Pemahaman Taqiyuddin terhadap ayat tersebut adalah, bahwa umat Islam tidak boleh menjadikan orang kafir sebagai penolong mereka. Lantaran larangan itu disertai dengan qarinah yang menujukkan adanya penegasan yang kuat bahwa siapa saja yang melakukan tindakan di atas –yakni menjadikan orang-orang kafir sebagai wali penolong- maka Allah akan melepas diri dari mereka. ketidak bolehan ini lantaran muslim menjadikan orang kafir sebagai penolong dengan cara mengabaikan muslim yang berada disekitar mereka.[8]

Akan tetapi, menurut Taqiyuddin ada satu kondisi yang menyebabkab muslim boleh bersikap loyal kepada nonmuslim yaitu menghindar dari ganguan merka. Maka dalam kondisi tersebut, diperbolehkan bersikap loyal kepada nonmuslim demi untuk menghindari tindakkan-tindakan yang menyakitkan. Namun ketika, rasa takut hilang, maka keharaman untuk loyalitas kepada nonmuslim akan kembali lagi.[9]

Titik tekan dari permasalahan ini adalah, kebolehan loyalitas kepada nonmuslim yang bukan kafir dzimmi dan harby, hanya terbatas ketika muslim berada dalam kekuasaan orang kafir dan posisi mereka sangat lemah. Apabila mereka memiliki kekuatan, maka mereka diharuskan untuk melawan. Kebolehan untuk bersifat loyal kepada nonmuslim menjadi hilang ketika umat Islam tidak berada di bawah kekuasaan mereka.



[1]Wahbah Zuahily, “Ushul al-Fiqh al-Islamy”, (Bairut, Darul al-Fikr, 2005) Juz I, hal 401.

[2]Taqiyuddin an-Nabhani, “Asy-Syaksiyah al-Islamiyah”, Op Cit, Hal 232.

[3]Taqiyuddin an-Nabhani, “Asy-Syaksiyah al-Islamiyah”, Op Cit, Hal 232

[4] Taqiyuddin an-Nabhani, “Asy-Syaksiyah al-Islamiyah”, Op Cit, Hal 232

[5]Taqiyuddin an-Nabhani, “Asy-Syaksiyah al-Islamiyah”, Ibid, Hal 233.

[6] Taqiyuddin an-Nabhani, “Asy-Syaksiyah al-Islamiyah”, Op Cit, Hal 393.

[7] Taqiyuddin an-Nabhani, “Ad-Daulah al-Islamiyah”, Hal 118.

[8]Taqiyuddin an-Nabhani, “Asy-Syaksiyah al-Islamiyah”, Op Cit, Hal 254

[9] Taqiyuddin an-Nabhani, “Asy-Syaksiyah al-Islamiyah”, Op Cit, Hal 254

Tinggalkan Balasan