Sungguh tiada kalimat yang begitu merdu untuk didengar, yang terlampau indah untuk dirasakan, dan selalu menjadi dambaan setiap insan setelah akidah dan keimanan yang kokoh, kecuali zimfoni dan senandung bahasa kebebasan. Ia adalah kebalikan bahasa keterjajahan, keterbelengguan, ketertindasan, dan kata-kata lain yang semakna dengannya.
Salah seorang penduduk Qibti Mesir pernah mengadu kepada Umar bin Khattab karena anaknya telah ditampar putra Amr bin ‘Ash –penguasa Mesir saat itu- hanya karena kalah dalam perlombaan olahraga. Sang anak pun direndahkan oleh seorang Qibti tersebut sembari berkata, “Apa yang kamu inginkan dari memenangkan perlombaan melawan putra orang-orang terhormat…?!” Kemudian, Umar memerintahkan agar menghadirkan penguasa Mesir beserta putranya ke Makkah pada musim haji. Di depan orang banyak, Umar memberikan sebuah tongkat kepada seorang Qibti tadi untuk meng-qishash sang putra penguasa Mesir tersebut. Kemudian Umar beralih menuju Amr bin ‘Ash dan berkata, “Sejak kapan kalian berani memperbudak manusia, padahal ibu-ibu mereka telah melahirkannya dalam keadaan merdeka..?!”[1]
Ilustrasi di atas merupakan satu gambaran bahwa kebebasan merupakan sesuatu yang fitrah dalam diri manusia. Kebebasan adalah simbol dari kehidupan manusia yang paripurna. Ibarat sebuah pohon, ia adalah pohon besar yang rimbun, kokoh, dan anggun, meneduhkan sekaligus mengagumkan. Daun-daunnya rindang menghijau, bunga-bunganya merona semerbak harum mewangi dan dahan-dahannya lembut basah bergairah. Setiap yang datang, rindu untuk mendekat, setiap yang dekat tertarik untuk memetik buahnya yang lebat, yang akhirnya tidak tahan untuk mencecap rasa manisnya yang lezat, dan kesegarannya akan menjalar dan terasa di seluruh jiwa, di setiap diri pribadi, dan akhirnya di seluruh denyut nadi kehidupan.