Diana belum juga mengangkat kepalanya. Dia hanya tertunduk, bertumpu pada kedua siku kaki yang dilipatnya. Ia berusaha menahan napas, rasanya tak ada alasan jika detik ini juga napasnya terhenti. Membungkam ribuan huruf yang selalu ditelannya kembali begitu sampai di tenggorokan. Keringat dingin menjalar di setiap anggota tubuhnya. Tak dapat dia percaya, Ayah yang selama ini selalu memberi semangat padanya, kini berbalik memutuskan mimpi yang selalu dijaga selama bertahun-tahun.
“Kau bisa buka toko di pasar, Ayah pastikan kau tidak akan hidup sengsara. Bukan Ayah tidak mengusahakan, tapi nasib tidak memihak pada kita. Usaha yang Ayah lakukan selalu gagal dan berbuntut hutang. Kau tahu sendiri jika Ayah punya uang, Ayah tidak akan membiarkan semua ini terjadi. Kemarin-kemarin Ayah tidak pernah mempermasalahkan, tapi karena Ibumu yang terus-terusan mendesak Ayah. Rasanya cukup sampai disini sekolahmu.” Perkataan Ayahnya membuat Diana semakin membeku. Sore semakin hening menyambut gelanya malam, tak ada seorangpun yang berani angkat bicara. Begitupun dengan Ibu, tak ada gunanya membantah ucapan suaminya dalam keadaan emosi.
“Ibu tidak bisa terus-terusan diam dan bersabar. Ibu hanya minta Ayahmu untuk berubah, tak menyangka tanggapannya akan seperti ini. Seharusnya Ayahmu sadar, sulit bagi kita memperoleh kehidupan yang lebih baik jika hanya berdiam diri. Tapi rupanya Ayahmu menanggapinya lain.” Ucap Ibu setelah Ayahnya pergi. “Tapi jika sudah seperti ini, mau tidak mau Ibu harus diam dan lebih bersabar lagi.” “Kenapa harus seperti ini?” Suara hati Diana semaikn meraung. Ia tak bisa menyalahkan Ibunya, tak bisa juga menyalahkan Ayahnya. Air mata yang sejak tadi dibendungnya, tumpahlah sudah. Untunglah Ayahnya sudah pergi, jika tidak ia tak bisa membiarkan air matanya keluar di hadapan Ayahnya. Semakin dia menahan air mata dan kekecewaan, semakin dalam sakit yang ia rasakan.
“Anggaplah ini adalah satu dari sekian perjuangan yang telah kamu lakukan. Kalau kamu ingin menyerah, masalah kita sebelum-sebelumnya lebih berat dari ini.” “Ibu dengar sendiri, bukan?” tangis sesenggukan tak bisa Diana sembunyikan lagi. “Ya, kamu tentu juga ingat, sudah berapa kali Ayah mengatakan itu.” Memang bukan sekali ini saja Ayahnya mengucapkan menyerah untuk pendidikan Diana. Namun kali ini berbeda, mungkin ini adalah puncak kemarahan Ayahnya akibat Ibu sering kali mengusik pekerjaan Ayahnya yang hanya luntang-lantung. Berkumpul bersama teman-temannya dan pulang tanpa membawa hasil. “Semua akan baik-baik saja. Percaya pada Ibu. Kalaupun akhirnya Ayahmu tidak berubah pikiran, masih ada Ibu, Ibu akan berusaha setidaknya sampai lulus SMA. Untuk selanjutnya kita pikirkan lagi nanti, semoga Ayahmu bisa berubah pikiran. Karena kalau Ibu seorang diri tidak akan bisa membiayai sekolahmu. Apa yang Ibu lakukan hanya bisa untuk makan dan sering kali kekurangan, itupun dibantu dengan jerih payahmu juga.”
Diana pergi ke kamar mandi, ia menumpahkan air mata, rasa sakit dan kekecewaannya. Ia terus mencuci mukanya dengan air bak dan menepuk-nepuk permukaan air dengan keras. Dirasanya cukup, ia kembali mengambil napas dan masuk ke kamarnya. Dia membaringkan tubuhnya dan menutupnya dengan selimut hingga menutupi kepala.
Begitu berat hidup yang Diana jalani. Terus menerus merasakan tekanan dari kecil. Tekanan dari permasalahan keluarganya dan tuntutan kedua orang tuanya. Namun itulah yang membuatnya tegar hingga sekarang. Segala kesakitan yang menimpanya menjadi pupuk untuk memotivasi dirinya agar bisa bertahan hingga sekarang. Sejauh apapun, sebesar apapun, lambat laun akan selesai juga. Karena dia yakin, Allah akan memberikan jalan baginya untuk menyelesaikan semua masalah itu.
Saatnya shalat Maghrib, ia mengambil wudhu kemudian memulai shalatnya. Dalam sujudnya ia mengadu, tak terasa air mata menetes di pipinya. Ia minta pada Allah supaya meluluhkan hati Ayahnya dan mencabut kembali perkataannya. Seusai shalat, ia kembali sujud dengan berurai air mata dan tak beranjak dari posisinya sampai ia merasa telah baikan dan bisa menguasai dirinya.
Keesokan paginya, ia tetap memakai seragam sekolah. Saat keluar dari kamar, ia berpapasan dengan Ayahnya. Ayahnya tak mengucapkan sepatah katapun. “Belajarlah dengan baik, tidak usah kau hiraukan masalah kemarin.” Nasihat Ibunya. Diana berangkat sekolah dengan uang yang hanya cukup untuk ongkos angkot. Ia berjalan sejauh dua kilometer untuk sampai di tempat pemberhentian angkot. Namun ia tak mempermasalahkannya, yang penting dia bisa pergi ke sekolah. Sepanjang jalan dia membayangkan kejadian kemarin dan memikirkan bagaimana seandainya ucapan Ayahnya benar-benar terjadi.
Di sekolah ia bisa tersenyum dan sejenak bisa melupakan masalahnya. “Di, ikut yuk!” “Kemana?” “Ayo!” Rara menarik tangannya ke lapang. Ternyata disana sedang ada pertandingan sepak bola. “Divon,” Diana tersenyum melihat Divon memandang ke arahnya. Namun bukan saatnya dia memikirkan laki-laki di tengah masalah yang dihadapinya. Lagi pula Ayahnya akan sangat marah jika Diana memiliki pacar karena itu adalah syarat Diana meneruskan sekolah. Meskipun sekarang dia berada diambang putus sekolah, tapi dia yakin semuanya akan kembali baik-baik saja setelah emosi Ayahnya mereda. Ia pun pergi meninggalkan lapangan dan berjalan pulang.
Di rumah, raut wajah Ayahnya kembali seperti semula. Diana yakin suasana sudah mulai membaik, sebab Ayah dan Ibunya tidak saling berdiam diri seperti saat ia akan berangkat sekolah tadi pagi. Sementara Ayah pergi ke kebun di ujung jalan, Diana segera mengorek informasi dari Ibunya, “Bu?” Ibunya mengalihkan pandangan pada Diana. Seakan mengerti apa yang ingin ditanyakan anaknya, “Ibu juga tidak mengerti, tapi semalaman Ayahmu tak tidur, mungkin dia memikirkannya semalaman. Bagaimana mungkin kau harus putus sekolah mengingat beberapa bulan lagi akan ujian.” “Syukurlah,” Diana membuang napas tenang.
***
Ujian telah usai, pengumuman masuk perguruan tinggi juga sudah ditangan. Diana diterima di Universitas ternama di Jakarta. Jika bukan karena mendapat beasiswa, mungkin dia tak akan mengambil kesempatan belajar di bangku perkuliahan. Sebab hidup di Jakarta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun Allah menghendakinya berada disana. Bukan hanya itu, kehidupan ekonomi keluarganya juga berangsur-angsur membaik. Setiap sore, Ayahnya membeli sayur-sayuran ke pasar. Dan besoknya, Ibu berkeliling kampung untuk menjualnya.
Sebelum berangkat ke Jakarta, Diana masih mempunyai waktu dua bulan berada di kampungnya. Ia tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk membantu Ibunya berjualan. Ternyata kabar Diana masuk perguruan tinggi ternama telah menyebar di kampungnya. Dengan bangga Ibunya mengiyakan semua pertanyaan orang-orang yang bertanya padanya.
“Rasanya baru kemarin Ibu kewalahan mencari uang untuk ongkos sekolahmu.” “Iya, Bu.” Masih membekas dalam ingatan Diana ketika ia SMA. Setiap tengah hari saat pulang sekolah, ia menunggu gelebeg (angkot tua yang berukuran lebih panjang) hingga hampir satu jam lebih, bahkan bisa sampai dua jam untuk pulang sekolah. Alasannya karena dia bisa membayar ongkos lebih murah setengahnya dibanding dengan naik angkot yang banyak berkeliaran. Jika bukan karena uangnya yang tidak cukup untuk membayar angkot, ia melakukannya supaya bisa jajan.
Oleh: Sunsun Suryati, Depok Jawa Barat
Img: red4white