Salah satu aktifitas yang mengasyikkan bagi sekumpulan orang adalah membicarakan orang lain. Tidak jarang kita menemukan orang-orang yang berkumpul di suatu tempat, mereka tidak membicarakan orang lain. Pasti dari sekian pembicaran yang disampaikan ada sedikit-banyak pembahasan tentang orang lain. Mungkin kita sendiri juga termasuk orang yang melakukan itu.
Membicarakan orang lain biasanya karena beberapa alasan. Pertama, orang yang membicarakan itu tidak memiliki aktifitas atau menganggur. Sehingga, tidak ada aktifitas lain kecuali membcarakan orang lain. Kedua, masalah yang dibicarakan membuat mereka tertawa. Artinya, membicarakan orang lain sebagai bahan tawa bersama. Ketiga, karena orang yang dibicarakan adalah orang yang dibenci. Mungkin alasan yang ketiga ini yang membuat sebagian orang semangat dan hobi membicarakan orang lain. Tujuannya, agar orang yang dibenci di mata orang-orang jelek. Dia akan lebih senang melihat orang yang dibenci juga dibenci orang lain. Keempat, karena ada tujuan tertentu.
Mungkin, jika apa yang dibicarakan merupakan sesuatu yang baik, itu tidak masalah. Justru membicarakan kebaikan orang lain dianjurkan, agar yang mendengarkan mengikuti kebaikan itu. Masalahnya, yang sering dijadikan pembicaraan sekumpulan orang adalah sesuatu yang jelek. Ada sebagian orang yang beralasan ketika membicarakan orang lain, karena apa yang dibicarakan itu ada fakta yang membenarkan pembicaraannya. Alasan seperti ini sangat tidak benar.
Sevalid apapun fakta itu, tidak bisa dijadikan pembenaran untuk membicarakan kejelekan orang lain. Sebab, larangan membicarakan kejelekan orang lain bukan atas alasan faktual atau tidak, tetapi atas alasan menjaga kehormatan orang lain. Setiap orang harus dijaga kehormatannya. Tak seorang pun boleh membuka-buka dan membeberkan kejelekan orang lain.
Membuka dan membeberkan kejelekan orang lain, selain merusak kehormatan orang lain, juga –secara tidak langsung- mencegah orang lain untuk memperbaiki dirinya. Semisal, ada seorang perempuan atau laki-laki melakukan zina yang diketahui oleh kita. Lalu kita menceritakan hal itu kepada orang lain sehingga banyak orang mengetahuinya dan juga membicarakannya.
Jika perempuan atau laki-laki yang berzina itu ingin bertaubat, dia akan kesulitan mencari jalan untuk berupaya memperbaiki kesalahannya. Semisal ingin mengikuti pengajian dalam rangka mencari ilmu guna mengisi hatinya agar tidak mengulangi perbuatan maksiat. Maka laki-laki atau perempuan itu akan enggan dan malu mengikuti pengajian. Karena orang-orang sudah mengetahui kejelekannya. Biasanya orang yang diketahui kejelekannya, ketika dia ingin berkumpul dengan orang-orang, dia akan enggan. Apalagi kejelekannya berupa zina.
Sebaliknya, jika kita tidak membeberkan kejelekannya maka dia yang melakukan zina tidak akan kesulitan untuk memperbaiki dirinya atau bertaubat. Jika kita masih memiliki hobi membeberkan kejelekan orang lain, maka posisikanlah diri kita sebgai orang yang melakukan kejelekan itu. Bagaimana jika kita melakukan kejelekan itu dan ada orang lain mengetahui lalu menceritakan kepada orang-orang?
Agar lebih mantap untuk tidak membeberkan kejelekan orang lain, marilah kita simak salah satu peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab. Pernah datang seorang laki-laki kepada Khalifah Umar. Dia menceritakan seorang gadis yang pernah berbuat dosa, kemudian bertaubat. Ketika ia dilamar, pamannya ragu-ragu apakah ia harus menceritakan masa lalunya yang buruk. Khalifah Umar berkata, “Apakah kamu ingin membongkar apa yang telah Allah sembunyikan? Demi Allah, jika kamu memberitahukan keadaan dia kepada orang banyak, aku akan menghukum kamu sebagai pelajaran kepada semua penduduk kota. Nikahkanlah dia sebagai perempuan yang suci.”
Subhanallah… Perempuan ini jelas telah melakukan perbuatan dosa. Tetapi Islam merangkulnya sebagai perempuan suci ketika ia telah bertaubat. Islam menjaga kehormatannya dan menutupi keburukan masa lalunya. Khalifah Umar bahkan memberi ancaman kalau paman gadis itu sampai menceritakan masa lalunya yang kelam.
Hadits Nabi menyatakan,
من ستر على مسلم ستره الله في الدنيا والآخرة
هَذَا الحَدِيث رَوَاهُ أَبُو نعيم فِي كِتَابه «معرفَة الصَّحَابَة»
“Siapa saja yang menutupi saudaranya yang muslim, Allah akan menutupinya di dunia dan akhirat” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab “Ma’rifah al-Shahabh”.
Dalam redaksi hadits di atas, yang dimaksud menutupi adalah menutupi badannya atau cela saudara muslim lainnya dengan tidak menggunjingnya atau membuka aib-aibnya. Yang dimaksud “Allah akan menutupinya di dunia dan diakhirat” adalah Allah tidak akan membuka kejelekan-kejelekan dan dosa-dosanya.
Imam al-Qadhi berkata,
شرح النووي على مسلم (16/ 143)
قال القاضي يحتمل وجهين أحدهما أن يستر معاصيه وعيوبه عن اذاعتها في أهل الموقف والثاني ترك محاسبته عليها وترك ذكرها
“Dalam hadits tersebut dapat memberi dua kesan pengertian, yaitu menutupi maksiat-maksiat, aib-aib, atau kejelekan yang telah dilakukan saudara muslim lainnya dan tidak membeberkannya pada orang lain, dan tidak mencari-cari atau meneliti kesalahan orang lain serta tidak menuturkannya. [ Syarh an-nawaawi ala Muslim 16/143 ].
Sebagai muslim yang baik, seharusnya menutupi kejelekan saudaranya. Menutupi kejelekan saudaranya merupakan pertolongan yang sangat mulia bagi saudaranya yang telah melakukan kejelekan dan ingin bertaubat. Agar, ketika dia ingin betaubat, gampang melakukannya karena tidak terhalang oleh omongan-omongan yang seolah mengutuk dia menjadi orang jelek.
Kejelekan yang kita lakukan tidak menjadi alasan untuk menjerumuskan kita dalam aib yang memalukan, sehingga kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi (untuk memperbaiki). Kesalahan kita tetap dijaga kerahasiaannya sehingga memungkinkan kita untuk memperbaiki diri, menata hati, dan memperbagus akhlak tanpa terbebani oleh bisik-bisik tetangga dan tatapan curiga orang-orang yang tak percaya bahwa kita bisa baik.
Namun, ketika ada orang lain mengetahui kejelekan diri kita dan orang lain itu tidak membeberkan kejelekan kita, jangan dijadikan kesempatan untuk terus mengulangi kejelekan itu. Semoga kita bisa!!!