Menanti Barokah [1]

0
405

Ahmadi anak asal pulau Madura Sumenep bergegas ingin belajar ilmu di Pesantren. Persiapan matang Ia harus lakukan dengan berbekal seonggok makan dan uang transportasi secukupnya, sebab Ia di desanya termasuk anak fakir miskin. Akan tetapi walaupun keadaan mepet harta seperti itu, semangat belajarnya tetap berkobar. Dengan semangat yang tinggi Ahmadi nekat dengan hati ikhlas pergi untuk merantau mencari ilmu Allah dan mengabdi di salah satu Pesantren salaf (kuno). Sejak dulu memang kedua orang tuanya rela si Ahmadi bermukim lama di pondok agar ia dapat ilmu nafi’ (bermamfaat) dan barokah (berkah). Dia melakukan perjalanan sendirian tanpa ada sahabat yang menemaninya. Dengan berbekal semangat dan pasrah itulah akhirnya Ahmadi sampai tujuan ke pondok yang ia kehendaki.

Alhamdulillah hajatku sampai pondok terkabulkan juga, “Ahmadi berkata dengan hati puas dan riang gembira”. Pondok ini sangat tepat dan cocok bagiku dan mudah-mudahan membawa banyak keberkahan, “Dia kembali bersahut”. Sesampainya di gerbang pondok, Ia tolah-toleh kesana-kemari kemuDian datanglah seorang Satpam pondok menghampiri Ahmadi, si Satpam bertanya,” adik mau kemana…?” Ahmadi menjawab, “kulo (aku) mau mondok mencari ilmu”. Tanpa basa-basi Si Satpam mempersihlahkan masuk Ahmadi. Dia kelihatan lemas, capek sebab perjalanannya lumayan jauh. Dengan senang hati Ia bisa melihat suasana pondok dan aktifitas belajar santri-santri di situ.

Setelah beberapa bulan Ahmadi nyantri, Ahmadi mendapat telephon bahwa bapaknya meninggal dunia karena terkena serangan jantung mendadak. Padahal baru satu bulan kemarin neneknya sudah tiada juga. Tak lama kemuDian disusul lagi musibahnya pindah ke sang bapak tercinta. Cobaan dan ujian kian bertubi-tubi pada diri Ahmadi, sekarang di rumah tinggal ibu dan adik satu-satunya. Akhirnya dengan kondisi terpaksa Ahmadi harus izin pulang rumah dulu.

Sesampai di rumah, tanpa sepengetahuan Ahmadi bapaknya sudah dikuburkan di pemakaman umum yang tak jauh dari rumahnya Ahmadi. Ahmadi tidak sempat melihat kondisi mayat bapaknya yang pergi untuk selamanya itu. Ibu dan adik Ahmadi menangis tersedu-sedu, mereka berduka, dan sangat sedih sekali akan peristiwa ini. Sebab tak ada orang lagi yang bisa membiayai nafkah kehidupan sehari-harinya kecuali Ahmadi sebagai ganti satu-satunya.

Setelah Ahmadi ditanyakan, apakah Ia mau kembali lagi ke pesantren atau membantu ibu dan adik dirumah, Ahmadi menjawabnya: “saya akan tetap balik pondok, masalah nafkah keluarga di rumah, biar saya akan berusaha mencarinya di pondok saja”, dengan mata berkaca-kaca Ahmadi tetap bersih kukuh ingin mendapat barokah ilmu di pesantren disertai dengan pengabDiannya kepada guru cukup tinggi. Akhirnya Ia mohon doa restu pada Ibunda dan adiknya untuk balik lagi ke pondok.

Mengingat berita duka tersebut, Ahmadi tetap terbayang kasih sayang bapaknya terhadap anak-anaknya di masa hayatnya. Akan tetapi tak peduli itu, Ahmadi tetap belajar dengan giat dalam mencari ilmu agama disamping bekerja keras mencari kasab (bekal) nafkah untuk keluarga di rumah. Tak lama kemuDian Dia dipanggil oleh Kiainya agar mengabdi sebagai pembantunya di dalem (Kediaman)-nya untuk melayani para tamu yang berdatangan setiap harinya. Dengan hati ikhlas Dia bersedia melayani sang guru dengan sabar, tawadu’§ dan tabah. Sang Kiai berkata “kamu selain menjadi pelayanku (khaddam)*, kamu tetap wajib ngaji mencari ilmu sebagaimana biasa di sini jangan sampai putus harapan, Allah SWT bakal memberi jalan yang terbaik bagi kamu, InsyaAllah Amin…”.

Tanpa banyak pikir Ahmadi menjawabnya dengan tuturan yang halus dan lembut “ saya siap Kiai, tapi kami anak yatim tak punya apa-apa, Bapak dan Nenek saya sudah meninggal dunia, di rumah tinggal Ibu dan Adik berdua, dan saya yang harus mencari nafkah sendir untuk mereka setiap harinya”. Lantas sang Kiai berkata kembali, “InsyaAllah jika engkau benar-benar ingin mengabdi dan punya niatan baik dalam mencari ilmu Allah, nafkah di rumah akan tercukupi Nak…, percayalah Allah Maha Pemberi dan Maha Penyayang kepada hamba-Nya yang taat dan patuh”. Setelah mendengar dawuh dari sang Kiai seperti itu,  hati Ahmadi langsung terenyuh pasrah serta yakin ini pasti hidayah Allah yang akan membawa keberuntungan luar biasa baginya.

Hari bertambah hari, Bu Halima salah seorang tetangga dekat Ahmadi datang ke pondok memberi kabar dan bercerita. Ia berkata, bahwa “Ibu dan Adik Ahmadi di rumah serba kekurangan makanan dan biaya hidup. Mereka berdua badannya kurus kering kerontang karena hampir satu bulan ini mereka kesulitan nafkah setelah sepeninggal Bapak dan Neneknya”. Tapi Bu Halima menyuruh mereka untuk bekerja menjual pisang goreng milik dagangannya, setiap harinya Bu Halima memberi keuntungan hasil Rp 10.000. Tapi jika jualan Bu Halima sampai laku keras Ibu Ahmadi bisa mendapat laba lebih dari keuntungan biasanya.

Mendengar kejadian ini, Ahmadi mencucurkan air mata, lalu Ia berkata dengan mata terbata-bata “terima kasih ya Bu.., anda telah membantu keluarga saya sepenuhnya, di sini kami hanya bisa mengabdi pada guru dan pesantren saya. Selain itu saya juga sempatkan untuk bekerja keras mencari nafkah mereka serta mendoakannya”. Ujurnya lirih sembari mengelus dadanya. Baru kali ini kehidupan Ahmadi pahit dan sangat nestapa. Mungkin ini adalah ujian dari Allah Swt selama Ahmadi hidup bertiga Ibu dan Adiknya di rumah.

bersambung…


  • §  Adalah sebutan dalam dunia sufistik yang bermakna rendah diri dan sopan-santun.

*  Sebutan seorang pelayan Kiai di Pesantren Jawa.

Tinggalkan Balasan