Peningkatan dan Penguatan Wawasan Khittah Nahdhiyyah

0
371

(Dalam Kancah Politik dan Perekonomian Bangsa)

Sejak berdirinya NU 31 Januari 1926, ternyata mampu menyuarakan panji-panji Islam dan membangunkan gairah pemuda bangsa di panggung perpolitikan Indonesia di zaman penjajahan Belanda saat itu. NU tampil gagah di garda paling depan sebagai badan organisasi otonom bangsa yang mandiri, ketika itu langsung dipelopori oleh para Ulama Khos (kharismatik) terkemuka KH. Abdul Wahab Hasbullah. Beliau mengorganisir Islam tradisionalis (NU) atas dukungan kiai dari Jombang yang sangat disegani, KH. Hasyim Asy’ari dan para Kiai-kiai pengasuh pesantren di seluruh Indonesia. Mereka berijma’ (konsensus) dan merestui terbentuknya NU sebagai organisasi kemasyarakatan (ORMAS) Islam ahlussunnah wal jama’ah sekaligus wahana inspirasi masyarakat, lebih-lebih kaum bawahan (primitif) dan kaum dhu’afa’ (lemah).

Tatkala NU sampai pada masa kejayaannya. Pendidikan pesantren-lah merupakan faktor penggerak utamanya saat itu. Namun sangat disayangkan pesantren di era global tampak tak jelas orientasinya, hingga berujung pada lemahnya kaum NU itu sendiri. Benar salah seorang pentolan NU KH. Muchit Muzadi (Jember) menyatakan bahwa NU tak berdaya dan tak karuan sebab lepas dari khittahnya. Antara lain banyak faktor yang melatar belakangi seperti arus sosial-politik, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya. MeNUrut salah satu pengamatan kontemporer, NU saat ini dipandang ikut intervensi persoalan perpolitikan terlebih-lebih politik praktis. Akibatnya cita-cita yang dibangun sejak awal sempat terlupakan hingga NU yang memiliki potensi dakwah besar kini menjadi lemah ditengah-tengah masyarakat.

NU pada kenyataannya cenderung sepihak (ekstrims), dimana hal tersebut dinilai sebagai anomali-anomali yang harus ditepis. Sejatinya NU independen dengan arus perpolitikan yang berkembang pesat di negara ini, agar eksistensi ajaran NU tetap utuh dan tak terkesan menjauh dari rakyat kalangan bawah yang alot dengan wacana politik pro dan kontra. Untuk itu, budaya yang menvirus di tubuh NU perlu kita basmi baik melalui rekontruksi pemikirannya yang kaku maupun sikap yang bertentangan dengan prinsip-prinsip nilai agama. Bagaimanapun juga konsep maslahah, tawazun (seimbang), tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (tidak menstrim) dan amar ma’ruf nahi mungkar harus tetap kokoh jangan sampai membelot hilang tanpa prinsip.

Penting kita ingat dan reNUngi bersama bahwa visi-misi NU adalah ingin mencetak bangsa Indonesia yang agamis, mempunyai keimanan serta ketaqwaan yang luhur, sesuai ajaran yang dibawa Kanjeng Nabi Muhammad SAW yaitu mengaNUt paham ahlussunnah wal-jama’ah (ASWAJA) yang berasaskan Pancasila negara. Dimana semuanya tertera dan disetujui oleh parlement negara berdasarkan instruksi Presiden Ir. Soekarno saat itu. Kemudian lahirlah satu ajaran kalam (teolog) yang menyusup yang populer dikenal dengan aliran Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H/936 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 944 M) dimana paham ini mengkalter pikiran-pikiran Mu’tazilah sang pengagung akal (logika).

Kendati demikian, paham ashlussunnah wal jamaah tidak saja berhulu pada ranah dan bidang kalam, akidah, atau teologi satu-satunya, akan tetapi juga memperbincangkan tentang persoalan hukum Islam (syari’ah) semata. Dengan demikian,  ashlussunnah wal jamaah hanyalah manhaj al-fikr dan paham saja yang di dalamnya memuat banyak aliran dan mazhab yang beraneka ragam. Paham ini sangat lentur, fleksibel, tawassuth, i’tidal, tasamuh, dan tawazun, sebab mengekor pada problem sosial keagamaan. Satu hal yang tercermin pada sikap Sunni yaitu mendahulukan nash (al-Qur’an dan Al-Hadist) secara kental dan kokoh. Namun selain itu, juga memberikan porsi longgar terhadap akal, tidak mengenal thatharruf (sikap yang mengujung), tidak mengkafirkan ahl al-qiblat yang meliputi semua aspek kehidupan, baik aqidah, muamalah, akhlak, sosial, politik, budaya maupun lainnya.

Khittah adalah garis-garis yang diikuti dan ditempuh oleh orang-orang NU dalam kiprahnya mewujudkan cita-cita dan dituntun oleh faham keagamaan sehingga membentuk kepribadian khas Ulama NU (hasil keputusan Muktamar ke 27 di Situbondo). Sedangkan isu yang berkembang mengenai asumsi tentang liberalisasi NU, tidak bebas dari Ulama, tidak bebas dari referensi-referensi klasik (kitab kuning) dan akidah (teologi) utamanya, statemen demikian itu benar, itulah impian atau ciri khas NU yang tak bisa ditinggalkan. Dimana pada prinsipnya, semuanya berpuncak pada al-Qur’an maupun al-Hadist dan jejak para Ulama salfu as-Saleh (‘alim dan al-‘arif billah).

Bentuk penguatan manhaj al-fikr NU, budaya Islami (Pesantren), serta politik Islam seharusnya terus digalakkan secara berkelanjutan (contiNUity). Munculnya pemuda-pemuda NU seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), P3M, LASPEKDAM dan lain sebagainya merupakan representasi sumbangan yang cukup besar dan gebrakan spektakuler khususnya dalam fan keilmuan (sains) modern, sekalipun argument-argumen mereka sangat nyeleneh dan tak etis. Tak salah Bapak cendekiawan muslim kita Alm. DR. NUr Kholis Majid (Ca’ NUr), beliau berkata : “argumentasi-argumantasi yang berbeda merupakan ajang meNUju kebenaran seorang cendekiawan dalam menemukan kebenaran (haq)”. Begitulah landasan apologi mereka yang dijadikan pegangan kuat sampai saat ini.

Di era modern ini NU harus mampu meningkatkan mutu SDM yang berkualitas, membangun kekuatan dan harus waspada terhadap masuknya rezim baru, multi-partai yang akan memporak-porandakan rumah NU yang sudah strategis. NU boleh terjun dalam gelanggang perpolitikan, akan tetapi jangan sampai menjadi pelaku atau ketua dari badan PARPOL itu sendiri. NU harus lebih aktif, demokrasi, terbuka, dan lentur untuk siapa saja. Strategi ini dalam rangka untuk memajukan NU ke depan dalam mengayomi masyarakat secara komplek, tidak ekstrims, terbuka dan membumi.

Persoalan yang harus diselesaikan sebenarnya adalah bagaimana mampu meng-NU-kan umat Islam yang sejati sampai benar-benar berjiwa NU, alias NU tulen (jelas saat dialog interaktif oleh KH. Muchit Muzadi di Ma’had Aly Situbondo 2005). Kaidah “al-Mukhafadhotu bi qodimi as-Sholih wa al-Akhdzu bijadidi al-Ashlah” amat laik kita jadikan referent pengetahuan di era modernisasi model sekarang. Arus westernalisasi barat yang merasuk hingga merebak di pelosok-pelosok masyarakat harus selalu kita filter (saring) dan ambil yang lebih baik, secara profesioanal serta proposional. Lahirnya pesantren sebagai wadah pendidikan Islam dan pusat pengembangan sosial-keagamaan satu-satunya yang amat strategis, lembaga swadaya masyarakat dan Madrasah Islam di Indonesia merupakan solusi terbaik dalam menghadapi tantangan di masa akan datang.

Walhasil, ada empat komponen kekuatan yang harus ditempuh oleh NU, pertama bidang “ekonomi” yang mapan, dan maju pesat. Kedua, “politik” yang kuat, bagus dan sehat (siyasah al-Islamiyah). Ketiga, “keamanan” (militer) yang mampu menjaga stabilitas kehidupan menjadi aman, tertib dan anti-kriminal. Keempat, “ilmu pengetahuan” yang berkembang sekaligus SDM yang bermutu.

Nah, Strata diatas salah-satu unsur yang cukup signifikan guna meminimalisir suatu hal yang tidak diinginkan secara umum dan menjaga keutuhan NU secara khusus. Untuk menggapainya, kita harus mulai dari sikap optimis dan komitmen yang tinggi, lebih-lebih dari organisasi NU sendiri sebagai the founding father sekaligus power Islam pemersatu umat jagat raya. Setidak-tidaknya bisa memberikan peluang seluas-luasnya bagi pemuda-pemudi Islam untuk terus berkarya dan membentuk badan persiapan khusus yang sanggup menangani problem-problem di atas.

Oleh : Ahmad Mu’takif Billah

(Mahasiswa Program Sarjana (S2) Ma’had Aly Ponpes Salafiyah Syafi’yah Situbondo)

Tinggalkan Balasan