Mengurai Tafsir Jihad Berbasis Solidaritas [1]

0
389

(Meluruskan Perbedaan Persepsi, Memperkokoh Solidaritas Dalam Kehidupan Beragama)

Jihad, konflik antar kelompok Islam yang berbeda paham yang terjadi saat ini merupakan representasi pemahaman konsep salah yang ditimbulkan oleh pandangan multi-tafsir mereka sendiri. Dalam persoalan ini kita harus mampu menelaah, mencermati dan memadukan secara benar dua persinggungan tersebut. Coba bayangkan peperangan yang seharusnya berkobar antara pejuang Iraq melawan tentara Amerika dan sekutunya, ternyata justru berbalik arah kelompok Sunni melawan Syiah (Iraq vs Iraq) yang semuslimnya. Mengapa terjadi konflik satu Tuhan (Allah) dan satu Nabi (Muhammad) di negara muslim Iraq, Syiria dan Lebanon.[1]

Kalau kita mau mengkaji lebih jauh lagi, bahwa makna jihad dalam al-Qur’an sangat banyak sekali jumlahnya. Setiap ayatnya mengandung arti beda dan penafsiran yang tak sama pula. Kalau kita mengurainya satu-satu, ayat yang bermakna perang berjumlah 14 ayat, sedangkan makna yang bukan bermakna perang berjumlah 24 dan 3 ayat sisanya bermakna sama. Jadi semua ayat-ayat jihad dalam al-Qur’an berjumlah 41 ayat dengan makna dan tafsir yang beraneka ragam bentuknya.[2]

Dari sini Penulis mencoba menganalisis kembali ranah historisitas jihad Islam melalui pendekatan makna al-Qur’an dan al-Hadist. Sebab penulis beranggapan bahwa konflik antar golongan selain ada intervensi kaum Yahudi juga disebabkan oleh dangkalnya pemahaman umat Islam disana terhadap penafsiran konsep jihad yang tertera dalam al-Qur’an secara shorih (jelas) dan pemahaman mereka terhadap hadist yang tidak utuh.

Aksi kekerasan ditimbulkan oleh banyak segi. Antara lain sebab perbedaan pandangan (aliran/paham), kekuasaan politik, dan monopoli ekonomi bangsa. Akan tetapi persengketaan kali ini lebih dominan dan bermuara pada konflik aliran saja. Tanpa diketahui kaum Yahudi mengambil langkah perang dengan cara mengkeruhkan ukhuwah al-Islamiyah (tali persaudaraan) umat Islam di sana.

Historitas dan Interpretasi Makna Jihad

Pada awalnya Islam telah melegalkan adanya peperang secara wajib. Dalam surat an-Nisaā€™ ayat 77 disenyalir: “setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?.

Selanjutnya ditegaskan kembali dalam ayat lain surat al-Haj ayat 39: “telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”. Dari paparan ini, jelas jihad dibenarkan oleh Islam. Namun patut direnungkan bahwa makna dan bentuk jihad kontek sekarang jelas sangat berbeda dengan kontek dulu. Jihad kontek sekarang penting diungkap secara jelas tanpa dipahami sebelah mata.

Ulama mengenai hal ini terjadi multi-interpretasi baik bentuk ataupun macam jihad. Pertama, jihad Islam yang bersifat ofensif (al-hujum) diartikan spesifik yakni berperang secara fisik baik berkorban dengan nyawa (al-Anfush), maupun dengan harta benda (al-Amwal) di jalan Allah. Bentuk jihad ini disebut juga jihad bi al-Ahwal atau bi al-Nafsh yang semuanya dilakukan dengan pengorbanan jiwa raga, harta, pikiran dan segala apa saja yang bisa kepada tercapainya suatu tujuan (al-Maqsudah) melawan musuh yang telah mengancam atau mengganggu Islam. Hal ini tertera jelas dalam QS al-Taubah,; 88,19,20 Ā dan QS Luqman, : 31.[3]

Kedua, jihad dimaknai umum, antara lain jihad melawan nafsu, mampu mengalahkannya, menunduknya, mencegahnya, dan tidak mau kenikmatan dunia fana dan gejolak syahwat. Bisa juga jihad bermakna belas kasihan pada saudara-saudaranya, tidak ambisius harta dan menjadikan alam dunia sebagai bekal akhiratnya kelak. Jihad ini bersumber pada tazkiyah al-Nafs (penyucian jiwa) atau al-Qolbu atau ain al-Bashiroh (mata hati) dan al-Ruh (dengan menghempaskan wujud untuk sampai pada Sang Maha Pencipta).[4]

Untuk kontek sekarang, berjuang (jihad) menyesuaikan potensi manusia yang dimiliki secara mutlak. Jika seorang pemikir Ia dituntut berjuang dengan karya-karya keilmuannya, jika seorang pedagang Ia dituntut berjihad untuk jujur, tidak berbuat dhalim apalagi merugikan orang lain. Jika seorang konglomerat harta Ia dituntut dermawan terhadap kaum lemah, fakir miskin, menyediakan lapangan kerja bagi kaum pengangguran dan begitu seterusnya. Demikianlah jihad diartikan sebagai nilai atau perilaku kehidupan (profesi) seseorangĀ  yang dipertaruhkan untuk kebaikan atau berkorban di jalan Allah.

Konkritnya jihad pada hakikatnya lebih layak dikatagorikan sebagai sikap seseorang yang bersifat defensif atau al-dhifa’ (menahan tidak berperang) yang berujung pada puncak akhir yakni terealisasinya praktik amar ma’ruf nahi mungkar di seluruh jagad raya utamanya tubuh Islam sendiri. Islam hadir bukan sekedar keputusan undang-undang Tuhan (syari’at) melainkan juga sebagai agama penyelamat yang membawa rahmat dan kasih sayang. Inilah barangkali makna panjang Islam sebagai agama Rahmat al-‘Alamin.



[1] Baca Belutin Aula NU April 2007.

[2] Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahros lil al-Fadh al-Qur’an al-Karim, (Indonesia, Penerbit Perpustakaan Dahlan), Muhammad Fuad Abdul Baqi mulai mengarang kitab Mu’jam ini sejak beliau di Mesir Tahun 1939.

[3] Muhammad Husain at-Thaba’thaba’i, al-Mizan Fi al-tafsir al-Qur’an, Muassis al-‘Alami Li al-Thabuat, cet I, Jilid III, 2003, hal 163 dan 335. Dapat dilihat pula tafsirnya Muhammad Rosyid Rida, Tafsir al-Mannar, Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, Bairut Lebanon, cet I, Jilid VI, 1999, hal. 90-91 dan hal. 284. Ahmad Musthafa al-Murawi, Tafsir al-Murawi, Dar Ihya al-Turast, al-‘Arabi, cet II, jilid II, hal. 109.

[4] Muhammad al-Rozi, al-Tafsir al-Kabir, Dar al-Fikr, Bairut Lebanon, Jilid XIII, 1995, hal. 94-95.

Tinggalkan Balasan