[Cerpen] Sepercik Cahaya Api

0
834

“Itu Nita adikku!”

Seorang gadis kulihat tertatih menyeret kakinya mendekati mobil-mobil mewah. Tepat di depan swalayan Dyonisus. T-shirt yang dikenakannya menjelaskan kalau dia adikku. Hampir semua t-shirtnya berwarna hitam dan bertuliskan Descartes. Latarnya sebuah batu karang menjulang dengan cahaya api terpercik. Aku belum pernah menanyakan arti percikan api itu. Aku tahu dia sangat mengagumi Descartes. Aku pernah memprotes kelakuannya.

“Semua tindakan yang kita lakukan harus dilandasi logika yang kokoh!” katanya ketika kutanya arti gambar karang di belakang bajunya.

“Kenapa ada tulisan Descartes?” kejarku.

“Descartes yang pertama mengatakan demikian!” jelasnya menyungging senyum.

Aku yakin sekali kalau gadis di depan sana Nita. Tidak ada gadis yang mau nekad memakai t-shirt robek bertuliskan tokoh yang telah meninggal ribuan tahun lalu, kecuali Nita. Dia memang memiliki usaha sablon sendiri. Hobinya mencoret-coret bermanfaat juga. Tetapi kenapa ia menjadi pengemis? Celana yang dikenakannya juga berlobang-lobang. Aku ragu. Aku pasti salah lihat. Wah, dia menjulurkan kaleng ke arah seorang lelaki berdasi. Lelaki itu mirip Bill Gates.

Memang, hari ini pertemuan para tokoh informatika dunia di hotel Paradise. Letaknya bersebelahan dengan swalayan Dyonisus. Jika Nita tergila-gila pada seni musik dan teater, aku sendiri lebih suka bergelut dengan dunia teknologi. Bagiku seni tidak akan mendatangkan apa-apa bagi manusia. Seni adalah tempat pelarian manusia yang jemu dengan semua masalah hidup.

Selain seni peran Nita juga mumpuni dalam seni musik. Ia mampu melantunkan lagu-lagu M2M seraya memainkan piano, atau gitar. Seni adalah jiwanya. Ia sanggup menyelami ketukan nada embun yang jatuh di pagi hari. Ia mampu mendengar gesekan bunga-bunga matahari di musim semi, cericit burung-burung, dan arus dalam laut Baltik. Nita belajar seni bukan untuk pelarian. Nita adalah seni itu sendiri.

“Hei!”

Aku mencoba mengalihkan perhatiannya. Gadis itu menoleh. Lalu kembali membungkuk. Sekilas kulihat titik air menetes dari mata indahnya.

“Kak!”

Tiba-tiba gadis itu sudah muncul di depanku. Aku terpana. Hampir tak percaya. Nita bisa seperti ini?

“Aku Nita!” katanya.

Aku terpaku.

“Aku Renita Azizah, Kak Fuad!” kata gadis itu sambil menunjuk hidungku.

Dia betul Nita.

“Kenapa kamu seperti ini?” tanyaku gagap.

“Aku mau ujian lusa!”

“Kamu khan bisa berlatih di rumah!”

“Itu tidak cukup, Kak!” jawabnya. “Kharakater tokohnya bisa kita rasakan di lapangan!”

Aku tersenyum sambil menariknya masuk ke mobil. Raut wajahnya yang berubah seketika membuat kejengkelanku sirna.

“Lagi pula ujian kami diadakan di atas panggung,” lanjutnya.

“Pertunjukan sungguhan?”

“Ya!”

Kami meluncur membelah jalan Lyotard menuju rumah ayah. Satu semester lagi ayah akan pulang ke Aljazair. Masa kontrak ayah segera berakhir. Sepuluh tahun di Perancis memang cukup membuat kami betah. Nita bahkan tidak mau meninggalkan Perancis.

Seorang wanita tua menghalangi jalan. Aku berjuang memutar. Gagal. Wanita itu terpental ditabrak mobil. Aku panik. Kulihat ekspresi Nita biasa-biasa saja.

Aku mengangkat wanita malang itu ke atas mobil. Nita mengapitnya. Dan secepat kilat kutancap gas. Bahaya kalau warga berdatangan. Aku trauma kejadian di Aljazair belasan tahun silam.

“Di depan sana ada rumah sakit!” ujar Nita. Dia memang lebih tahu lingkungan di sini.

Kami menunggu selama hampir sejam.

“Dia sudah siuman!” seorang perawat menghampiri kami.

Seorang lelaki berpakaian putih panjang meraba tangan wanita itu. Memastikan denyut nadinya. Aku melihat name tagnya. Di situ tertulis “Fauzan”.

“Dokter muslim!’ batinku.

“Nak!” wanita tua itu menatap Nita.

“Sini, Nak!” ujarnya sekali lagi.

Nita mendekat. Senyum khasnya terpancar bagai cahaya. Kegembiraan merambah ke mana-mana. Dokter Fauzan dan dua suster di situ ikut tersenyum. Aku pikir Nita lebih hebat menjadi tenaga perawat. Dia bisa tersenyum kapan dia mau. Dalam keadaan bahaya sekalipun.

“Aku sering melihatmu. Aku tahu ciri khasmu,” kata wanita itu setelah Nita mendekat.

Ia memegang kedua tangan Nita. Mendekapkan ke dadanya

“Baju yang kau pakai ini. Kamu tahu, apa arti simbol-simbol ini?” tanyanya kepada adikku.

“Apapun yang kita lakukan harus ditopang oleh alasan yang kuat!” jelas Nita.

“Itu kata Descartes!” aku membantu Nita.

“Kamu orang Aljazair khan? Matamu, warna kulitmu dan rambutmu semuanya berasal dari sana. Nak, ada yang lebih kokoh dari karang yang menjulang.”

“Apa itu, Bu?” tanya Nita.

“Prinsip!”

“Gagasan logis manapun pasti akan tamat suatu hari. Tetapi prinsip kita senantiasa langgeng. Sepercik cahaya api itu menandakan bahwa tanpa kekuatannya, karang tidak akan terlihat indah. Kamu pasti paham!”

Prinsip? Hm, kata primordial itu tidak akan masuk ke otak Nita yang populis. Nita gadis modern, bukan gadis yang kolot. Di otak Nita hanya ada adaptasi atau teori kontijensi. Nita seorang gadis cantik yang selalu bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan. Jika zamannya kaos ketat, ia akan memakai kaos ketat. Jika musim jeans, ia akan memakai jeans. Tapi anehnya, Nita tidak pernah memakai lipstik.

Perlahan mata wanita tengah baya itu tertutup. Hembusan nafasnya berubah. Ada sebuah kekuatan yang menarik udara ke luar dari tubuhnya. Dia meninggal.

Esok harinya kulihat Nita berubah. Ia mengenakan woman moslem dress (hijab) tanpa assesoris. Nita tampak lebih feminim.

“Semua t-shirt ini untuk Kak Fuad!” katanya sambil melemparkan tas besar berisi baju kaos minimnya.

“Untuk saya?” aku protes.

“Tolong bawa ke Panti Asuhan!” perintahnya tegas.

Matahari musim panas menembus ke jendela-jendela kaca. Mengusir tetesan embun pagi. Mengalir bersama alunan langkah Nita menelusuri lorong-lorong sempit menuju sekolah. Nita sedang berjuang membentuk karakternya.

Oleh: Nurbing, PNS Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan

Tinggalkan Balasan