اَلْأَعْمَالُ صُوَرٌ قَائِمَةٌ وَاَرْوَاحُهَا وُجُوْدُ سِرِّ الْإِخْلَاصِ
“Amal adalah kerangka yang tegak, sementara ruhnya adalah ikhlash”
Jasad manusia itu tidak akan berguna tanpa ada ruh yang menggerakkannya. Makanya, ketika ruh manusia dicabut, jasad manusia itu tidak lagi berharga. Makin lama akan membusuk dan hancur menjadi tinggal tulang lalu menjadi debu. Ia tidak bisa lagi dipercantik dengan pakaian yang mewah. Ia tidak bisa diperharum dengan minyak wangi, karena makin lama akan membusuk. Inilah perbandingan dengan amal dan ikhlas. Bahkan yang pada awalnya saat jasad itu ada ruhnya banyak orang yang mencintai dan ingin dekat dengannya, tapi ketika sudah meninggal semua menjauhinya. Jadi, ketika amal itu tidak disertai keihkhlasan, maka ibadah itu tidaklah bernilai apa-apa. Ibadah itu lalu hanyalah menjadi gerakan biasa. Jungkar balik ketika shalat sama dengan jungkar balik di luar shalat. Tidak makan ketika puasa sama dengan tidak makan ketika tidak puasa. Haji ke Baitullah ketika tidak disertai keikhlasan maka tak ubahnya rekreasi ke tempat wisata. Maka dari itu, begitu bernilainya sebuah keihklasan.
Keikhlasan itu memiliki tingkatan yang berbeda-beda, sesuai dengan kedekatan seorang hamba pada manusia. Pertama, keikhlasan yang timbul ibad (ahli ibadah). Keikhlasan dari seorang ibad adalah tidak adanya riya’ dalam segala amal ibadah mereka. Dalam bahasa lain, tidak ada unsur riya’ yang mendorongnya untuk melakukan ibadah. Dia beribadah hanya karena mengharap pahala dari Allah dan takut kepada pada murka Allah. Dia beribadah bukan karena ingin dipuji orang lain atau kekaguman orang lain.
Kedua, keikhlasan yang timbul dari muhibbin (pecinta Allah). Gambaran keikhlasan dari muhibbin adalah beramal atau beribadah karena memulyakan dan mengagungkan Allah, sebab Allah memang yang pantas untuk dimulyakan dan diagungkan. Jadi seorang yang sudah sampai pada tingkatan muhibbin ketika beramal tidak sedikitpun mengharap pahala atau takut dosa. Oleh karena itu, seorang sufi terkemuka Rabi’ah al-Adawiyyah mengatakan “(Ya Allah), Aku menyembah-Mu bukan karena takut pada nerakamu dan bukan karena mengharap surgamu”.
Ketiga, keikhlasan yang timbul dari Arifiin. Keikhlasan dari seorang al-Arif Billah adalah mereka merasa bahwa Allah lah yang menggerakkan dan mendiamkannya. Dalam arti dia tidak merasa sedikitpun bahwa dia atau kehendaknya yang menggerakkan dia untuk beramal ibadah dan bukan kehendaknya pula yang membuat dia tidak melakukan dosa. Bahasa mudahnya, segala bentuk amal ibadah atau amal baiknya digerakkan oleh Allah. Dan inilah tingkatan ikhlas paling tinggi.
Sekarang yang penting bagi kita adalah berfikir apakah dari ketiga keikhlasan itu sudah ada yang kita capai?. Tingkatan pertama, kedua atau ketiga?. Ataukah tidak ada yang bisa kita gapai?. Kalau ini yang terjadi, maka tak ubahnya kita ini mayat hidup, yang mana semua gerak getik kita tidak berarti di hadapan-Nya. Na’udzubillah min dzalik.