Terusiknya Harmoni Kehidupan Muslim Austria

0
431

 

Sejumlah dosen dari tanah air mendapat kesempatan mengunjungi Austria dalam rangka studi. Sekelumit kisah selama di sana diceritakan Zaimatus Sa’diyah Lc, MA, dosen Pendidikan Bahasa Arab STAIN Kudus. Berikut catatannya.

Saat berada di Austria, rombongan berkesempatan untuk bertemu Dr. Fuad Sanac, President of Muslim Community (MC) di Austria. Dengan diantar Prof. Lohlker, rombongan bersama menuju kantor MC dengan berjalan kaki. Kira-kira 20 menit waktu yang diperlukan untuk menempuh perjalanan dari apartemen ke kantor MC. Bule-bule di Austria memang sangat suka berjalan kaki, dan jalannya juga sangat cepat, mungkin untuk menghangatkan badan apalagi di musim dingin. Kalau tidak bergerak, rasanya tambah dingin.

Banyak hal didapatkan dalam dialog tersebut. Terutama terkait dengan isu yang sedang hangat yakni tentang draf undang-undang yang mengatur komunitas muslim di Austria. Sebagaimana diketahui, Islam merupakan salah satu agama yang diakui secara resmi di negara ini, karenanya perkembangannya cukup menggembirakan. “Pemerintah memberikan kesempatan umat Islam membangun masjid, mendirikan lembaga pendidikan dan juga melakukan ritual keagamaan lain,” kata alumnus Madrasah Aliyah Program Keagamaan Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo Jawa Timur ini. Tidak ada diskriminasi antara penduduk muslim dengan penduduk beragama lain, lanjutnya.
“Namun, harmoni kehidupan di Wina mulai terusik karena isu terorisme yang seringkali dikaitkan dengan Islam,” tandas jebolan Universitas Al-Azhar Mesir ini. Tentu saja hal tersebut tidak lepas dari propaganda pihak luar yang mencoba mendiskreditkan Islam dan menjadikannya sebagai agama yang identik dengan teror.

Rupanya pemerintah Austria juga mulai terusik dengan isu ini, sehingga menyusun draf perubahan undang-undang tentang Islam. Perlu diketahui bahwa undang-undang yang mengatur umat Islam di Austria sudah berusia lebih dari 100 tahun. “Selama itu tidak ada masalah yang muncul hingga berakibat pada perubahan undang-undang tersebut,” ungkap lulusan UGM Kajian Timur Tengah ini.

“Ada tiga hal yang sangat mengusik umat Islam dan mengandung unsur diskriminasi,” katanya sembari memerinci. Pertama, aturan yang melarang umat Islam di Austria untuk menerima bantuan finansial dari luar negeri, baik dari negara Arab maupun lainnya. Kedua, aturan bahwa imam masjid yang juga berperan sebagai seorang mufti bagi jama’ahnya harus merupakan lulusan sekolah Islam di Austria. Ketiga, penetapan standar terjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Jerman.

Selain terorisme, isu peningkatan jumlah penduduk muslim Austria secara signifikan dari tahun ke tahun juga menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah. Menurut Mr. Farouq yang sempat ditemui di kantor IRPA (semacam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah di Indonesia yang dikelola oleh umat Islam dengan subsidi dari pemerintah Austria), selain imigrasi, faktor utama peningkatan jumlah penduduk muslim secara signifikan tersebut adalah paradigma berfikir yang berbeda antara umat Islam dengan orang Barat khususnya masalah keturuanan. “Umat Islam rata-rata menikah di usia yang relatif muda dan mempunyai banyak keturunan,” terangnya. Selain karena mengikuti sunnah Rasulullah SAW, menikah juga salah satu bentuk ikhtiyar untuk keberlajutan hidup manusia, lanjutnya.

Sebaliknya, bule di Austria rata-rata menikah di usia “mapan” dan mungkin hanya mempunyai satu anak. Karena itu, wajar jika jumlah penduduk muslim di Austria kian tahun semakin bertambah. Bahkan, sebuah surat kabar lokal di Wina menulis tentang perkiraan jumlah muslim di Austria pada tahun 2046 akan meningkat menjadi 24 % dari jumlah total pendudukAustria (saat ini jumlah penduduk muslim 600.000 jiwa atau setara dengan 6% dari total penduduk). “Jika itu terbukti benar, maka siap-siap saja Eropa menjadi benua Eurab alias Eropa Arab,” katanya sumringah. Tapi kendati demikian, tentunya bukan hanya kuantitas yang dipikirkan, namun kualitas generasi Islam yang cemerlanglah yang dinantikan akan lahir di berbagai belahan bumi manapun.

 

Jaminan Produk Halal

Hal lain yang menarik untuk diceritakan adalah jaminan bagi konsumen muslim terkait penyediaan makanan halal. “Jika ingin aman mengonsumsi makanan di sini sangat gampang, cari saja kedai-kedai makanan yang rata-rata dimiliki orang Turki dan Mesir,” katanya berbagi tips. Cara menandainyapun mudah, biasanya mereka menjual kebab. “Kadang saat kita datang mereka langsung mengatakan halal… halal,” terangnya.

Menurut Dr. Aminah Syakir, direktur IRPA, untuk mendapatkan daging halal, kaum muslimin bisa membelinya di beberapa supermarket umum yang menyediakan produk bersertifikat halal atau supermarket khusus milik warga muslim. “Rata-rata umat Islam di sini sudah sangat akrab dengan tempat tersebut. Bahkan dalam satu kesempatan kami pernah berkunjung ke pasar tradisional yang seluruh penjualnya adalah warga muslim Austria,” ungkapnya. Ada toko khusus baju-baju khas Turki, lapak pedagang sayuran, buah, ikan, ayam, daging dan sebagainya. “Sungguh sangat menarik,” katanya.

Sayang sekali jaminan halal bagi konsumen muslim semacam ini belum didapatkan secara utuh di Indonesia. Entah di mana letak permasalahannya. Rasanya kita mungkin tidak terlalu memperhatikan kehalalan makanan yang dimakan di sejumlah warung atau kedai. Padahal bisa jadi makan tersebut tidak memenuhi krteria halal dan thayyib sebagaimana yang disyariatkan dalam agama. “Karenanya perlu ada regulasi yang mendukung hal ini, agar kaum muslimin bisa mendapatkan jaminan untuk selalu mengonsumsi makanan sesuai syariat, sehingga konsumen merasa tenang dan pedagang juga senang,” harapnya.

Zaimatus Sa’diyah jadi teringat saat awal pulang dari Australia tahun 2009. “Saya sempat tidak memasak daging ayam ataupun sapi beberapa waktu lamanya karena tidak tahu harus beli di mana dan kepada siapa,” terangnya. Bingung menjadi hal mendasar untuk mencari penjual daging halal. Perasaan ragu muncul karena selama satu setengah tahun bersama keluarga tinggal di negeri Kanguru dalam rangka mendampingi suami tugas belajar, selalu membeli daging ayam atau sapi di toko khusus halal meat yang mudah didapatkan di sekitar tempat tinggal. Selain mudah dan murah, yang terpenting adalah jaminan kehalalan daging dari majelis ulama setempat.

“Kemudahan dan jaminan rasa aman inilah yang belum saya dan juga mayoritas kaum muslim dapatkan di negara kita,” sergahnya. Namun, akhirnya ia secara pribadi berikhtiyar melalui simbol-simbol keagamaan yang melekat pada penjual, misalnya yang penting penjualnya mengenakan peci atau kerudung, dan syukur-syukur sudah berpredikat haji atau hajjah. “Ya, dua simbol itu sebenarnya tidak menjamin, tapi paling tidak sebagai kriteria minimum dalam ikhtiyar untuk memenuhi kebutuhan dapur,” ungkapnya. Karena bagaimanapun juga sesekali ingin masak rawon ataupun soto khas Jawa Timur, dua menu favorit keluarga yang sulit ditemukan di tempat tinggal saat ini, Kota Semarang. (s@if)

Tinggalkan Balasan