Membaca Al-Qur’an dengan Laras Salendro

0
622

Membaca Al-Qur’an dengan Laras Salendro

Saya merasa perlu mengutarakan pendapat mengenai bacaan Al-Qur’an di Istana negara yang sedang ramai dalam dua hari ini. Terlebih sudah ada belasan sms, inbox FB dan beberapa tag yang membawa-bawa nama saya dan meminta pendapat saya dalam hal ini.

Tapi saya tegaskan ini hanya pendapat pribadi, bukan fatwa ataupun penjelasan hukum, karena saya tidak memiliki kemampuan sedikitpun dalam mengeluarkan sebuah fatwa halal-haram. Jadi ini sesuai pemahaman yang saya miliki saja, tidak lebih dari itu.

***

Sekilas Tentang Laras Salendro

Saya sengaja mengambil judul “Membaca Al-Qur’an dengan Laras Salendro” dan bukan langgam Jawa, karena bacaan Al-Qur’an yang sedang diperdebatkan ini memang menggunakan laras Salendro seperti klarifikasi dari yang berwenang sendiri.

Bagi yang belum mengenal istilah “Laras Salendro”, laras salendro adalah semacam sistem Notasi Musik Khas Jawa Klasik yang biasanya digunakan dalam gamelan, pementasan wayang, tarian dan yang semisalnya. Laras salendro ini dikenal dalam Karawitan Sunda dan Jawa, dengan nada yang cuma lima saja (1-2-3-4-5). Saya lebih mengenalnya dengan sistem Da-Mi-Na-Ti-La, seperti yang pernah saya pelajari dalam pelajaran Karawitan di sekolah dahulu.

Selain Laras Salendro, ada pula Laras Pelog yang lebih kontemporer yang nadanya ada 7 seperti Doremi. Ada lagi Laras Degung (Da-Mi-Na-Ti-La) yang khas Sunda serta Laras Madenda yang konon lebih berbau Eropa. Dengan Titinada ini, kita bisa menciptakan ratusan hingga ribuan musik dan lagu indah yang dimainkan oleh belasan jenis alat musik gamelan. Bisa dimainkan bersama ataupun tunggal menggunakan kecapi atau seruling.

Bacaan Al-Qur’an yang diperdengarkan di Istana Negara tersebut, jika dibaca oleh seorang sinden yang lebih profesional hingga ketukannya lebih pas, maka bisa diiringi oleh gamelan atau minimal petikan kecapi. Dan di saat yang sama, bacaan Al-Qur’an tersebut bisa ditulis pula notasinya hingga bisa dimainkan menggunakan alat musik (suling salendro misalnya) menggantikan suara Qori’.

***

Langgam Jawa

Karena penasaran dengan istilah “Langgam Jawa”, maka saya cari di Wikipedia dan keluarlah penjelasan yang singkat bahwa “Langgam Jawa” adalah sejenis aliran musik Jawa yang sekarang sudah terwarnai oleh Musik Keroncong. Langgam Jawa yang lebih modern adalah Musik Campursari yang sudah sangat memasyarakat di Indonesia ini. Jadi membaca Al-Qur’an dengan gaya Campursari bisa dikategorikan sebagai “Membaca Al-Qur’an dengan Langgam Jawa”.

Dan kalau kita mengikuti fatwa yang membolehkan membaca Al-Qur’an dengan “Langgam Jawa”, maka boleh saja kita membaca Al-Qur’an dengan Langgam Campursari.

***

Kalau Pembahasan Boleh Diteruskan

Maka Boleh pula membaca Al-Qur’an dengan Laras Pelog, Laras Salendro, Laras Degung, Laras Madenda, Irama Melayu (termasuk yang sudah berkembang menjadi Dangdut tentunya), Keroncong, Gambus, atau Langgam Tradisional ala Amerika sejenis langgam Country dan Langgam Blues…

Kok Bisa? Karena semuanya berpatokan pada notasi Do-Re-Mi-Fa-So-La-Si-Do atau Da-Mi-Na-Ti-La-Da.

Dan nanti penjelasan mad lebih pas dibahas menggunakan ketukan 4/4, 3/4 dibandingkan dua-empat harokat. Tartil lebih pas dikategorikan Anca atau Antare. Dan bisa pula diiringi musik gamelan atau piano seperti agama sebelah…

Toh sama-sama Do-Re-Mi…

Na’udzu billah min dzalik…

***

Boleh Atau Tidak Boleh?

Selain urusan halal-haram dan boleh-tidak boleh, kita sepakat bahwa dalam berislam ini ada pula urusan pantas-tidak pantas. Mari gunakan bahasa sederhana:

Pertanyaan 1: “Bolehkah imam Masjid Istiqlal di hari raya Idhul Fithri mengenakan celana jeans, kaus oblong putih dan topi New York (saya nggak tahu nama persisnya) yang dibalik Ketika mengimami sholat?”

Pertanyaan 2: “Bolehkah ia membaca surat Al-A’la dan Al-Ghosyiyah menggunakan Langgam Jawa (baca: irama Campursari)?”

***

Ihsan dalam Membaca Al-Qur’an

Ketahuilah bahwa membaca Al-Qur’an adalah ibadah. Dan ibadah haruslah menggunakan standar lebih dari sekedar halal-haram, tapi ihsan. Itu artinya bukan sekadar cara yang baik, tapi cara yang terbaik.

Dan tujuannya tentu saja adalah Ridho Allah, bukan menyenangkan orang banyak…

Karena yang memberi kita pahala adalah Allah, bukan penguasa…

Mohon maaf kalau ada kesalahan dalam saya menjelaskan.

Wallahu A’lam.

Sumber : Bersama Dakwah

Tinggalkan Balasan