Kontekstualisasi Al-Qur’an dalam Era Tinggal Landas

0
760

Kontekstualisasi Al-Qur’an dalam Era Tinggal Landas

Al-Qur’an yang telah diwahyukan dan diturunkan Allah Swt kepada RasulNya yang terakhir, ayat demi ayat selama 23 tahun, mempunyai beberapa ciri yang membedakannya dengan kitab-kitab samawiyah lain sebelumnya. Ciri-ciri itu antara lain al-Mu’jiz, artinya mempunyai kekuatan melemahkan. Dari segi nilai sastra dan gramatikanya yang tinggi, sastrawan mana pun tidak mampu menandinginya, meski pada waktu itu banyak yang mencoba membuat al-Qur’an buatan. Ciri lain ialah, membaca al-Qur’an saja tanpa memahami arti dan maknanya, dihitung sebagai ibadah.

Al-Qur’an yang merupakan sumber utama dan pertama bagi ajaran Islam, pada dasarnya mengajak semua manusia agar mau menghambakan dan mengabdikan dirinya kepada Allah SWT dengan aqidah dan syari’atNya, serta berakhlak mulia baik bagi Allah mau pun dalam pergaulan hidup dengan sesama manusia dan makhluk lain. Sebagai dasar orientasi hidup manusia, al-Qur’an mengacu ke arah tumbuhnya inspirasi yang terefleksikan dalam sifat, sikap dan perilaku yang inheren pada eksistensi dan proses hidup manusia sebagai titah. yang akrom.

Pada masa pembangunan, kontekstualisasi al-Qur’an menjadi penting. Pembangunan manusia yang selalu menjanjikan kesejahteraan, bahkan menuju kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, merupakan proses interaksi dari serangkaian kegiatan yang mengarah pada peningkatan kualitas hidup manusia, dari aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan, politik dan utamanya aspek agama. Potensi, profesi dan berbagai wawasan keagamaan dan sosial tertata dalam suatu sistem dan mekanisme yang terarah.

Kualitas manusia yang menyangkut berbagai aspek, dikelola dengan dukungan sumber daya manusia sendiri dan kekuatan dari luar dirinya. Dalam hal ini al-Qur’an sebagai sumber motivasi, diletakkan sebagai penyeimbang aqidah, syari’ah dan akhlaq karimah.

***

Manusia (bani Adam) oleh Allah SWT dalam al-Qur’an disebut mempunyai karamah (kemuliaan) dan kehormatan di atas semua makhluk lainnya. Nilai lebih ini bermakna sebagai titik pembeda dan makhluk lain, tentu saja dengan konsekuensi yang berat, bahkan teramat berat. Karena, pada diri manusia terdapat nafsu yang tidak selamanya bisa diajak kompromi untuk melestarikan karamah tersebut.

Nafsu inilah yang sering membuat manusia tidak konsisten pada kediriannya dan sering membuat manusia kehilangan nilai karamahnya. Salah satu aspek dari kekaramahan itu adalah kemampuan fisik dan rasio. Kemampuan inilah yang pada dasarnya akan menumbuhkan sumber daya manusia, sekaligus memacu ke arah pencapaian kualitasnya, manakala dibarengi kemauan berikhtiyar.

Namun di sisi lain—meskipun memiliki nilai karamah—manusia oleh al-Qur’an disebut ‘abdu.‘Abdu yang berarti hamba, menuntut tanggung jawab yang melekat pada diri manusia. Dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah, manusia mukallaf diberi berbagai taklif (tanggung jawab) yang harus dilaksanakan menurut ketentuan dan kemampuan berikhtiyar.

Sejauh mana manusia mampu memenuhi taklif, sejauh itu ia mempertahankan nilai karamahnya. Sejauh mana manusia menghambakan dirinya terhadap Allah SWT, sejauh itu pula manusia melaksanakan tanggung jawabnya sebagai ‘abdu. Ini berarti, manusia di dalam hidup dan kehidupannya selalu harus beribadah kepada Allah, karena Allah tidak menciptakan jin dan mausia kecuali untuk beribadah kepadaNya.

Meskipun manusia berstatus sebagai hamba, namun ia diberi kedudukan sebagai khalifah Allah dengan berbagai tingkat dan derajatnya, satu di atas yang lain, dalam hubungannya secara vertikal dengan Allah mau pun hubungan horisontal antar sesama manusia dan alam lingkungan. Khalifah sebagai pengganti, diberi wewenang terbatas sesuai dengan potensi diri dan posisinya. Namun wewenang itu pada dasarnya adalah tugas yang harus diemban.

Tugas itu dalam al-Qur an disebut ‘imaratul ardli, di samping ‘ibadatullah. Allah menciptakan manusia dari bumi ini dan menugaskan manusia melakukan imarah (pengelolaan dan pemeliharaan) di atasnya. Karena manusia di dalam melaksanakan wewenang dan tugas ‘imarah-nya sering berbuat sewenang-wenang, bahkan merusak lingkungan dan tidak mengindahkan manusia lain yang berada pada posisi di bawahnya, maka Allah selanjutnya memerintahkan manusia agar mohon ampunan Allah dengan bertaubat.

‘Imaratul ardli yang berarti mengelola dan memelihara bumi, tentu saja bukan sekadar membangun tanpa tujuan, apalagi hanya untuk kepentingan diri sendiri. Tugas membangun justru merupakan sarana yang sangat mendasar untuk melaksanakan tugasnya yang pertama, yaitu ‘ibadatullah. Lebih dari itu adalah sarana untuk mencapai sa’adatud darain (kebahagiaan dunia dan akhirat) sebagai tujuan hidup manusia.

Dari sinilah dapat dipahami, masyarakat dalam konsepsi al-Qur’an adalah masyarakat ‘ibadah dan‘imarah, di mana satu dengan yang lain saling berkait erat. Hal ini telah diisyaratkan Rasulullah SAW ketika beliau hijrah ke Madinah dengan membangun secara berurutan, dua bangunan monumental yang hingga sekarang masih dilestarikan bahkan dikembangkan. Dua bangunan itu adalah masjid Quba’ dan pasar. Tidak seharusnya ada kesenjangan antara masjid dan pasar, yang secara simbolik merupakan wujud konsepsi manusia seutuhnya.

***

Dalam hal perubahan masyarakat sebagai proses pembangunan, al-Qur’an mengisyaratkan, Allah SWT tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka sendiri mengubah keadaannya. Mengubah di sini berarti berupaya dan ikhtiyar yang menuntut berbagai kemampuan yang disebut kualitas. Ini berarti, membangun manusia butuh kualitas. Garis lingkar balik seperti ini terjadi, karena manusia sebagai subyek sekaligus obyek pembangunan. Pada dasarnya keberhasilan proses pembangunan itu banyak ditentukan oleh sumber daya manusia.

Allah SWT dalam al-Qur’an memerintahkan kepada manusia agar mempu berpacu dalam berbagai kebajikan (istibaqul khairat). Perintah ini dipahami untuk menumbuhkan sikap dan perilaku kompetisi yang sehat untuk mencapai al-khairat, yang berarti memerlukan dinamika tinggi dan lumintu, serta wawasan kreatif dan inovatif yang luas, di samping daya analisis untuk mengantisipasi proses transformasi menuju masa depan.

Pembangunan kualitas manusia dipahami sebagai dinamika, bukan hanya sebagai metode yang menitiktekankan pada program-program. Wujud dinamika ini adalah gerakan-gerakan yang selalu menuntut etos kerja tinggi dari semua lapisan masyarakat. Etos kerja ini dalam al-Qur’an disebut sebagai ibtigha’ al-fadlillah (secara optimal berupaya mencari anugerah Allah) atau secara umum disebut sebagai amal shalih. Kehidupan Rasulullah dalam kesehariannya menunjukkan adanya etos kerja yang tinggi. Beliau selalu mempunyai kesibukan, sampai-sampai membantu isterinya menjahit dan memperbaiki sandal. Bahkan beliau dalam sebunh hadits mengatakan, seberat-berat siksa manusia pada hari kiamat adalah orang yang hanya mau dicukupi orang lain dan menganggur.

Kualitas manusia pada dasarnya, ditentukan oleh potensi dirinya. Potensi diri yang membentuk kualitas ini meliputi berbagai aspek kehidupan. Secara umum, potensi yang telah dibekalkan Allah kepada setiap manusia mukallaf adalah potensi rasio dan fisik. Yang pertama berkembang menjadi potensi ilmu pengetahuan dan teknolgi, profesi dan kemampuan rasionalitas lainnnya. Dan yang kedua berkembang menjadi keterampilan, etos kerja dan ketahanan tubuh dengan kesehatan yang prima.

Dalam al-Qur’an potensi tersebut diformulasikan secara singkat dalam kalimat qawiyyun ataumakinun, yang berarti punya quwwah (potensi) atau makanah (ketangguhan). Sebuah firman Allah menyebutkan, “Sebaik-baik orang yang kamu serahi tugas mengupayakan sesuatu adalah orang yang berpotensi dan berkemampuan menerima amanat serta dipercaya”. Ayat ini dapat dipahami, bahwa setiap upaya apapun untuk mencapai prestasi menuntut adanya potensi dan amanah yang membentuk kualitas. Rasulullah dalam hal ini mengatakan, “Orang mukmin berpotensi lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada orang yang lemah”.

***

Pembangunan bukan saja membawa perubahan secara fisik, namun juga perubahan transendental. Hal ini antara lain terlihat dari perubahan nilai religius menjadi nilai ekonomis. Artinya, langkah dan gerak manusia yang semula diperhitungkan secara religius, bergeser menjadi diperhitungkan untung ruginya secara materiil belaka. Hampir dapat dipastikan, nilai ekonomis akan makin berkembang pesat pada era tinggal landas. Era di mana kapitalisasi makin merambah berbagai aspek kehidupan dan industrialisasi mulai menjangkau semua aspek komoditas, etos kerja makin meningkat, peran ketrampilan dan modal makin dominan. Perhitungan untung rugi secara materiil makin kuat posisinya. Akibatnya, nilai religius terbentur dan terlempar.

Era tinggal landas memang selalu menjanjikan kehidupan yang menggiurkan dan kesejahteraan yang spektakuler. Namun justru di situlah nilai-nilai iman dan tawakal terancam. Di situ pula unsurghurur al-dunya makin mendapat banyak peluang untak menggiring nafsu manusia pada puncak keangkaramurkaannya.

Tawakal dan iman terancam oleh posisi ikhtiyar yang makin dominan. Dalam hal ini al-Qur’an memandang kehidupan dunia ini sebagai materi yang menipu manusia (mata’ al-ghurur). Makin maju kehidupan dunianya, manusia makin melalaikan kehidupan yang kekal di akhirat nanti. Maka al-Qur’an memberi petunju akan keseimbangan yang sering diformulasikan dalam kalimat al-wasath dan al-‘adlu.

Keadilan sebagai konsepsi al-Qur’an dipahami sebagai keseimbangan dalam kehidupan manusia. Menakuti manusia dengan siksaan Allah, diimbangi dengan sikap optimis terhadap ampunan dan rahmat Allah. Kewajiban diimbangi dengan hak. Keberanian fisik diim

bangi keberanian mental. Potensi rasio diimbangi potensi fisik. Meskipun al-Qur’an menunjukkan, seluruh isi bumi ini diciptakan untak manusia, dengan pengertian manusia diberi kebebasan mengolah dan memanfaatkannya untuk kepentingan hidup, namun al-Qur’an juga memberikan batas-batas tertentu yang tidak boleh dilampaui agar terjadi keseimbangan, tidak israf (berlebihan) dan tabdzir (mubazir). Sampai pada soal makan dan minum, al-Qur’an melarang israf dan tabdzir. Tidak boleh melampaui batas kualitas, batas kuantitas, batas maksimal dan minimal, agar terjadi keseimbangan dalam tubuh manusia.

Era tinggal landas harus dilandasi semangat keseimbangan antara etos kerja dan tawakal. Etos kerja dan gerakan-gerakan pembangunan dipahami sebagai ikhtiyar yang pada dasarnya hanya merupakan sarana, karena yang menentukan keberhasilannya adalah Allah dengan qudrah daniradah-Nya. Tawakal tanpa ikhtiyar akan menimbulkan sikap fatalistik yang berakibat pada munculnya sikap thama’ (dependen) yang tidak dibenarkan. Sebaliknya, ikhtiyar tanpa tawakal bisa menghilangkan nilai imani. Bila manusia hanya berpegang pada ikhtiyar lalu gagal, ia akan kehilangan keseimbangan, stress dan tidak mustahil putus asa (ya’su). Sikap ini dilarang keras oleh al-Qur’an.

Dalam menghadapi era tinggal landas, perlu potensi pengendalian diri dalam arus transformasi. Hanya dengan pengendalian diri ini, manusia akan dapat eksis pada kediriannya, karamah dan akram. Akram di sisi Allah dalam al-Qur’an disebut, adalah orang yang paling bertaqwa sesuai dengan statusnya sebagai hamba.

Ini bisa dicapai dengan mengembangkan potensi ruhaniah, iman, aqidah Islamiyah, ketaqwaan yang diformulasikan dalam ajaran syari’ah Islamiyah dan akhlaq karimah. Potensi ini justru menjadi sarana mengatasi kesulitan dan memberikan jalan keluar serta mendapatkan rizqi tak terduga sesuai dengan jaminan Allah yang dituangkan dalam al-Qur’an. Ini berarti bahwa era tinggal landas harus diimbangi dengan peningkatan wawasan keagamaan dan kualitas keberagamnan Islam, yang pada gilirannya akan menumbuhkan keseimbangan antara‘ibadatullah dan ‘imaaratul ardli, antara masjid dan pasar.

Oleh KH MA Sahal Mahfudh

Sumber : NU Online

Tinggalkan Balasan