Akhir-akhir ini semakin ramai dan digandrungi masyarakat yang tersebar di berbagai daerah tentang adanya Majelis Maulid dan Shalawat, dimulai dari Habib Syeh As-Segaf yang terkenal dengan Syekhermania, Majelis Rasulullah, Ahbabul Musthofa, Riyadlul Jannah, Ar-Ridhwan, Syubbanul Muslimin dan banyak lagi yang lainnya.
Dalam metode dakwahnya sangat simpel sekali dengan mengajak masyarakat melantunkan lantunan Shalawat diiringi rebana dengan variasi tabuhan yang menarik. Di sini saya akan menjelaskan mengenai hukum menabuh rebana. Telah banyak Dalil yang menjelaskan kebolehan menabuh Rebana atau Hadroh pada acara pernikahan, khitan, penyambutan, Majelis dll. Karena sebenarnya Rebana itu sendiri sudah ada semenjak zaman Nabi Muhammad s.a.w.
Dikisahkan pernah suatu ketika Rasulullah didatangi seorang wanita bernama Shobihah ‘Arsy dan ia menabuh Rebana di samping Rasulullah s.a.w. lantas Rasulullah s.a.w membiarkannya. Kisah lainnya tentang penyambutan kepada Rasulullah oleh para wanita Bani Najjar saat datang ke Madinah dan mereka menabuh rebana sembari menyanyikan dengan suara keras syair :
نحن جوار من بني نجار * يا حبذا محمد من جار
“Kami adalah wanita dari Bani Najjar, Oh beruntungnya Muhammad sebagai tetangga”.
Nabi s.a.w lantas menjawab : “Allah Maha mengetahui bahwa aku mencintai kalian”.
Hal ini tidak lain merupakan bentuk Ekspresi kebahagiaan dengan bisa melihat Rasulullah s.a.w.
Sayyidi Syeikh Muhammad Ba’atiyah di dalam kitab Goitsu As-Sahabah hal. 68 mengatakan: “Dari Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah dari Qais Bin Sa’ad Bin Ubadah bahwa Nabi s.a.w menabuh rebana dan bernyanyi pada Idul Fitri ini diterangkan dalam Kitab Bahjatul Mahafil, hal ini tak lain karena menunjukkan rasa kegembiraan”.
Sementara pada hal. 69 disebutkan: “Bahwa para Sahabat dari kaum wanita bernadzar jika Nabi kembali dalam kondisi selamat akan menabuh rebana di hadapan Rasulullah sebagai bentuk kegembiraan. Kemudian Rasulullah pun menyuruh agar mereka melaksanakan nadzarnya”. Andai saja rebana itu Makruh (apalagi Haram) maka Nabi tidak akan menyuruhnya walaupun ia bernadzar. (Al-Mufasshal hal. 71, juz 4)
Dalam Hadits lain dijelaskan:
اعلنوا النكاح واضربوا بالدف
“Syarkanlah pernikahan dan tabuhlah dengan rebana”.
Tentu Ulama telah sepakat akan kebolehan menabuh rebana, sebagaimana DR. Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan dalam Fiqh Al-Islami juz 3 hal. 574: “Diperbolehkan menyenandungkan lagu yang mubah dan memukul rebana pada pernikahan berdasarkan Hadits Nabi “Syiarkan pernikahan dan mainkanlah rebana”.
Rebana yang ada di Indonesia sudah sangat sesuai dengan ketentuan Syariat apa lagi jika rebana tersebut digunakan sebagai Media Dakwah dan Pemersatu Ummat melalui Shalawat.
Lantas Apakah kebolehan ini hanya khusus dalam acara pernikahan dan penyambutan saja??
Suatu ketika Abu Yusuf pernah ditanya tentang rebana apakah dimakruhkan pada selain pernikahan beliau menjawab: “Tidak dimakruhkan”. (Fatawa Al-Hindiyah hal. 352).
Selanjutnya dalam kitab Zawajir karya Imam Al-Ghazali juz 2 hal. 291: “Bahwa rebana diperbolehkan pada pernikahan, menyambut Ied (hari raya), menyambut kedatangan, dan setiap kejadian/keadaan yang menggembirakan”.
Ibnu Hajar berpendapat dalam Kitabnya Kaffu Ar-Ru’af hal. 290-291: “Pendapat yang dijadikan pegangan pada Madzhab kita menyatakan halal (penggunaan rebbana) dalam pernikahan dan khitan, akan tetapi afdhol (lebih utama) meninggalkannya pada selain keduanya, sedangkan menurut pendapat yang Ashoh (lebih shahih) dalam Minhaj dihukumi mubah dan jelas-jelas kesunahannya pada setiap perayaan”.
Sementara jika ada yang mempertanyakan dengan mengatakan bahwa rebana hanya dilakukan oleh wanita maka Imam As-Subki menjawab bahwa pendapat yang menyatakan rebana hanya khusus bagi wanita adalah pendapat yang lemah.
Hal ini (kebolehan bermain rebana bagi laki-laki) juga dikuatkanpernyataan dari Kitab Idloh Adh-Dhalalah hal. 44-45: “Menabuh rebana hukumnya itu mubah (boleh) secara mutlak (tanpa syarat dan ketentuan) walaupun dengan alat Jalajil (rebana khas arab) dan itu sudah jelas kehalalannya dari keharamannya dan tidak ada bedanya antara yang menabuh itu laki-laki maupun perempuan”.
Pendapat ini sangat bagus sekali menjawab bagi yang mengatakan kebolehan bermain rebana hanya untuk wanita semata, sebab kita lihat dari segi bentuk jamak kata “اضربوا” kalau memang khusus wanita semestinya memakai “اضربن”. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan Imam Al-Ghazali pada kitab iIhya Ulumuddin.
Berlanjut pada komentar Uူama dalam kitab Idloh Adh-Dhalalah hal. 55 mengatakan hal yang sama bahwa rebana ini hukumnya mubah. Bahkan suatu ketika Syeikh Karim Rojih bertanya pada Syeikh Mulla Romadlon Al-Buthi perihal mengapa kita tidak mengharamkan rebana? lantas beliau menjawab:
“Bagaimana bisa kita mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah s.w.t.”
Habib Ali Al-Habsyi berkata:
ماشي كما مجمع المولد يجل الكروب * ذا وقت توبتك يا عاص إذا باتتوب
“Tiada perkumpulan seperti Majelis Maulid yang bisa menghilangkan kesusahan, maka ini saatnya jika kalian ingin bertaubat duhai para pendosa”.
Sedangkan apa yang kita lihat dari fenomena yang ada di Indonesia, dimana rebana menjadi sarana Dakwah yang sedang menjadi Trending Topic. Jadi pada keseimpulannya cara dakwah ini seperti cara dakwah Wali Songo di saat Gamelan menjadi alat musik yang digandrungi oleh masyarakat pada masa itu, maka beliau memanfaatkannya sebagai sarana dakwah.
Sumber : MoslemForAll