Biografi Imam Nawawi

0
622

Nama Imam Nawawi

Nama asli beliau adalah Yahya, nama kunyah beliau Abu Zakaria, meskipun beliau tak memiliki anak bernama Zakaria, sebab beliau tidak menikah sampai wafat, sedangkan nama julukan yang diberikan kepada beliau adalah “Muhyiddin” (Orang yang menghidupkan agama), meskipun beliau tidak suka dengan julukan tersebut, sebagai sikap kerendahan hati beliau dan karena takut pada Alloh yang telah berfirman dalam Al-Qur’an :

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (Q.S. An-Najm : 32)

istiqomahimamnawawira-4

Atau karena agama Islam itu sudah hidup, tetap dan akan kekal selamanya, dan tidak membutuhkan orang yang “menghidupkannya”, bahkan beliau pernah berkata :

لا أجعل في حل من لقبني محيي الدين

“Aku tidak menghalalkan orang untuk memberikan julukan/gelar “muhyiddin” bagiku”

Nasab Imam Nawawi

Nasab Imam Nawawi adalah Abu Zakariya, Yahya bin Syarof bin Murri (Menurut Syekh Az-Zubaid “Miro”, sedankan menurut Syekh Ibrohim bin Mar’iy, “Muri”. Namun mayoritas ulama’ membacanya “Murriy”) bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jumu’ah bin Hizam Al-Hizami An-Nawawi. Ayah Imam Nawawi, yaitu Ibrohim bin Mur’iy adalah seorang pedagang yang memiliki sebuah toko, dikenal sebagai orang yang wira’i, zuhud dan masyhur akan kesalihannya.

Kelahiran Imam Nawawi

Imam Nawawi dilahirkan pada pertengahan (sebagian riwayat menyatakan pada sepuluh hari pertama) bulan Muharrom, tahun 631 Hijriah di desa Nawa, karena itulah beliau lebih didikenal dengan nama Imam Nawawi. Nawa adalah sebuah desa (kini menjadi kota) yang termasuk bagian dari provinsi Dar’a, jarak antara Nawa dan Dar’a akur 40 KM, Nawa terletak 85 KM disebelah selatan kota Damaskus, Syiria.

Perkembangan Imam Nawawi

Imam Nawawi dibesarkan dibawah asuhan dan bimbingan ayah beliau, ayah beliau adalah orang yang lebih senang tertutup dari hal-hal duniawi dan barokah rizkinya. Dibawah asuhan ayahnya beliau dididik untuk menjadi orang yang baik dan tertutup dari hal-hal yang bersifat duniawi. Imam Nawawi membaca Al-Qur’an ditoko, sambil membantu ayahnya.

Seakan-akan beliau adalah orang yang sudah dipersiapkan oleh Alloh subhanahu wata’ala untuk mengemban tugas dan pewaris ilmu, wira’i dan kebajikan para Nabi, sampai seorang pembesar ulama’ sholihin pernah mengatakan : “Semenjak dilahirkan, beliau sudah ditulis (ditakdirkan) termasuk dari golongan shodiqin (orang-orang yang lurus/benar/jujur).

Hal itu mulai nampak ketika usia 7 tahun, saat beliau tidur bersama orang tuanya pada malam ke-27 bulan Romadhon, tengah malam beliau terbangun dan membangunkan ayahnya, lalu berkata pada ayahnya; “Wahai ayahku, cahaya apa yang memenuhi rumah ini”, kemudian semua anggota keluarga Imam Nawawi pun bangun namun tak ada yang melihat cahaya itu, namun dari kisah Imam Nawawi tersebut ayahnya mengetahui bahwa malam itu adalah malam lailatul qodar.

Saat usia beliau 10 tahun, Syekh Yasin bin yusuf Al-Marokisyi, seorang ulama’ yang masyhur akan kewaliannya lewat di desa Nawa dan melihat Imam Nawawi yang sedang bermain dengan teman-temannya, tapi teman-temannya lari meninggalkan beliau dan akhirnya menangis karena teman-temannya enggan bermain dengannya, dan dalam keadaan seperti itu Imam Nawawi lalu membaca Al-Qur’an.

Melihat kejadian itu timbul rasa cinta Syekh Yasin pada beliau, dan beliau mendapat firasat baik tentang masa depan Imam Nawawi, kemudian Syekh Yasin mendatangi guru yang mengajarkan Al-Qur’an pada Imam Nawawi,

Syekh Yasin berkata pada guru tersebut;

“Anak ini (Imam Nawawi) diharapkan akan menjadi orang yang paling ‘alim dan paling zuhud dimasanya dan akan bermanfaat bagi banyak orang”,

Mendengar ucapan itu, guru tersebut bertanya; “Apa anda seorang permal?”

Syekh Yasin menjawab; “Tidak, tapi Alloh yang membuatku berkata seperti itu”.

Perkataan Syekh Yasin itu lalu disampaikan kepada orang tua imam Nawawi, kemudian orang tuanya mendorog Imam Nawawi untuk menghatamkan Al-Qur’an dan akhirnya bisa hatam sebelum beliau mencapai usia baligh. Sebagian riwayat menyatakan bahwa Syekh yasin sendiri yang mendatangi ayah Imam Nawawi untuk memberitahukan firasatnya tersebut dan mendorong agar Imam Nawawi menghafalkan al-qur’an dan menuntut ilmu.

Menuntut ilmu ke Damaskus

Ketika beliau berumur 19 tahun ayah beliau mengajaknya ke Damaskus untuk melanjutkan studinya. Damaskus merupakan kota yang dipenuhi dengan para Ulama’ yang ahli dalam berbagai bidang, bukan hanya ilmu-ilmu agama dan bahasa arab saja. Karena itulah Damaskus menjadi salah satu tujuan utama para penuntut ilmu dari seluruh penjuru negara Islam kala itu. Hal tersebut bisa dilihat dari kitab Tarikh Damaskus, karya Al-Hafidh Ibnu Asakir, kitab sejarah terbesar mengenai satu kota saja, bayangkan saja sejarah satu kota ditulis dalam 80 jilid kitab yang berisi tentang biografi para ulama’, budayawan, penyair dan penguasa kota Damaskus. Ini menunjukkan betapa kota Damaskus merupakan salah satu pusat studi dalam dunia Islam.

Hal pertama yang beliau kerjakan adalah mencari seorang guru untuk belajar, karena itu tempat pertama yang beliau tuju adalah masjid Jami’ Umawiyah sebagaimana yang sudah menjadi tradisi tempat pertama dituju orang asing adalah masjidnya. Disitu beliau bertemu dengan khotib masjid tersebut, Syekh Abdul Kafi Ar-Roba’i Ad-Damasyqi, setelah mengutarakan maksud kedatangannya ke Damaskus dan keinginannya yang kuat untuk menuntut ilmu Syekh Abdul Kafi menunjukkannya halaqoh mufti Syam, Tajuddin Abdurrohman bin Ibrohim bin Dhiya’ Al-Fazari yang dikenal dengan Syekh Al-Farkah. Kemudian beliau beliau belajar pada Syekh Al-Farkah, jadi Syekh Al-Farkah adalah guru pertama beliau.

Selama belajar pada Syekh Al-Farkah Imam Nawawi tidak memiliki tempat tinggal sebagaimana pelajar-pelajar lain yang tinggal di madrasah-madrasah yang sangat banyak jumlahnya di Damaskus. Karena itu beliau menanyakan pada Syekh Al-farkah mengenai tempat tinggal baginya, namun Syekh Farkah hanya mengetahui madrasah As-Shorimiyyah hanya saja madrasah itu tidak memiliki asrama tempat tinggal para pelajarnya, kemudian Syekh Farkah menunjukkan beliau pada Syekh Al-Kamal Ishaq Al-Maghrobi di madrasah Ar-Rowahiyah, akhirnya disitulah beliau tinggal dengan menempati satu rumah kecil.

Ketekunan beliau dalam belajar

Beliau adalah pelajar yang tekun dan bersungguh-sungguh dalam belajar, siang malam digunakan untuk belajar dan tidak tidur kecuali bila mengantuk berat, beliau mengatur pembagian waktunya dengan rapi, antara belajar pada guru-gurunya, menulis, dan mempelajari pelajaran, bahkan saat dalam perjalanan pun beliau mempergunakannya untuk belajar dan menghafal. Makanan yang dimakan juga ala kadarnya, bahkan sehari-hari beliau hanya makan roti yang dibagikan untuk para pelajar.

Pada tahun pertama belajar di Damaskus beliau menghafalkan kitab At-Tanbih, kitab fiqih madzhab Syafi’i karya Imam Abu Ishaq Asy-Syairozi dalam waktu 4 setengah bulan, beliau menyetorkan hafalan kitab Tanbih ini pada Qodhil Qudhot Taqiyyuddin Abu Abdillah Muhammad Bin Al-Husain bin Rozin As-Syafi’i yang biasa disebut Syekh Ibnu Rozin. Lalu beliau menghabiskan tahun pertama dengan menghafalkan seperempat awal kitab Al-Muhadzdzab yang juga karya Imam Syairozi.

Selain itu setiap harinya beliau memiliki jadwal pelajaran tetap berikut ini ;
1. Dua pelajaran kitab Al-Wasith karya Imam Ghozali,
2. Pelajaran kitab Al-Muhadzdzab,
3. Pelajaran kitab Al-Jam’u Bainas Shohihain karya Imam Humaidi,
4. Pelajaran kitab Shohih Muslim,
5. Pelajaran kitab Al-Luma’ (ilmu nahwu) karya Syekh Abul Fath Ibnul Jani Al-Maushili,
6. Pelajaran kitab Ishlahul Mantiq,
7. Pelajaran dalam ilmu tashrif,
8. Pelajaran ushul fiqih,
9.Pelajaran mengenai perowi-perowi hadits (Asma’ur Rijal),
10.pelajaran ilmu ushuluddin (ilmu tauhid).

Kiat beliau dalam belajar kitab pada guru-gurunya adalah memberikan catatan pada keterangan yang masih belum dipahami atau masih merasa janggal selain itu pelajarannya ditulis dengan jelas dan kata-kata dari kitab yang dipelajari diteliti bahasanya dengan detail.

Guru-guru Imam Nawawi

Seorang ulama’ akan diakui apabila diketahui guru-gurunya, karena sebagaimana seorang anab yang dinasabkan kepada orang tuanya, ilmu seseorang bernasab kepada guru-gurunya, Imam Nawawi sendiri dalam kitab Tahdzibul Asma’ Wal-Lughot menyatakan pentingnya mengetahui guru seseorang karena guru adalah ayah dalam agama dan guru merupakan perantara bagi seseorang untuk tersambung dengan tuhannya.

Sebagaiman telah dituturkan sebelumnya guru pertama beliau adalah Mufti Syam, Syekh Ibnul Farkah, namun beliau hanya sebentar belajar pada Syekh Al-Farkah karena beliau pindah ke Madrasah Ar-Rowahiyah, disitu beliau belajar pada Syekh Al-kamal ishaq Al-Maghrobi, dan pada Syekh Al-Kamal beliau banyak mengambil pelajaran hingga Syekh Al-Kamal kagum pada ketekunan beliau dalam belajar dan tak menggunakan waktunya untuk bergaul dengan orang, karena itulah Syekh Al-kamal sangat menyayangi beliau dan menjadikan beliau sebagai rujukan bagi para pelajar lain dalam halaqohnya.

Berikut ini guru-guru beliau secara rinci dalam berbagai fan ilmu :

1.Dalam fan ilmu-ilmu hadits (ulumul hadits) beliau belajar kitab Ulumul hadits karya Ibnus Sholah kepada murid-murid Ibnus Sholah. Selain itu beliau belajar kitab Asma’ur Rijal karya Al-Hafidh Abdul Ghoni Al-Maqdisi kepada Syekh Abul Baqo’, Kholid Bin Yusuf An-Nabulsi Al-Kamal.

2.Dalam fan Hadits beliau belajar kitab Shohih Muslim, sebagian besar kitab Shohih Bukhori dan sbagian kitab Al-Jam’u Bainas Shohihain karya Imam Al-Humaidi kepada Syekh Abu Ishaq, Ibrohim Bin Isa Al-Murodi.

Selain itu beliau juga belajar pada Syekh Abul Faroj, Abdurrohman Bin Abu Umar Al-Maqdisiy, Syekh Ismail Bin Abil Yusr, Abul Abbas Bin Abdud Da’im, Syekh Kholid An-Nabulsi, Syekh Abdul Aziz bin Ahmad Bin Abdul Muhsin Al-anshori, Syekh Adh-Dhiya’ Bin Tamam Al-hanafi, Al-hafidh Abul Fadhl Al-Bakri, Syekh Abul Fadhl Abdul Karim Bin Abdus Shomad, Khotib kota Damaskus, Syekh Abdurrohman Bin Salim Al-Anbariy, Syekh Abu Zakariya, Yahya Bin Abul Fath As-Shoirofiy, Syekh Ibrohim Bin Ali Al-Wasithi dan beberapa guru lainnya.

Diantara kitab-kitab hadits yang pernah beliau dengar pembacaannya pada guru-guru beliau adalah kutubus sittah (6 kitab hadits induk), Al-Muwaththo’ karya Imam Malik, kitab-kitab musnad; karya Imam Syafi’, Imam Ahmad, Imam Ad-Darimi, imam Abu ‘Awanah dan Imam Abu Ya’la, Sunan Ad-Daruquthni, Sunan Al-Baihaqi dan Syarhus Sunnah karya Imam Al-Baghowi.

3.Dalam fan ilmu ushul fiqih beliau belajar kepada beberapa Al-Qodhi Abul Fath, Umar Bin Bundar At-Taflisi Asy-Syafi’i kitab Al-Muntakhob (Muntakhobul Mahshul Fil Ushul) karya Imam Fakhruddin Ar-Rozi kepada dan sebagian kitab Al-Mustashfa (Al-Mustashfa Min Ilmil Ushul) karya Imam Ghozali.

4.Dalam fan ilmu fiqih beliau belajar Mufti Damaskus, Syekh Ishaq Al-Maghrobi, beliau sangat ta’dhim (hormat) pada Syekh ishaq Al-maghrobi dan beliau biasa mengisi sampai penuh wadah air yang biasa digunakan bersuci oleh Syekh Ishaq.

Guru beliau yang lain adalah Syekh Al-Kamal Abul Hasan Sallar Bin Al-Hasan Al-Irbili Asy-Syafi’i, Syekh Sallar AlIrbili adalah seorang ahli fiqih madzhab Syafi’i yang belajar fiqih pada Imam ibnus Sholah.

Beliau juga belajar pada Syekh Syamsuddin Abdurrohman Bin Nuh Al-maqdisi Asy-Syafi’i, salah seorang guru yang mengajar di Madrasah Ar-rowahiyah, Damaskus. Syekh Abdurrohman Bin Nuh juga merupakan murid dari Imam Ibnus Sholah.

Selain itu beliau juga belajar pada Syekh Abu Hafsh Umar Bin As’ad Bin Abu Gholib Ar-Rob’i Al-Irbili.

5.Dalam fan ilmu bahasa arab, beliau belajar kepada Syekh Fakhruddin Al-Maliki kitab Al-Luma’ karya Syekh Ibnu Janniy, Abul Fath Utsman Bin Janniy An-Nahwiy. Selain itu beliau belajar kepada Abul Abbas, Ahmad Bin Salim Al-Mishri An-Nahwiy kitab Ishlahul Manthiq karya Syekh Ibnus Sikkit, Ya’qub Bin Ishaq, Abu Yusuf Bin As-Sikkit, satu kitab dalam fan tashrif dan satu kitab dalam fan fiqih.

6.Selain belajar fan-fan ilmu diatas beliau juga belajar kitab-kitab karya Imam Jamaluddin Bin Malik pada penulisnya langsung. Beliau juga belajar kitabTafsir Baghowi, Al-Ansab karya Imam Az-Zubairi, Al-Khotbun Nabatiyah karya Abu Ishaq Abdurrohman Al-Faroqi, Risalatul Qusyairiyah, ‘Amalul Yaum Wallailah karya Ibnus Sunni, Adabus Sami’ War Rowi karya Imam Khothib dan kitab-kitab lainnya.

Sumber : Santri.net

Tinggalkan Balasan