Sabtu (08/02), bakda isyak, Ma’had Aly Situbondo kembali menggelar pelatihan kepenulisan. Adalah Ustaz Abd. Wahid (UAW), penulis buku “Selamat Datang Gundah! Anotasi Kasidah Munfarijah” sekaligus dosen pengampu materi logika dan balaghah di kampus tersebut, yang menjadi narasumbernya. Ia tak hanya berbagi teori, namun juga pengalaman serta teknik dasar kepenulisan.
Syarat mutlak untuk menjadi penulis adalah gemar membaca. Kalimat klise namun tak terbantahkan ini berulangkali disampaikan narasumber. “Sia-sia,” katanya, “bermimpi menjadi penulis hebat kalau tak suka membaca.” Agar lebih efektif, ia pun menyarankan, agar kita terbiasa memberi anotasi pada buku yang dibaca. “Anda bisa lihat buku-buku saya waktu kuliah pasti banyak coretannya.”, demikian tuturnya.
Tak cuma berbicara teori, ustaz yang menaruh minat lebih pada kajian logika dan filsafat ini juga berbagi hal-hal yang sifatnya teknis. Secara interaktif ia melibatkan para peserta untuk mengusulkan dan menentukan tema, kemudian mengelaborasi bersama-sama untuk menemukan sudut pandang (angle). Dari sudut pandang inilah bisa dirinci lebih detail dalam bentuk outline atau draft kasar dalam istilah sang narasumber. “Jangan pikirkan istilahnya, nanti akan ketemu sendiri.”, tips dari narasumber ini seolah hendak menjawab pertanyaan yang sering berkelebat di masing-masing benak penulis pemula.
Outline menjadi acuan sekaligus membantu seorang penulis untuk “setia pada ide” yang telah dipilih. ‘Kesetian’ ini penting agar tulisan efektif, tidak melebar dan tentunya tidak membuang-buang waktu pembaca. Narasumber memberi contoh, betapa Dewi Lestari menerapkan ‘prinsip kesetian’ secara ketat dalam menulis salah satu bukunya yang berbicara tentang roti.
Banyak faktor yang menyebabkan penulis tidak konsekuen pada tema. Namun yang dominan dan banyak terjadi utamanya di kalangan mahasiswa adalah perpaduan antara kekurangan bahan dan tuntutan kuantitas (jumlah halaman) dari dosen. Narasumber mengafirmasi, terdapat semacam salah kaprah bahwa kualitas tulisan berbanding lurus dengan jumlah atau kuantitas halaman. Padahal tidak demikian.
Untuk meluruskan hal ini, ia pun berbagi pengalamannya mengikuti kursus bahasa Perancis yang mana salah kompetensinya adalah juga kecakapan menulis. Dalam mengerjakan tugas menulis saat kursus, ia justru dituntut untuk menulis secara padat namun tetap berisi. Dan itu cukup sulit, menurutnya.
Hal lain yang juga tak kalah penting adalah menulis dengan hati. Jangan keburu menilai tulisan sebelum benar-benar selesai. Sebab, seperti yang disampaikan narasumber, “Biasanya penulis pemula berhenti menuliskan bahkan di paragraf pertama karena dirinya merasa jijik tulisannya sendiri.” Setelah tulisan selesai dan masuk dalam tahap penyuntingan, barulah otak dikerahkan. Di samping itu, menulis dengan hati juga akan membuat tulisan terasa mengalir dan alami.
Barangkali seorang penulis pemula kesulitan untuk menilai tulisannya. Karenanya, penting “mengambil jarak”, dengan melibatkan orang lain untuk turut membaca, memberi kritik dan saran yang sangat dibutuhkan penulis dalam tahap penyuntingan. Karenanya pula, seorang penulis harus siap dan berani dikritik.
Kegiatan yang bertempat di perpustakaan Ma’had Aly dikemas dengan sederhana. Kendati demikian, para peserta yang notabene adalah mahasantri semester 2 Marhalah Ula tetap semangat nan antusias. Barangkali juga berkat kepiawaian narasumber dalam membangun suasana yang riang, penuh canda tawa, lagi akrab, namun tetap dalam rangka beroleh pengetahuan. Ia menutup sesi penyampaian materi dengan membacakan sajak anggitannya sendiri berjudul “Pesta Kampung”. (mahadaly-situbondo)