Kepemimpinan merupakan salah satu topik yang selalu menarik untuk dikaji dan diteliti, karena paling banyak diamati sekaligus fenomena yang paling sedikit dipahami. Fenomena kepemimpinan di negara Indonesia juga telah membuktikan bagaimana kepemimpinan telah berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan berpolitik dan bernegara. Dalam dunia bisnis, kepemimpinan berpengaruh sangat kuat terhadap jalannya organisasi dan kelangsungan hidupnya.
Adanya pengaruh yang cukup besar ini mengindikasikan bahwa sosok pemimpin memiliki basis masa yang sangat ban yak. Salah satu contoh, adalah kiai sebagai tokoh agama yang banyak memberikan konstribusi dalam mengembangkan dan membangun masyarakat. Dalam kehidupan social, kiai menjadi figure utama yang begitu disegani dan dijadikan sebagai tokoh sentral. Begitu juga dalam kehidupan politik di negeri ini, Kiai dan tokoh pesantren sering kali menjadi lahan sasaran para politisi dalam membangun basis dukungan politik pada setiap Pemilihan Umum.
Di tengah konstelasi politik nasional saat ini. Kiai merupakan power yang berpengaruh atas kemenangan partai yang ikut berkompetisi di setiap pemilu khususnya di Indonesia. Sosok kiai menjadi incaran para politisi untuk dimintai restunya, atau bahkan melibatkannya dalam kepengurusan partai. Tim sukses yang telah dibentuk para leader partai sekarang ini menunjukkan bahwa peran para kiai yang signifikan akan dapat meraup suara. Dalam menentukan capres-cawapres atau caleg-cawaleg sekalipun, tidak akan terlepas dari keikut-sertaan para kiai yang punya basis massa yang riil.
Dalam kondisi seperti ini kita bisa menelaah, bahwa sosok kiai yang awalnya hanya dalam lingkup pesantren desa yang mentransformasikan nilai-nilai agama pada masyarakat lokal, ternyata telah ditempatkan pada posisi yang lebih strategis. Karena para kiai dianggap dapat mengubah mind-set masyarakat yang lebih luas dalam berbagai bidang, termasuk politik di Indonesia. Memang terbukti bahwa Kiai dalam tradisi pesantren mampu membangun sistem kekerabatan yang berlangsung cukup efektif, sehingga tradisi itu dapat berkembang menjadi sistem sosial yang berpengaruh dalam masyarakat luas. Selama ini masyarakat memposisikan Kiai sebagai sosok teladan, sumber hukum, serta pendorong perkembangan ekonomi dan politik. Dengan demikian, semua tindakan untuk kepentingan umum hampir pasti minta restu dan izin dari Kiai.
Kepemimpinan Kiai; Sosok Kharismatik yang Tergerus
Kepemimpinan yang didefinisikan sebagai sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran (Gary Yukl : 1994), memiliki peran yang cukup strategis dalam membina, membangun dan memajukan organisasi yang dipimpinnya.
Sebenarnya di dunia ini kepemimpinan yang ideal hanya ada pada kepemimmpinan Nabi Muhammad SAW., yang mana di samping beliau sebagai seorang utusan Allah, beliau juga sebagai seorang pemimpin yang sangat disegani, senangi dan dihormati oleh kawan maupun lawan. Sosok pemimpin Islam (agamawan) yang berupaya untuk melanjutkan dan melestarikan ajaran Nabi yang sering kita kenal adalah Kiai atau pimpinan tokoh agama yang sangat berpengaruh pada masyarakatnya.
Istilah Kiai dalam tataran masyarakat Indonesia tidak hanya bermakna ahli dalam agama tetapi jika ditinjau dari makna antropologis bahwa kiai adalah orang yang mampu dalam segala tataran masalah kehidupan sekaligus juga sebagai kontrol sosial, dari ahli agama sampai ahli cocok tanam. Kiai bagi masyarakat adalah orang pilih tanding. Kiai adalah sosok yang penuh dengan aura kharismatik tinggi serta menempati posisi tinggi (high class) dalam strata sosial utamanya bagi umat Islam. Sehingga tidak heran jika segala yang di ucapkan, diyakini oleh masyarakatnya (sami’na waatho’na).
Hiroko Horikoshi (1987) memberi kesimpulan, bahwa kiai merupakan perantara (intermefary forces), sekaligus sebagai agen yang mampu menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat. Fungsi mediator ini dapat juga diperankan untuk membentengi titik-titik rawan dalam jalinan yang menghubungkan sistem lokal dengan keseluruhan sistem yang lebih luas, dan sering betindak sebagai penyanggga atau penengah antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan, menjaga terpeliharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang diperlukan.
Dalam wacana politik di Indonesia, peran kiai sangat strategis tetapi juga dilematis. Sebagai elit politik, sesuai dengan paham Sunni, kiai wajib mentaati pemerintah. Sebagai elit agama, kiai mempunyai kewajiban untuk menegakkan nilai-nilai agama dengan cara amar makruf nahi munkar. Pada saat yang sama, kiai sebagai interpretator ajaran agama yang pandangan dan pemikirannya menjadi referensi.
Sebagai elit sosial, kiai menjadi panutan dan sekaligus pelindung masyarakat dari tindakan kesewenang-wenangan pemerintah. Multi peran seperti inilah yang seringkali menjadikan kiai bersikap serba salah dan dilematis. Peran dan tanggung jawab kiai terhadap agama, negara dan masyarakat secara bersamaan, tidak jarang menimbulkan benturan kepentingan yang menjadikan pada posisi sulit.
Pada saat hubungan pemerintah dengan rakyat tidak harmonis, di mana dominasi negara sangat kuat, kiai yang tidak membela dan memperjuangkan kepentingan masyarakat akan dijauhi oleh masyarakat dan santrinya. Hal ini berarti kiai akan kehilangan sumber otoritas, kewibawaan dan legitimasi sebagai kiai, yang apabila tidak di manage dengan baik, kiai akan kehilangan posisi daya tawarnya, tidak hanya di hadapan pemerintah, tetapi di hadapan masyarakat.
Kiai : Politik atau Pesantren
Indonesia merupakan sebuah negara dengan penduduknya yang multikultural dan plural, yang terdiri dari bermacam-macam suku, agama, ras dan antar golongan. Berdasar atas pluralitas keislaman di Indonesia, maka dapat menjadikan setiap kelompok keagamaan dalam Islam dapat dimanfaatkan sebagai basis pendukung setiap kepentingan politik.
Hal ini ditandai dengan pesatnya pertumbuhan partai-partai politik Islam secara kuantitatif untuk memperebutkan pengaruh pada lahan politik yang sama. Keterwakilan umat Islam bukan lagi dalam kapasitas perbedaan platform ideologis atau bermakna pembelaan kepentingan umat Islam. Dalam konteks ini, pragmatisme politik praktis bahkan cenderung menjadi lebih menonjol dibanding usaha pembelaan kepentingan komunitas dan agama.
Di kalangan NU, di mana kiai dan tokoh pesantren menjadi pilar kultural utamanya, muncul beberapa partai politik yang masing-masing mengklaim sebagai representasi politik komunitas ini. Masing-masing juga berupaya menempatkan beberapa kiai dan tokoh pesantren sebagai motor penggerak ataupun sekedar legitimasi.
Dalam perspektif teori politik, tindakan para kiai tersebut merupakan counters-hegemoni. Yaitu upaya untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan yang cenderung melakukan penguasaan terhadap seluruh dimensi kehidupan politik dan pemerintahan. Akibatnya, sejak periode Pemilu pasca Orde Baru sampai saat ini, afiliasi politik para kiai dan tokoh pesantren terpecah ke dalam beberapa partai yang mengatasnamakan golongan nahdliyin. Perpecahan internal yang muncul kemudian juga senantiasa dilegitimasi dengan dukungan dan restu sekelompok kiai tertentu.
Kecenderungan tersebut tampaknya juga terjadi pada arena politik lokal, daerah. Dalam kasus-kasus pemilihan kepala daerah, kiai dan tokoh pesantren banyak terlibat dalam upaya membangun dukungan politik bagi calon-calon tertentu. Para calon kepala daerah sendiri, bupati ataupun gubernur, juga tak henti berupaya melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukan para politisi partai.
Terbelahnya dukungan politik kiai tak terhindarkan lagi dalam meloloskan calon tertentu dalam proses pilkada. Dalam hal ini kedekatan atau keberhasilan masing-masing calon meraih dukungan kiai atau tokoh-tokoh pesantren tertentu menjadi penentu afiliasi dukungan, yang mengakibatkan dukungan politik kiai terbelah kepada beberapa calon berbeda. Dalam beberapa kasus hal ini bahkan diwarnai ketegangan politik antara tokoh-tokoh partai berbasis NU dengan mereka yang berada pada jajaran pengurus Ormas.
Setelah diamati dan diperiksa sepak terjang kiai pesantren dalam kancah politik praktis ternyata membawa perubahan pada penilaian masyarakat terhadap kiai pesantren. Kiai yang dulunya sangat disegani oleh masyarakat, bisa tidak lagi disegani, karena terjung ke dalam politik praktis. Alasan yang biasa disampaikan oleh masyarakat adalah karena perilaku kiai sudah berubah; tidak lagi menjadi panutan akibat sudah melakukan perbuatan yang tidak patut. Meskipun kasusnya tidak banyak, tetapi figur kiai menjadi turun. Jika dulu kiai menjadi tuntunan, bisa menjadi tontonan.
Situasi demikian memperumit kewibawaan kiai pesantren. Tak heran jika sekarang kita menyaksikan bahwa figur kiai pesantren sudah mulai luntur digantikan figur lain. Kewibawaan seorang kiai pesantren tidak lagi seperti dulu. Perintah kiai kepada santrinya tidak lagi otomatis dipatuhi sehingga kiai tidak otomatis lagi menjadi vote getters (mesin penduang suara) yang efektif. Jika dulu kiai pesantren bisa menjadi mesin politik yang efektif, maka sekarang mesin politik sudah digantikan oleh media televisi melalui iklan politik. Popularitas partai politik dan kandidat kini sudah tergantung pada media.
Sudah saatnya Kiai kembali pada medan dakwah aslinya di lingkungan sendiri. Karena ternyata dakwah kiai di tengah dunia politik yang penuh kecurangan, tipu muslihat, malah menjerumuskan Kiai ke lubang kehancuran dan kehinaan. Dan bila kita melihat, keterlibatan Kiai di panggung politik, ternyata juga tak memberikan sumbangan berarti dalam menciptakan perilaku politik yang berakhlak. Nilai-nilai spiritualitas seperti keadilan, persamaan, dan amanah gagal ditransformasikan dalam kehidupan politik, bahkan tidak bisa dipungkiri, dalil agama yang dimiliki kiai digunakan untuk melegitimasi peran politiknya yang kadang-kadang keluar dari nilai-nilai keislaman itu sendiri. Sehingga bisa dikatakan ada semacam distorsi terhadap dalil agama dalam melanggengkan kekuasaan.
Gagasan agar kiai kembali ke medannya sekarang ini menemukan momentumnya di tengah tuntutan penguatan masyarakat sipil. Bidang garapan kiai dalam memberdayakan civil society sesungguhnya banyak sekali, melebihi bidang garapan dunia politik praktis. Sebagai kekuatan masyarakat, ke depan kiai harus memposisikan dirinya sebagai oposisi ekstra parlementer bagi eksekutif, legislatif, dan yudikatif menuju pemerintahan yang bersih dan menjadi Baldatun Toyyibatun Warobbun Ghofur. (img: imgres?start)
Oleh: Hasan Baharun, mahasiswa S-3 UIN Malang