Mengajar adalah tugas dosen. Kewajiban mengajar seorang dosen tidaklah mudah, terlebih jika jam mengajarnya banyak. Dosen mengajar 16 SKS artinya tidak hanya mengajar selama 16 SKS. Di dalam 16 SKS terdapat penugasan, mid dan ujian. Di dalamnya juga terkandung persiapan dan evaluasi yang harus dipersiapkan.
Insya Allah semua dosen (guru) pasti bisa mengajar. Tetapi belum tentu bisa mendidik. Hal itulah yang saya ingin belajar melakukannya. Bukan mencari sensasi atau kesombongan.
Saya memiliki keyakinan bahwa jika hati sudah baik, maka otak juga akan pintar. Mengajar cenderung pada mentransfer ilmu ke otak, sedangkan mendidik cenderung pada mentransfer value ke hati.
Latar belakang tersebut di atas, menjadikan bahwa guru selain memiliki kewajiban mengajar, tetapi juga mendidik. Memang bukan hal mudah melakukannya. Namun, jika kita mencoba untuk melaksanakannya pasti Allah memberikan kemudahan.
10 Mahasiwa
Kamis 28 Maret 2013, saya mengajar aplikasi komputer koperasi, S1 pada jam 13.00, ada mahasiswa yang tidak masuk sejumlah 11 mahasiswa, dari total 60 mahasiswa. Hal ini terjadi pada pertemuan keempat.
Saya menanyakan kepada mereka bahwa ketidakhadiran mereka karena persiapan pulang kampung. Bagi saya perkara itu hal yang mudah, jika menginginkan pulang kampung, maka perkuliahan ini dapat berjalan dengan penugasan sehingga satu kelas dapat pulang kampung.
Pada pertemuan berikutnya, saya memberikan pengertian kepada mereka mengenai hal tersebut. Mereka memahami akan pesan saya. Kerena mereka sudah memahaminya, saya mengajak mereka untuk melibatkan kehadiran Tuhan dengan menyebutkan namaNya. Bagi yang beragama Islam dengan mengatakan Bismillahirrohmanirrohim, dan bagi pemeluk agama selain Islam menyebutkan tuhanNya masing-masing. Hal ini dimaksudkan agar adanya perubahan dalam sikap kita, sehingga Tuhan mengetahuinya.
Pertemuan demi pertemuan kuliah dapat berjalan lancar. Jika mereka ijin cukup SMS kepada saya. Ada perkembangan yang signifikan yaitu adanya komunikasi yang intim antara saya dengan mereka. Bagi saya, ketika mereka SMS tentang ketidakhadirannya adalah suatu penghormatan. Saya pun meresponnya dengan membalas SMSnya, ketika dia ijin sakit, maka saya meresponnya dengan semoga lekas sembuh. Ketika dia ijin ada keperluan keluarga, maka saya meresponnya semoga lancar acaranya.
Terjadi Lagi
Sesuatu yang tidak saya duga terjadi pada pertemuan ke-12. Mereka tidak hadir sejumlah 15 mahasiswa. Pada pertemuan itu pula, saya menugaskan pada Mulia (nama mahasiswa) untuk mendata beberapa perkuliahan mata kuliah lain yang satu rombel (kelas). Pada perkuliahan mata kuliah yang lain ditemukan bahwa ketidakhadiran mereka lebih dari 10 mahasiswa. Temuan ini ternyata tidak hanya satu mata kuliah, tetapi beberapa mata kuliah yang mereka melakukan, termasuk di Aplikom Koperasi. Artinya trend rombel mereka, ketika tidak masuk adalah jama’ah alpa.
Kejadian ini bagi saya, sesuatu yang baru selama mengajar. Selama menjadi guru selama 2 tahun dan dosen selama 4 tahun, moment ini baru terjadi pada diri saya.
Memang secara aturan mahasiswa diberi kesempatan untuk tidak hadir 25% dari total perkuliahan (16 pertemuan). Namun, apakah mereka pernah berpikir bahwa perkuliahan dapat berakhir pada 14 pertemuan? Artinya jika melakukan kebiasaan seperti itu, maka 25% mengandung makna bahwa alpa mereka hanya 2 kali saja (aman). Jika mereka ijin, maka mereka artinya ada (hadir), maka kuliah menjadi mubadir selama 1 semester karena melebihi batas kuota alpha. Padahal, cara ini dapat diminimalisir dengan penugasan atau ijin.
Punishman
Saya mengecek presensi tiap mahasiswa. Saya menginginkan hukuman bagi mereka. Karena bagi mahasiswa yang tidak hadir, menurut saya melanggar komitmen yang telah diucapkan. Bukannya saya tidak menerima keputusan mereka yang tidak masuk. Tetapi, nama Allah yang disebutkan pada pertemuan dulu menjadi hilang.
Hukuman tersebut adalah berupa pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan nama Tuhan yang telah dilibatkan dalam hidup mereka dan alasannya tidak masuk kuliah. Ada 2 segi kategori yaitu pelanggaran berat dan ringan. Pelanggaran berat adalah mereka yang pada pertemuan ke-4 dan ke-12 tidak hadir. Artinya mereka telah mengulangi perbuatan yang dulu, terlebih mereka sudah berkomitmen untuk menjadi lebih baik dengan melibatkan nama Allah. Pelanggaran ringan adalah mereka pada pertemuan ke-12 tidak hadir. Artinya mereka melanggar komitmen dulu. Dikatakan ringan karena mereka baru pertama melakukannya.
Saya mengumpulkan mereka setelah perkulihan berakhir, kemudian saya bertanya kepadanya silakan direnungkan, mengapa Saudara saya kumpulkan? Saya memberikan kesempatan kepada mereka untuk merenungnya. Dengan kompak mereka menjawab “tidak masuk, Pak kemarin. Lalu saya meresponnya Oke benar”. Setelah itu saya menjelaskan kepada mereka mengapa mereka saya menghukumnya sebagaimana pada penjelasan di atas.
Dari beberapa mahasiswa ternyata ada mahasiswa yang waktu pertemuan (mengatakan komitmen) tidak masuk, maka saya tidak memberikan dia hukuman karena dia tidak mengatakan komitmen. Ada juga mahasiswa yang pada waktu itu ijin dan sakit, maka saya tidak memberikan hukuman kepadanya.
Cuek pada Allah
Dari beberapa pertanyaan tersebut, ada yang menarik perhatian saya yaitu mereka mengatakan bahwa Tuhannya adalah Allah. Tetapi perilakunya belum menunjukkan bahwa Tuhannya adalah Dia. Seperti pada pertanyaan “Yakinkah Saudara, ucapan Saudara yang dulu, Tuhan Saudara mendengar? Mereka menjawabnya : Yakin, karena Tuhan Maha Mendengar”.
Jawaban mereka menunjukkan bahwa, baru mengenal Dzat Allah yang Maha Mendengar. Secara singkat jawaban tersebut benar, maka pertanyaan selanjutnya adalah jika Tuhan Maha Mendengar, mengapa mereka mengingkari komitmennya? Berarti ucapan tersebut omong kosong, tanpa adanya bukti.
Ada satu mahasiswa yang membuat saya simpati kepadanya karena dhi’ful iman atau lemah iman. Pada pertanyaan Menurut Saudara, apakah Tuhan Saudara marah? Mengapa? Dia menjawabnya Saya tidak tahu, karena saya tidak berpikiran buruk pada Tuhan.
Jawaban tersebut, saya baca berkali-kali mengenai maknanya, terutama pada jawaban saya tidak tahu. Saya mengartikannya, bahwa dia cuek terhadap Allah. Padahal kartu nama Allah adalah Bismillahirrohmanirrohim. Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Terlihat jelas bahwa Allah tidak benci ataupun marah terhadap hambaNya kecuali dia telah syirik. Jika seorang hamba yang berbuat dosa dan dia tobat maka Allah pasti menerimanya dan memberikan kasih saying padanya.
Respon mahasiswa yang seperti itu, menjadikan saya terpanggil untuk menanamkan nilai-nilai Tauhid. Sebenarnya dia tidak memahaminya bahwa ketidaktahuan dia mengenai sifat Allah karena belum mengenaliNya. Dia tidak berpikir bahwa dalam hidupnya ada Allah, justru seharusnya dia bersyukur sampai saat ini dia masih diberi kenikmatan untuk menjalani hidupnya, karena dia telah melupakan sifat Allah yang ar Rohman.
Makna Tauhid
Mahasiswa yang mengatakan Tuhannya itu Allah, tetapi ketika dia susah, pertama yang dicari itu buku atau dosen atau mengerjakan tugas, maka dia telah berbohong. Seharusnya yang dicari pertama adalah Allah, sehingga tauhid memegang peranan bagi dia.
Masalah tauhid merupakan masalah yang penting yang harus dipahami oleh manusia. Tauhid dikalangan mahasiswa menjadi hal dasar dalam totalitas kehidupan agar yang dilakukan menjadi bernilai ibadah. Tauhid merupakan bagian dari essensi Islam.
Ismail Raji al Furuki mengatakan bahwa essensi peradaban Islam adalah tauhid, tindakan yang menegaskan Allah sebagai yang Maha Esa, pencipta yang mutlak dan transenden, serta penguasa segala yang ada. Meski sebenarnya tauhid merupakan essensi dari ajaran para Nabi, dijelaskan dalam firman Allah “…dan Kami tidak mengutus seorang Rosul sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya seharusnya tidak ada Tuhan melainkan Aku…”(QS 2;250).
Abdurrahman bin Saqof dalam al Aqoid Dinniyah mengartikan tauhid secara bahasa adalah menjadikan sesuatu itu satu dan buah dari mempelajari ilmu tauhid adalah mengenal Allah dengan dalil yang pasti. Karena posisinya tauhid menjadi perintah Allah yang pasti. Karena posisinya tauhid menjadi perintah Allah yang tertinggi sebagaimana Firman Allah (QS 6;153) oleh karena itu, keesaan Allah dapat hadir dikalangan hati seorang mahasiswa baik dalam keadaan susah maupun senang. Janganlah beranggapan jika Allah itu buta terhadap perilaku hambaNya. Memang benar apa yang dinyanyikan Bimbo “aku dekat engkau dekat dan aku jauh engkau jauh”. Artinya bahwa semakin dekat mahasiswa dengan Allah, maka semakin terkendali dalam perilakunya sebaliknya semakin jauh dengan Allah, maka semakin liar perilakunya.
Ada sebuah kisah dalam Ahlaqul Lilbanin bahwa ada seorang pemuda yang berada dalam suatu tempat yang sepi dan tidak seorangpun melihatnya. Ketika itu dia lapar, tak lama kemudian ada seekor ayam melintas di depannya kemudian ia menangkapnya untuk disembelih. Ketika akan disembelih dalam hatinya berkata “meskipun tidak ada yang melihat, tetapi Allah Maha Melihat“ akhirnya pemuda tersebut tidak menyembelih. Kisah ini menggambarkan dalam kondisi apapun kehadiran Allah harus selalu ada. Demikian yang seharusnya dilakukan seorang mahasiswa ketika menghadapi ujian.
Tauhid secara mendasar justru merubah totalitas status manusia. Semakin tinggi ketauhidan semakin shahih dan religius perilakunya. Dalam pandangan tauhid, kesahihan religius dan kebaikan bersumber pada Sang Pencipta, Penguasa, dan Sesembahan yakni Allah. Semoga kita mendapat petunjukNya. Amin.
 Oleh: Agung Kuswantoro, S. Pd, M. Pd, Pegiat Mahasiswa Mengaji dan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang, Img: uyxhpNCTD9E