Islam Korban Kritik

0
1007

Perempuan, mulai beberapa decade ini makin bebas menyuarakan wacana kesetaraan gender. Rasa terkekang berabad-abad, dirasa bukan merupakan sebuah dogma yang tetap harus diajalani. Layaknya seekor burung, perempuan menyuarakan wacana kesetaraan gender karena ingin terbang bebas tanpa ada aturan yang dirasa mematikan kreativitas dan peran perempuan. Wacana-wacana telah dilontarkan sampai sekarang ini sudah memberikan efek bagi perkembangan kehidupan perempuan.

Banyak hal yang menjadi tema kritik para kaum perempuan. Misalnya, masalah hak perempuan dalam bekerja, pendidikan, karir politik, pembagian warisan, pembagian hak dalam rumah tangga, masalah aurat dan lain sebagainya. Kebanyakan dari kritik yang dilontarkan itu ditujukan pada aturan agama. Di antara agama yang menerima paling banyak kritikan ialah agama Islam. Para kritikusnya pun memang banyak dari kalangan muslim. Padahal kalau mau diteliti banyak juga aturan agama lain yang sangat bisa mengekang pada perempuan. Misalnya yahudi, yang sampai sekarang masih menganggap perempuan sebagai aib. Tapi kenapa kok tidak ada kritik pada agama yahudi?. Herannya hanya Islam saja yang menjadi sasaran kritik mereka.

Ini sesungguhnya menunjukkan bahwa agama yang masih paling diikuti oleh para pengikutnya hanyalah Islam. Di dalam agama yahudi, walaupun terdapat peraturan yang dianggap mengekang perempuan, oleh mayoritas pengikutnya tidak diikuti. Sehingga ajaran-ajaran itu dianggap telah tiada. Padahal kalau mau dibandingkan dengan Islam, cara pandang yahudi terhadap perempuan sangat merugikan.

Kembali lagi ke permasalahan kritik terhadap Islam. Perlu diakui atau tidak terkadang kritik yang dilontarkan terlalu ekstrim, dan tidak memikirkan banyak hal. Tidak berpikir, apakah aturan itu murni dari Islam ataukah hanya efek dari budaya yang berkembang dulu?. Tidak berpikir, apakah itu akan bener mengekang perempuan atau tak lain ingin melindungi perempuan?. Tidak berpikit apakah itu ajaran yang memang qath’iy, atau hanya dari sebagian pendapat para ulama’ dengan memandang dalil yang belum tentu pendapatnya itu pas.

Ambil contoh masalah ketidak bolehan perempuan untuk bepergian sendirian, tanpa ditemani mahram. Aturan ini dianggap membatasi gerak gerik perempuan. Memang kalau dipikir, aturan seperti ini menimbulkan dua efek yang berbeda. Kalau dianggap benar akan membatasi gerak gerik perempuan. Sedangkan kalau dikatakan salah, realita yang ada, perempuan masih rentan menjadi korban kejahatan. Mungkin karena perempuan masih dianggap sebagai manusia lemah, sehingga sangat mudah untuk dikerjain atau dikelabuhi.

Buktinya perkosaan masih kerap terjadi. Dan itu terjadi ketika dia keluar rumah tanpa ditemani orang yang bisa melindunginya. Salah satu bukti, beberapa hari yang lalu, seorang perempuan menjadi korban pemerkosaan, yang dilakukan oleh orang pacarnya yang dikenal melalui HP. Tanpa sungkan walau baru ketemu, dia sudah mau diajak jalan di malam hari. Kalau melihat kejadian seperti ini, betapa penting hadirnya seorang mahram ketika hendak bepergian. Tapi sayangnya hal yang sangat penting seperti ini, masih belum diperhatikan oleh para pejuang gender.

Misalnya lagi masalah aurat yang harus ditutup. Jilbab dianggap lagi tidak penting, pakaian ketat tidak masalah, auratnya perempuan itu hanya dua kemaluannya saja, sehingga selain itu boleh tidak ditutup. Para kritukus itu mungkin berpikir agama perempuan bebas menggunakan baju sesuka hatinya, tanpa ada yang mengatur atau membatasi. Dipandang dari sudut kebebasan berekspresi mungkin ini sangat tepat. Tapi kalau dipandang dari aspek yang ditimbulkan kalau hal itu benar-benar diberlakukan.

Sekarang umpamakanlah perempuan itu bebas menggunakan baju sesuka hatinya. Apakah ia bisa menjamin bahwa pakaian yang digunakan itu tidak akan menimbulkan efek negative. Umpamanya akan menimbulkan ketertarikan pada laki-laki, sehingga si laki-laki itu akan tergerak untuk melakukan tindak kejahatan pada dia.

Dari dua contoh yang dijelaskan di atas, terlihat bahwa kritik yang dilontarkan memberikan efek baik di satu sisi, namun terkadang juga akan menimbulkan efek negative di sisi lain. Seharusnya sebelum mengkritik tentang ketidak keluar rumah tanpa mahram atau masalah pakaian, para kritikus memperbaiki terlebih dahulu pandangan laki-laki pada perempuan.

Kalau saja pandangan laki-laki pada perempuan sudah bisa seperti seorang bapak pada anak perempuannya, yaitu pandangan kasih sayang, pandangan bahwa laki-laki tidak boleh menindas sesame manusia, tapi harus menyayangi atau melindungi. Maka dengan sendirinya aturan-aturan agama yang memang dipandang akan mengekang gerak gerik perempuan itu dengan sendirinya akan berubah. Sebab memang sebuah ajaran itu pasti akan memberikan efek baik pada siapapun.

Yang biasa terjadi lagi, ketika ada pendapat ulama’-ulama’ terdahulu yang dianggap tidak relevan lagi untuk diterapkan sekarang, mengkritknya itu dengan kata-kata yang kurang pantas dalam mengkritik. Padahal ulama’ yang mengeluarkan pendapat tersebut sudah pasti telah memikirkan dengan matang pendapatnya, dan hal itu sudah disesuaikan dengan dalil yang ada, plus dengan keadaan yang terjadi pada masa itu. Sehingga bisa saja pendapat yang diaanggap tidak relevan itu, pada masanya sangat pas sekali untuk diterapkan. Para ulama’ itu pun tidak menuntut agar pendapatnya diikuti. Imam Syafi’I saja tidak pernah menyuruh para pengikutnya untuk mengikuti pendapatnya.

Oleh karena itu ketika ada pendapat atau aturan yang sudah dianggap tidak layak lagi atau umpamanya bisa mengekang perempuan, tidak perlu mengkritik tajam para ulama’ yang melontarkan, atau mengkritik agama Islam. Khusnuzhan pada para ulama’ seyogyanya dikedepankan. Kalau memang merasa dianggap tidak relevan pendapatnya, maka pendapat itu ditinggalkan, dan mencari aturan atau hokum lagi, yang memang akan sangat untuk diterapkan saat ini. Ini akan lebih bijak, dari pada mengkritik, tapi tidak mimikirkan dengan baik.

Terlebih mengkritik Islam itu harus—sebisa mungkin—ditinggalkan. Sebab terkadang aturan yang secara akal tidak memberikan keadilan bagi perempua, merupakan aturan yang pada hakikatnya sudah adil, hanya saja manusia tidak merasakan hal itu. Perlu diakui memang, kadan apa yang dipikir baik oleh manusia itu, pada hakikatnya bukan kebaikan. Mari simak pesan Allah berikut ini:

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu(QS. Al-Baqarah: 216)

Juga yang perlu diingat bahwa Islam itu lentur. Dalil-dalil yang terdapat dalam Qur’an dan hadits banyak yang debateable. Sehingga pendapat para ulama dianggap mengurangi keadilan, hendaknya menafsiri atau mengkaji lagi dalil-dalil yang ada. Tanpa menganggap bahwa Islam itu merupakan agama yang mengekang perempuan. Sebab yang perlu diingat bahwa setiap aturan yang telah ada pasti didasarkan pada kemaslahat manusia.

Kalau dianggap tidak pas, mungkin para ulama’ salah dalam menangkap pesan-pasan yang ada dalam dalil yang mereka jumpai. Ketika dianggap salah maka tugas penerus para ulama’ ini lah memperbaiki lagi, sampai dijumpai aturan yang memang akan memberikan keadilan dan dianggap sebagai pesan yang memang benar disisi Allah.

Sumber Gambar: wakpaper.com

Tinggalkan Balasan