Allah Membela Kaum Perempuan

0
431

Tegaknya keadilan merupakan salah satu dari misi Islam. Keadilan inilah yang akan menjadikan kehidupan akan stabil. Misalnya, sebuah bangsa akan stabil ketika pemerintahnya bisa berbuat adil. Hal sebaliknya akan terjadi ketika keadilan sudah diabaikan. Sehingga yang tersisa adalah penindasan.

Misi keadilan itu telah Allah sampaikan dalam Qur’an, yaitu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ

Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu orang yang benar-benar  menegakkan keadilan ,menjadi saksi karena allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri atau orang tua dan kerabatmu.” (QS. al-Nisa’: 135)

Ayat tersebut sudah dengan tegas memerintahkan pada manusia untuk menegakkan keadilan pada segala urusan. Tanpa terbatas pada masalah tertentu. Dan keadilan itu harus dilakukan terus menerus, bukan satu atau dua kali saja. Hal itu ditunjukkan oleh Allah dengan menggunakan kata قَوَّامِينَ merupakan bentuk mubalaghah dari kata قائم.[1] Jadi keadilan itu harus benar-benar ditegakkan, tanpa mengenal batasan waktu dan masalah.

Ketika kita menghubungkan perintah Allah pada manusia untuk menjadi penegak keadilan dengan waktu di mana perintah itu disampaikan, maka perintah itu menjadi sangat peenting. Mengingat, pada masa sebelum Islam dan awal Islam, sering terjadi kesewenang-wenangan. Ketika itu, keadilan itu menjadi hal yang sangat sulit dicari, atau mungkin bahkan tidak ada. Dan sa;ah satu yang menjadi korban ketidakadilan adalah kaum perempuan. Kaum perempuan pada masa itu tak ubahnya barang yang bisa diperjual belikan. Lahirnya seorang bayi perempuan merupakan sebuah momok besar atau petaka besar. Sehingga sering berujung pada pembunuhan si bayi yang tidak berdosa. Hal ini terekam dalam firman Allah:

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (58) يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ (59)

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah mukanya, dan dia marah 58. ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung hinaan ataukah akan menguburnya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan 59“. (QS. al-Nahl: 58)

Berawal dari misi keadilan itulah kemudian Allah dengan sedikit demi sedikit ingin menghapus tindakan tidak adil ada kaum permpuan. Hal ini diwujudkan dengan beberapa peraturan tegas yang telah Allah sampaikan melalui firmannya demi tegaknya sebuah keadilan bagi kaum hawa. Seperti firman Allah berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آَتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Wahai orang-orang yang beriman tidak halal bagimu memperlakukan perempuan dengan perlakuan  yang mereka benci. Dan janganlah  kalian halangi mereka  untuk tujuan mengambil kembali apa yang telah kalian berikan kecuali jika mereka  melakukan kekejian yang nyata, pergaulilah perempuan-perempuan itu dengan baik” (QS. al-Nisa’: 19)

Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Abi Daud, ayat ini turun sebagai respon perlakuan orang pada masa jahiliah yang sangat menindas pada kaum perempuan. Pada masa itu ketika sang suami meninggal maka si wali bisa melakukan apa saja padanya. Ia bisa dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain. Sedangkan menurut riwayat dari Ibnu Abbas ayat ini sebagai respon dari kelakuan orang jahiliah yang apabila ada seorang laki-laki meninggal dunia dan ia mempunyai istri maka jika istrinya itu cantik maka dikawini, sedangkan jika tidak cantik maka ia ditahan sampai mati. [2]

Tentu tindakan kaum jahiliah itu merupakan perbuatan yang sangat tidak pantas sekali. Sehingga tak salah mereka dijuluki kaum jahiliah, sebuah kaum yang tidak tahu terhadap aturan. Hadirnya nabi dengan membawa agama Islam ingin merubah hal itu. Sekaligus akan melapas julukan mereka sebagai “kaum jahiliah” menjadi kaum bermoral.

Kebiasaan kaum jahiliah lainnya yang dikritik oleh Islam ialah berkenaan dengan kebiasaan mereka menyuruh pada budak perempuanya untuk berzina, sedangkan uanglah yang diharap oleh sang tuan. Kritikan itu disampaikan Allah melalui firmannya:

وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِهُّنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan janganlah kamu paksa budak perempuanmu melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi, dan barang siapa memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah maha pengampuan lagi maha penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu)” (QS. al-Nur: 33)

Di samping melarang pemilik budak agar tidak lagi menyuruh budaknya untuk berzina. Ayat tersebut juga menerangkan ampunan Allah pada si budak yang telah mengikuti perintah tuannya. Sebab apa yang mereka lakukan memang bukan muncul dari pribadi mereka, melainkan karena paksaan sang tuannya.

Dalam sabab al-nuzul ayat ini diterangkan bahwa Abdullah bin Ubay mempunyai dua budak yang bernama Mu’adzah dan Musaikah. Kedua budak ini dipaksa untuk berzina, dan uang yang diharapkan oleh Ubay. Hal ini sudah menjadi tradisi pada waktu itu. Ketika Islam datang Mu’adzah berkata pada Musaikah: “Jika apa yang telah kita lakukan ini baik maka kita akan sering lagi melakukannya, namun jika hal ini merupakan pekerjaan buruk maka mari kita tinggalkan”.[3]

Selain ayat-ayat di atas masih banyak lagi ayai lain, yang menunjukkan kepudiliannya pada kaum hawa, yang acap  kali menerima perlakuan zhalim (lalim). Seperti ketika perempua tidak diberi hak waris, Islam langsung memberikan hak waris walaupun tidak setara dengan laki-laki, yaitu 2:1. Namun ukuran pada saat itu, ketentuan tersebut sudah lebih dari sekedar cukup. Apalagi Islam memang dalam menerapkan sebuah hukum sering kali menggunakan konsep tadriij (gradual/sedikit demi sedikit).

Pembelaan Islam terhadap perempuan di samping melalui ayat-ayat al-Qur’an, juga melalui sabda nabi Muhammad saw. Salah satunya ialah sebagai berikut:

مَنْ كَانَ لَهُ ثَلاَثُ بَنَاتٍ أَوْ ثَلاَثُ أَخَوَاتٍ أَوِ ابْنَتَانِ أَوْ أُخْتَانِ فَأَحْسَنَ صُحْبَتَهُنَّ وَاتَّقَى اللَّهَ فِيهِنَّ فَلَهُ الْجَنَّةُ

“Barang siapa mempunyai tiga anak perempuan, tiga saudara perempuan, atau punya anak perempuan, dua saudara perempuan, lalu ia memperlakukan mereka dengan baik dan bertakwa pada Allah maka mereka berhak (untuk masuk) surga” (HR. al-Tirmidzi)[4]

Hadits ini sebagai bentuk kepedulian Islam terhadap kaum perempuan. Kalau memandang sejarah pada waktu itu, munculnya hadits ini untuk melawan kondisi yang ada dan sebagai kritik. Di mana kaum perempuan merupakan kaum kelas dua, yang tak perlu untuk diberlakukan dengan baik.

Dengan berlandaskan pada paparan di atas, membuktikan bahwa  Islam membela  kaum tertintas, kaum perempuan. Islam tidak ingin salah satu dari jenis manusia ini mendapatkan perlakuan yang tidak sepantasnya. Apapun bentuk penindasannya akan selalu mendapatkan kritik dari Islam. Sekaligus membuktikan bahwa Islam benar-benar Rahmatan li al-Alamin.



[1] Syihabuddin Mahmud Ibnu Abdillah al-Husaini al-Alusiy, “Ruh al-Ma’any fi Tafsir al-Qur’an al-Azhim wa Sab’u al-Matsany”, IV/265.

[2] Syihabuddin Mahmud Ibnu Abdillah al-Husaini al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsiri al-Qur’an al-Azhim wa Sab’ al-Matsany, III/481

[3] Ibnu al-Jauzi, Zaad al-Masiir, IV/445

[4] Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa bin Dhahhak al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, IV/320

Sumber Gambar: wookmark.com

Tinggalkan Balasan