Mengenai fenomena nikah paksa tersebut Madzhab Hanafiyah berpendapat bahwa wali memiliki hak ijbar hanya ketika si perempuan masih kecil, dalam artian belum baligh, walaupun sudah menjadi janda. Demikian juga bisa melakukan nikah paksa pada gadis yang sudah besar tapi kurang waras atau berstatus budak. Redaksi kitabnya sebagai berikut:
وَوِلَايَةُ إجْبَارٍ وَهُوَ الْوِلَايَةُ عَلَى الصَّغِيرَةِ بِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا ، وَكَذَا الْكَبِيرَةُ الْمَعْتُوهَةُ وَالْمَرْقُوقَةُ
Perwalian pada nikah ijbar adalah perwaliyan pada anak kecil, baik perawan atau tidak. Demikian juga pada perempuan dewasa yang idiot dan budak[1].
Pada dasarnya Madzhab Hanafiyah tak menjadikan adanya wali sebagai rukun nikah. Mereka berpendapat bahwa seorang perempuan boleh menikah sendiri, dan kawinnya sah. Namun jika masih kecil, dalam bahasa lain belum baligh, maka wali boleh melakukan nikah paksa (ijbar).
Perempuan yang masih kecil, perawan atau tidak, dianggap masih kurang akalnya, sehingga orang tualah yang tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Bagaimana pun peran orang tua, kaitannya dengan perwaliyan nikah, tetap sangat besar. Begitu juga dengan perempuan ideot dan para budak.
Adanya perwaliyan dan bolehnya melakukan nikah paksa (ijbar) pada gadis kecil, karena memandang ‘illat dari adanya perwaliyan adalah shighar. Hal ini sama dengan ‘illat bagi tetapnya perwaliyan dalam masalah harta. Sehingga kesimpulan akhirnya, bahwa menurut Hanafiyah nikah paksa hanya bisa dilakukan pada gadits kecil, perempuan idiot, dan para budak.
Lantas mengenai perwalian dalam nikah paksa menurut Madzhab Hanafiah bukan hanya tertentu pada bapak dan kakek, sebagaimana pendapatnya Ulama’ Syafi’iyah. Menurut mereka semua wali bisa melakukan nikah paksa (ijbar), dengan catatan si gadis masih kecil, idiot, atau budak. Di dalam kitab Durarul Hukkam Syarh Ghurar al-Ahakam di jelaskan :
ثُمَّ عِنْدَنَا كُلُّ وَلِيٍّ فَلَهُ الْإِجْبَارُ ، وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ لَيْسَ إلَّا لِلْأَبِ وَالْجَدِّ أَبِ الْأَبِ
Menurut kami (Hanafiyyah) semua wali boleh melakukan ijbar, sementara menurut Imam Syafi’i tidak boleh kecuali bagi bapak dan kakek[2].
Dalam kitab Al-‘Inayah Syarah Al-Hidayah, beliau menjelaskan :
Seorang wali tidak boleh memaksa seorang perawan yang sudah baligh, pendapat ini berbeda dengan pendapat imam syafi’i yang membolehkan hal tersebut. Bagi wali boleh memaksa anak yang kecil karena dia tidak mengerti dan tidak berpegalaman dalam persoalan nikah, oleh karena itu seorang wali dapat mengambil mahar (maskawinnya) tanpa perintah si anak. Menurut madzhab Hanafiyah, bagi perempuan bebas menentukan jalannya sendiri, tidak ada yang menjadi walinya. Perwalian terhadap anak kecil itu disebabkan karena kurang sempurna akalnya, dan dia akan sempurna akalnya ketika sudah baligh dengan dalil (tanda) adanya khitab kemudian jadi seperti budak dan seperti mentasharrufkan hartanya. Seorang bapak memiliki maskawin yang diterimanya dengan Ridho sang anak demikian juga sebaliknya, seorang bapak tidak berhak memiliki maskawin sebab larangan dari anaknya. Dia berkata “Seorang wali tidak boleh memaksa anak perawannya yang sudah baligh untuk menikah”, menurut kami tidak boleh memaksa perempuan yang sudah baligh. Beda halnya dengan Imam Syafi’i, yang juga madzhab Ibnu Abi Laila. Jadi menurut Imam Syafi’i menikahkan anak kecil yang perawan walaupun ia tak suka (tak mau), begitu juga perempuan dewasa yang masih perawan. Alasannya mereka tak tahu tentang persoalan nikah, karena belum pengalaman. Oleh karena itu seorang bapak boleh menerima mas kawinnya tanpa menunggu perintahnya. Sementara menurut dia bebas, karena yang dimaksud di sini adalah perempuan merdeka yang sudah baligh. Dan barang siapa memenuhi kriteria tersebut maka orang lain tak bisa menjadi walinya. Perwalian hanya bagi perempuan kecil, karena akal mereka masih kurang, dan akan sempurna ketika sudah baligh. Oleh karena itu ijbar baginya sama dengan ijbar pada budak yang masih kecil. Sedang jika sudah besar tidah ada lagi ijbar untuk dirinya. Jadi dia dalam mentasharrufkan hartanya ia bisa melakukan dengan sendiri, dan seorang bapak tak lagi boleh melakukan tasharruf pada harta tersebut[3].
Dari redaksi tersebut dapat kami ambil kesimpulan bahwa madzhab Hanafiyah beralasan orang tua memiliki hak ijbar selama si gadis masih kecil, sekalipun masih perawan atau pun janda yang terpenting adalah masih kecil, karena anak kecil masih kurang akalnya (belum sempurna), dan anak kecil itu tidak tahu-menahu tentang nikah. Berbeda halnya ketika anak itu sudah baligh, ketika ia sudah baligh hak ijbar bagi wali hilang dengan sendirinya.
(img: photobucket)