Wara’ menurut kebahasaan mengandung arti menjauhi dosa, lemah, lunak hati, dan penakut. Para sufi memberikan definisi yang beragam tentang wara’ berdasarkan pengalaman dan pemahaman masing-masing. Ibrahim ibn Adham (w 160 H/777) mengatakan bahwa wara’ adalah meninggalkan syubhat (sesuatu yang meragukan) dan meninggalkan sesuau yang tidak berguna. Pengertian serupa juga dikemukakan Yunus ibn Ubayd, hanya saja ia menambahkan dengan adanya muhasabah (koreksi terhadap diri sendiri setiap waktu). Dengan demikian wara’ merupakan sikap menahan diri dari perkara yang membahayakan, seperti meninggalkan perkara yang samar dalam hukum dan hekekatnya. Sikap wara’ mencakup wara’ dalam memandang, berbicara, memakan, mendengar, urusan syahwat, dan lain sebagainya.
Syaikh Abdullah bin HIjazi al-Khalwati, dalam Syarah Hikam mengatakan ada empat hal yang dapat digunakan sebagai pegangan menghindar dari perkara-perkara yang dapat mengotori hati:
Pertama, صحة اليقين (Shihhatul yaqin), yaitu yaqin benar akan adanya rizqi yang dibagikan oleh Allah swt. Cobalah ingatkan diri kita ketika ingin melakukan dan mengambil sesuatu yang berbau haram. Ingat bahwa tanpa melakukan itupun Allah swt. akan memberikan rizqinya kepada kita. karena semua makhluk di bumi ini Allah swt. telah siapkan rizqinya masing-masing. Maka janganlah kawatir tidak mendapat bagian atau terlewatkan.
Allah swt. sudah berjanji dalam firmanya:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا [هود/6 [
“Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya”. (QS. Hud (11): 6)
Kedua, كمال التعلق برب العالمين (Kamalut ta’alluqi birabbil alamin), menggantungkan diri sepenuhnya kepada Allah swt. tentang rizqi janganlah sampai menggantungkan diri pada sesama manusia. Karena hal ini akan menyebabkan kita menjadi seorang peminta-minta. Seorang pengemis yang selalu mengharapkan belas kasihan dan pemberian dari orang lain. Begitu besarnya harapan yang tersimpan dalam diri hingga mengabaikan rasa malu sebagai peminta-minta.
Ketiga, وجود السكون اليه (Wujudus sukun ilaihi), merasa tenang dengan apa yang diberikan oleh Allah swt. Bahwasannya hidup dengan kekayaan atupun kesederhanaan juga hidup kecukupan semuanya dapat diterima dengan lapang dada. Kekurangan merupakan cobaan kemewahan juga merupakan ujian dari-Nya. Bagaimanapun keadaan hidup di dunia ini diterima dan dijalani dengan tenang dan tentram.
Keempat, طمأنينة القلب به (Thuma’ninatul qalbi bihi), merasa tenang ketika ingat bahwa segala yang berlaku tidaklah lain kecuali kehendak Allah swt. ini adalah urusan hati. Ketika segalanya berjalan dan terjadi pada diri kita, entah itu membuat diri kita nyaman atau enggan. Ingatlah dengan pesan Allah swt.:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ (28) [الرعد/28]
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra’d (13):28).
Demikianlah beberapa langkah awal belajar wara’ sebagai sarana memagari diri agar tidak terlalu hanyut dalam pusaran dunia yang sangat kuatnya. Begitu pentingnya posisi wara’ hingga Rasulullah saw. dalam haditsnya pernah berpesan sebagaimana diriwayatkan Imam Dilami
لَوْ صَلَّيْتُمْ حَتَّى تَكُوْنُوا كَالْحَنَايَا وَصُمْتُمْ حَتَّى تَكُوْنُوْا كَالْأَوْتَادِ لَمْ يَقْبَلْ اللهُ مِنْكُمْ إِلاَّ بِوَرَعٍ حَاجِزٍ
“Walaupun kamu shalat seperti lengkung gapura (pintu masjid dalam ideom bahasa Indonesia sering diupamakan sampai bungkuk), dan kamu puasa hingga seperti tali tampar (karena saking kurusnya), semua itu tidak diterima oleh Allah swt. jika tidak dibarengi dengan adanya sikap wara”’.
Image: miafitriah.blogspot