Pelarangan Nikah Sirri Antara Harapan dan Realita

0
937

Nikah sirri bukanlah persoalan baru. Nikah yang satu ini sudah tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan fiqh. Hal ini terbukti dengan adanya pembahasan tentang hal itu oleh para ahli fiqh yang hidup pada masa awal-awal pembukuan fiqh. Realita ini sekaligus menepis persepsi sebagian kelompok yang lantang berorasi bahwa nikah sirri tidak pernah dikaji dalam khazanah klasik. Benarkah demikian?

Nikah Sirri di Mata Juris Muslim

Yahya ibn Yahya dari kalangan Malikiyah mengatakan, nikah sirri adalah pernikahan yang dilakukan tanpa dipersaksikan di hadapan dua orang saksi (Khalil: II/194). Al-Baji menyebutkan, bahwa nikah sirri merupakan pernikahan yang tak diketahaui oleh siapa pun kecuali hanya kedua mempelai yang bersangkutan dan walinya (al-Baji: II/382). Di kalangan pengamat fiqh kontemporer dijelaskan, nikah sirri yaitu nikah yang mana mempelai pria berpesan kepada saksi agar pernikahannya tidak diberitahukan kepada mempelai wanita atau kepada orang lain, sekalipun keluarganya sendiri (al-Zuhaili: VII/71).

Dari sini, sebenarnya para juris muslim sepakat bahwa nikah sirri yang banyak beredar di tanah air itu sah-sah saja, sebab nikah yang dilakukan sudah banyak pihak yang mengetahuinya, bahkan sudah mengundang para tetangga untuk menyaksikan pernikahan itu, hanya saja pernikahan tersebut tidak dicatat oleh petugas pencatat nikah. Dengan demikian, fiqh tidak mempermasalahkan nikah sirri ala Indonesia.

Nikah Sirri di Hadapan Hukum Negara

Undang-Undang No. I Tahun 1974 merupakan langkah konkrit intervensi negara dalam soal pernikahan. Dalam pasal 2 ayat 2 Undang-Undang tersebut dinyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Ketentuan ini lebih lanjut diperjelas dalam BAB II Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang intinya, sebuah pernikahan baru dianggap memiliki kekuatan hukum di hadapan undang-undang jika dilaksanakan menurut aturan agama dan telah dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan yang ditentukan undang-undang. Jika demikian, maka pernikahannya dianggap tidak sah dan disebut sebagai nikah sirri. Jadi, nikah sirri dalam perspektif hukum negara Indonesia adalah pernikahan yang tidak dicatata oleh petugas pencatat nikah, sekalipun dalam acara pernikahan tersebut dihadiri oleh orang sekampung.

Sebagai konsekuensi adanya Undang-undang dan Peraturan Pemerintah di atas lalu ada usulan agar pelaku nikah sirri di tanah air diatur juga dalam Undang-undang. RUU tentang sanksi ini menuai pro-kontra di kalangan pengamat hukum; sebagian menganggap tidak perlu sanksi sebab nikah sirri sah-sah saja menurut Agama, sedangkan sebagian yang lain berkomentar perlu adanya sanksi tegas untuk menghindari pelecehan terhadap kaum wanita dan penelantaran anak-anak.

Nikah Sirri di Mata Umat

Masyarakat hanya menginginkan yang instan-instan. Mereka tidak suka yang ruwet-ruwet. Mengurus nikah kepada petugas berwajib menurut pandangan mereka adalah perbuatan ruwet, karena nikah sejatinya tidak serumit itu. Bahkan, Rasulullah sendiri menganjurkan menikah walau hanya dengan sebuah cincin logam. Ini sebenarnya sebuah isyarah agar pernikahan dijalankan dengan mudah.

Sikap pragmatis masyarakat dalam hal nikah ini tidaklah berlebihan, mengingat mereka sudah direpotkan dengan hiruk pikuk pemenuhan kebutuhan ekonominya yang masih carut marut, tidak menentu. Di samping itu, alasan yang sering mengemuka adalah terlalu rumit dan ruwetnya prosedur pencatatan nikah, serta terlalu mahalnya biaya mengurus pencatatan. Hal ini harus dimaklumi karena tidak sedikit oknum petugas pencatatan nikah yang membisniskan proses pencatatan atas nama keperluan administrarif.

Bagaimana Solusinya?

Pencatatan nikah dalam bingkai pembahasan hukum Islam (fiqh) merupakan persoalan baru. Secara tegas fiqh belum pernah membahas persoalan ini. Sungguh pun demikian, hal ini tidak berarti penetapan pencatatan nikah oleh pemerintah tidak dibenarkan menurut Islam.

Melihat realita yang cukup beragam, maka dalam menyikapi persoalan ini harus dihadapi dengan sikap arif dan bijaksana. Tidak bijak kiranya bila dikatakan nikah sirri itu tidak masalah dilakukan, karena kenyataannya tidak sedikit wanita menjadi korban ketidakbertanggungjawabnya seorang lelaki. Setelah dinikahi, dikumpuli beberapa bulan, kemudian wanita tersebut ditinggal begitu saja. Begitu pun kurang arif, bilamana nikah sirri dikatakan haram, dan pelakunya harus mendekam dalam penjara atau disanksi secara finansial, sebab banyak sekali masyarakat yang masih pontang panting mengais rejeki hanya untuk bertahan hidup. Bila mereka harus membayar sanksi, dari mana mereka harus dapat. Dan, jika tidak bayar, mereka pasti dipenjarakan. Kalau demikian adanya hukum, lantas di manakah letak nilai-nilai hukum?

Dalam kaitannya dengan hal ini, al-Zarqa memberikan solusi alternatif bahwa dalam memutuskan hukum harus memerhatikan situasi dan kondisi yang terjadi, sehingga hukum tidak kaku, tapi lentur sejalan dengan perubahan ruang dan waktu yang melingkupi, la yunkaru taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azma (al-Zarqa: I/129). (Author: Asmuki M.Sy)

Tinggalkan Balasan