Bila kata ‘nafsu’ diucap, yang terlintas dalam benak kita bahwa ia adalah sesuatu yang “aduhai” menggairahkan. Seringkali pula, nafsu ditafsiri sebagai sesuatu yang “aduh” mengerikan. Karena nafsulah, manusia menjadi makhluk kreatif dan dunia menjadi inovatif. Dan karena nafsu jua, manusia menjadi makhluk bejat dan dunia pun terhujat. Seperti seekor buaya yang siap menerkam mangsanya, kakak membunuh adiknya, Bapak menggerayangi anaknya, dan lain semacamnya. Na’udzubillahi min dzalik. Semua terjadi gara-gara makhluk yang bernama nafsu. Itulah nafsu. Binal, susah dikendalikan.
Ada cerita, konon saat Tuhan rampung menciptakan nafsu, Tuhan lalu menanyainya: “Siapa Aku?” Namun nafsu tak menggubrisnya, enggan menjawab. Ia begitu angkuh tidak mau mengakuinya sebagai Tuhan. Bahkan, ia (nafsu) balik bertanya: “Siapa Aku?” Melihat ulah tingkah nafsu yang ‘sok’ ini, maka Tuhan pun melemparnya ke lautan lepas selama seribu tahun. Baru akhirnya, nafsu pasrah dan tunduk mengakui Tuhan.
Nafsu memang makhluk yang nakal. Kenakalannya sampai saat ini belum juga menjera. Banyak bukti, kasus demi kasus terjadi silih berganti. Ini semua disulut oleh nafsu. Tayangan berita di televisi selalu ramai menuturkan persoalan kriminal berlabel nafsu. Begitu juga di beberapa media massa seperti majalah, koran harian dan yang lainnya, nafsu menjadi profil berita hot di setiap hari. Mulai dari kasus korupsi, pemerkosaan, pencabulan yang dipraktekkan oleh anak-anak ingusan, bahkan tak jarang kakek-kakek turut serta mengisi lembar fakta yang disutradai oleh nafsu.
Bicara soal nafsu, memang unik dan sangat menarik. Pasalnya, di satu sisi nafsu bisa menjerumuskan kita pada kubangan kenistaan. Tetapi di sisi lain, nafsu bisa memberikan nuansa keindahan dan ketenangan. Coba kita bayangkan, bagaimana seandainya kita hidup tanpa nafsu, niscaya hidup akan terasa hambar, kurang enak, kurang segar, tidak akan ada dinamika dan gairah hidup. Bahkan, dalam dunia tasawwuf, nafsu mempunyai peranan penting untuk mencapai tingkat kesempurnaan seorang hamba shaleh. Kalau begitu, makhluk apa sebenarnya nafsu itu? Apakah ia selalu identik dengan kejelekan? Lalu adakah ragamnya? Dan bagaimana cara mengatur nafsu?
Pengertian Nafsu
Melihat dari sisi kebahasaan, kata nafsu dalam bahasa arab terdiri dari huruf nūn, fa’, dan sīn. Dari rangkaian huruf ini tersusun satu kata yang mengandung berbagai macam makna. Jika ketiga huruf tersebut dirangkai dan huruf fa’-nya dibaca sukun (an-nafs), maka kata tersebut bermakna ruh, darah, dan dzat dari suatu benda (diri). Bentuk plural (jamak) dari kata ini adalah anfus atau nufūs. Apabila huruf fa’-nya berharkat fathah, maka kata tersebut bermakna udara yang keluar-masuk dari hidung atau mulut seseorang ketika bernafas, lapang, dan angin sepoi-sepoi.[i] Istilah nafsu dalam konteks ini merupakan istilah bagi suatu komponen dalam diri manusia yang menopang kehidupannya, bahkan bisa dibilang bahwa nafsu adalah diri manusia itu sendiri.
Di atas merupakan penjelasan nafsu menurut ahli bahasa. Bagaimana penjelasan nafsu dalam terminologi tasawwuf? Amin al-Kurdi mencoba memberi pengertian nafsu dengan tetap melihat makna bahasanya. Menurutnya, kata an-nafs merupakan kata lain dari ar-ruh. Ia merupakan spiritualitas ketuhanan (lathīfah rabbāniyyah). Sebelum menciptakan jasad, terlebih dahulu Tuhan menciptakan ruh. Ketika itu, ruh berada di sisi Tuhan. Dengan kata lain, nafsu selalu bersama-Nya dan tidak bersama selain-Nya. Kemudian, setelah ia diperintah untuk bersemayam di dalam jasad manusia, kadang ia tak mampu mempertahankan sakralitas (kesucian) dirinya. Sekarang ia tidak hanya bersama Tuhan, melainkan dengan selain-Nya. Seringkali, ruh atau nafsu terhalang dari penciptanya karena terlalu sibuk dengan selain-Nya.[ii]
Dalam pernyataannya ini, tampaknya al-Kurdi ingin menjelaskan bahwa manusia terdiri dari dua komponen substansial, yakni jasad (jasmani) dan nafsu (ruhani). Jasad adalah ‘wadah’ bagi nafsu yang merupakan perwujudan manusia yang sebenarnya (haqīqah insāniyyah). Jasad merupakan komponen ‘kasar’ (material) yang mewadahi nafsu/ruh yang menjadi komponen ‘halus’-nya (immaterial). Substansi nafsulah yang mampu menjangkau hadlrah ilāhiyyah. Sedangkan jasad seringkali menjadi penghalang bagi nafsu untuk mencapai hadirat Tuhan.
Al-Ghazali memberi komentar soal makna nafsu. Beliau mengkategorikan nafsu menjadi dua makna. Pertama, substansi yang mencakup terhadap potensi marah (ghadlab) dan syahwat. Nafsu dalam makna inilah yang seringkali dimaksudkan oleh para ahli tasawwuf. Kata nafsu dalam konteks ini berkonotasi negatif dan mesti diperangi oleh penikmat Hadirat Ketuhanan (hadlrah ilāhiyyah). Seseorang yang bernafsu tidak akan pernah mencapai hadirat Tuhan. Kedua, yang dimaksud dengan nafsu adalah hakikat (diri) manusia itu sendiri. Dalam makna ini, nafsu tidak hanya bersifat negatif, namun juga sesuatu yang positif pada diri manusia. Positif-negatif nafsu sesuai dengan keadaan yang mengitarinya.[iii]
Dari penjelasan al-Ghazali di atas, dapat ditarik benang merah, bahwa nafsu dapat memiliki makna luas dan sempit. Makna luas nafsu adalah diri manusia itu sendiri. Ia bisa bersifat negatif atau positif. Namun, apabila nafsu diidentikkan dengan syahwat dan ghadlab, maka ia mengalami penyempitan makna yang negatif (peyorasi).
‘Ala kulli hal, dapat disimpulkan bahwa nafsu adakalanya bersifat negatif. Ia menghalangi manusia untuk mencapai kehadirat Tuhan. orang yang tidak sampai pada kehadirat Tuhan adalah orang yang tidak mampu mengatur nafsunya menjadi baik. Di samping itu, nafsu dapat bersifat positif. Manusia yang nafsunya berada dalam kondisi positif bisa mengantarkan dirinya menuju kehadirat Tuhan, mengenal Penciptanya. Man ‘arafa nafsah, ‘arafa Rabbah.
Nafsu dan Istilah Lain yang Berkaitan
Sebelum mengungkap lebih jauh tentang negatif-positif nafsu, ada baiknya jika dijelaskan terlebih dahulu istilah-istilah lain yang seringkali berkaitan dengan nafsu. Al-Ghazali menuturkan ada beberapa istilah yang seringkali maknanya kabur satu sama lain, yaitu nafsu, qalb, aql (akal), dan ruh. Istilah-istilah tersebut satu-persatu—selain nafsu—akan dijelaskan dalam paparan berikut ini;
Menurut al-Ghazali, qalb memiliki dua makna. Pertama, qalb adalah organ tubuh bagian dalam yang terletak di dada bagian kiri. Qalb memiliki rongga yang di dalamnya terdapat darah hitam. Dalam makna ini, qalb bersifat jasmaniah. Organ tersebut kita kenal dengan jantung. Kedua, Qalb merupakan spiritualitas ketuhanan (lathīfah rabbāniyyah ruhaniah). Dalam makna ini, qalb merupakan hakikat manusia. Ia berfungsi menerima pengetahuan (al-mudrik li al-‘ulūm) sekaligus yang berhubungan langsung dengan Tuhan. Makna hati yang pertama dan kedua memiliki keterkaitan sebagaimana tubuh dan sifat yang melekat padanya.[iv] Berkenaan dengan qalb ini, Nabi Muhammad saw bersabda,
إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ
“Sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila ia baik, maka seluruh jasad menjadi baik. Sedangkan jika kondisinya buruk, maka seluruh jasad menjadi buruk. Ingatlah bahwa itu adalah hati (qalb).”[v]
Menurut hadits di atas, baik tidaknya seseorang bergantung pada keadaan hatinya. Apabila kondisinya baik, maka dirinya menjadi baik. Begitu juga sebaliknya. Mengapa hati? Sebab hati merupakan ‘raja’ sedangkan anggota badan yang lain adalah ‘rakyatnya’. Ketika raja dalam kondisi tidak baik, maka rakyat yang berada di bawah kendalinya akan tersiksa.[vi]
Jika demikian, maka antara qalb dan nafs memiliki persamaan. Keduanya merupakan bagian di mana hakikat kemanusiaan manusia terungkap. Di samping itu, keduanya bisa menjadi baik dan buruk dan mempengaruhi kondisi seseorang.
Sedangkan akal (‘aql), al-Ghazali juga menyebut dua makna. Pertama, akal adalah pengetahuan akan hakikat sesuatu. Pengetahuan ini bertempat di dalam hati (qalb). Makna akal yang demikian ini berdasarkan firman Allah,
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا…
“Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami… (QS. Al-Hajj [22]: 46)”
Kedua, akal adalah bagian dari manusia yang mencerap pengetahuan. Jika demikian maknanya, akal adalah qalb itu sendiri.[vii]
Sementara ruh, ia juga memiliki dua makna.[viii] Pertama, ia bermakna materi (jisim) halus yang dibawa oleh darah hitam yang memancar dari rongga hati (qalb) ke seluruh tubuh. Manusia dapat tetap hidup apabila ruh ini masih berfungsi. Ruh dalam makna ini berada pada jasad bagian dalam. Apabila diumpamakan, ruh adalah lampu yang menerangi seluruh ruangan. Gerak ruh ke seluruh tubuh sama dengan gerak cahaya yang muncul dari lampu ke seluruh ruangan. Kedua, ruh adalah bagian dalam diri manusia yang berfungsi mencerap pengetahuan. Jika demikian maknanya, maka ruh adalah qalb dalam maknanya yang kedua. Menurut al-Ghazali, makna ruh yang kedua inilah yang dimaksud oleh Allah swt dalam al-Qur’an,
ويَسْئَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu Termasuk urusan Tuhan-ku…” (QS. Al-Isrā’ [17]: 85).
Setelah melihat keseluruhan makna dari istilah-istilah yang berkaitan dengan nafsu, dapat diambil kesimpulan bahwa istilah-istilah tersebut memiliki persamaan dengan nafsu. Bahkan masing-masing dari istilah-istilah tersebut digunakan secara bergantian. Seringkali, yang dimaksud dengan nafsu adalah qalb, dan seterusnya. Namun tidak jarang istilah tersebut digunakan dengan maksud yang berbeda sesuai dimana konteks istilah-istilah tersebut dibicarakan. Boleh jadi, istilah-istilah tersebut berkonotasi negatif dan pada kesempatan lain bersifat positif.
Baik nafs, qalb, ‘aql, dan rūh merupakan bagian-bagian integral yang ada dalam diri manusia. Keempatnya memiliki makna bagian atau ‘komponen kasar’ yang ada dalam diri manusia dan ‘komponen halus’ (lathīf/ruhāni/immateri). Jika positif, keempatnya dapat mengantarkan manusia menikmati indahnya bersama Sang Pencipta. (Img: akamaihd)
[i] Ibrahim Musthafa dkk., Al-Mu’jam al-Washīth, juz 2, h. 940.
[ii] Amin al-Kurdi, Tanwīr al-Qulūb, h. 465.
[iii] Abu Hamid al-Ghazali, Ihyā’ `Ulūmi al-Dīn, juz 3, h. 4-5; Raudlah at-Thālibīn wa ‘Umdah as-Sālikīn, h. 114.
[iv] Raudlah at-Thālibīn wa ‘Umdah as-Sālikīn, h. 114.
[v] Shahīh Bukhāri, juz 1, h. 28.
[vi] Ibnu Hajar al-‘Asqalāny, Fath al-Bāry Syarh Shahīh Bukhari, juz 1, h. 237.
[vii] Raudlah at-Thālibīn wa ‘Umdah as-Sālikīn, h. 114.
[viii] Raudlah at-Thālibīn wa ‘Umdah as-Sālikīn, h. 114.