Judul : Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat
Penulis : Martin van Bruinessen
Penerbit : Gading Publishing
Terbitan : II, 2013
Tebal : 578 halaman
ISBN : 979-602-198056-5
Buku kumpulan tulisan Martin van Bruinessen ini menggambarkan intensitas pencarian kebenaran ilmiah yang sangat menarik yang dilakukan oleh para pakar kajian Islam dari negeri Kincir Angin. Selain sebagai sebuah proses berpikir yang benar-benar ilmiah, hasil karya ini juga mencerminkan sebuah upaya pencarian jati diri yang sangat menarik. Bermula dari upaya mengenal objek kajian berupa berbagai aspek kehidupan Islam di negeri ini, upaya pakar yang satu ini akhirnya berujung pada pemetaan masalah-masalah yang masih dihadapi oleh umat Islam di Indonesia. Karya ini berkesudahan pada kemunculan rasa empati pada kehadiran Islam di kepulauan katulistiwa ini.
Penelusuran Martin van Bruinessen terhadap pengaruh pesantren sangat kuat dari para ulama Kurdi dalam pengembangan tradisi keilmuan Islam klasik di kawasan Asia Tenggara. Melalui kajiannya yang mendalam tentang silsilah keilmuan (intellectual geneology) dan studi kritis atas buku-buku teks yang diajarkan di pesantren-pesantren sejak dua abad terakhir (ke-19 dan 20 M), menunjukkan betapa besarnya vitalitas cara-cara tradisional dalam menularkan ilmu pengetahuan yang diyakini oleh sebuah generasi kepada generasi berikutnya (Hal xii).
Dilihat dari pemetaan perkembangan tradisi keilmuan Islam klasik yang dilakukan atas kawasan Asia Tenggara itu saja, dengan keberhasilannya mengungkapkan sumber-sumber tradisi itu sendiri di tanah Kurdistan, Martin van Bruinessen telah memberikan banyak sumbangan yang sangat besar kepada kajian Islam di kawasan ini. Ia telah berhasil melepaskan tradisi keilmuan itu dari bayang-bayang para ilmuan sebelumnya, misalkan Drewes dengan referensi langsung kepada masa para Wali Songo. Sebuah upaya merujuk yang sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Namun pencarian kebenaran ilmiah yang dilakukannya itu tidak hanya terhenti di situ. Ia masih belum puas dengan temuannya tentang alur-alur sejarah keilmuan yang ditemukannya. Ia juga masih berusaha menemukan keterkaitan antara berbagai aspek tradisi tersebut.
Model Asing untuk Pesantren
Transmisi pengetahuan Islam belum bersifat formal dan terlembaga di madrasah sampai abad ke-10. Pada mulanya yang dipelajari di madrasah adalah mengutamakan fiqih (ilmu yang paling penting dari sudut pandang negara). Ilmu-ilmu lain terus diajarkan secara lebih formal di masjid-masjid (Makdisi, 1981:9). Pada zaman hubungan antara Indonesia dan daerah pusat Islam mulai menjadi intensif yaitu pada abad ke-17 dan ke-18, dua imperium Sunni (Utsmani yang menguasai hampir seluruh tanah Arab, dan Moghul di India) telah memiliki jaringan-jaringan madrasah besar yang berada di bawah pengendalian pemerintah dan menetapkan kurikulum baku.
Ketika mencari model Timur Tengah untuk pesantren, kita mungkin perlu memperhatikan – di samping madrasah – juga zawiyah. Bahkan tampaknya tidak mungkin orang Indonesia yang tinggal di Hijaz pada saat itu banyak berhubungan dengan madrasah di sana yang bermadzhab Hanafi, yaitu madzhab resmi Daulah Utsmaniyah. Tidak banyak terdapat persamaan antara kitab yang dikenal di Indonesia pada abad ke-16 sampai ke-18, dengan kitab yang menjadi kurikulum madrasah Utsmani dan Moghul. Beberapa kitab yang sama-sama dipakai di sini maupun di sana hanya dua karya tafsir, Jalaluddin dan Baidhawi (Hal. 102).
Secara eksplisit, diduga bahwa al-Azhar dengan riwaq-nya mungkin telah merupakan salah satu model untuk pesantren yang didirikan pada akhir abad ke-18 dan ke-19 begitu pula kurikulumnya. Sekitar pergantian abad lalu, pengaruh gerakan reformasi pendidikan India melalui Shaulatiyah mulai terasa. Dengan berdirinya Dar al-‘Ulum Indonesia di Makkah yang meniru Shaulatiyah dalam hampir setiap hal dan yang namanya mengingatkan kepada madrasah reformis Deoband dan Kairo.
Dunia Tarekat
Jauh dari hal-hal yang berbau kearaban dan keindiaan alias ketimurtengahan, di Indonesia dalam ranah perkembangan pesantren dunia tarekat juga mengiringi kebangkitan pesantren di berbagai pelosok. Indonesia merupakan salah satu negara yang keberadaan tarekatnya (Qadiriyah) dipengaruhi oleh India. Yang mana hal ini bisa kita lihat perkembangan tarekat di Aceh. Tarekat ini merupakan cabang dari tarekat yang berkembang di Gujarat, India Barat yang diprakarsai oleh Mir Nurrullah (Hal. 261-262).
Melewati perkembangan dunia tarekat, dunia Islam semakin memiliki dunia yang sangat unik untuk dikaji dalam perspektif social behaviour. Karena dengan dunia tarekat sebagai jaringan sosial, Islam yang berkembang semakin menemukan hal baru dalam bidang keagamaan-sosial. Sehingga keberadaan Islam melalui dunia pesantren dan pendidikan melaju dengan lejit dan pesat.
Melalui buku ini, Martin van Bruinessen mengungkapkan kitab-kitab kuning apa saja yang diajarkan di pesantren-pesantren di nusantara, bagaimana ia diajarkan, bagaimana penafsirannya, apa materinya, dan sebagainya. Di lain pihak, Martin menghubungkan kitab kuning ini dengan dunia pesantren itu sendiri dan dunia tarekat. Karena apa yang dianggap sebagai subkultur pesantren diyakini turun dari ajaran-ajaran yang termaktub dalam kitab kuning kemudian bertemu dengan tradisi-tradisi lokal.
Oleh/Peresensi : Junaidi Khab, Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya.