Menjadi Manusia Ideal, Bukan Manusia Standart

0
560

Hidup bukanlah sekedar persoalan bekerja mengisi perut, menikah, membesarkan anak, tua, lalu mati. Bagi seorang muslim hidup adalah amanah, amanah kepada Allah. “Dan tidak Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepadaKu”, begitu Firman Allah dalam Surat Az-Zariyat ayat 56.

Islam adalah agama yang mengatur umatnya dalam segala sendi kehidupan. Mengatur hubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia, alam, dan dengan makhluk lainnya. Sempurna. Semua aktivitas yang dilakukan untuk mengatur hubungan ini dinamakan ibadah. Ibadah tak melulu manusia hanya melaksanakan kewajiban terhadap Tuhannya, tetapi juga berbuat baik kepada sesama manusia, seperti menebar salam, menyingkirkan paku dari jalan, memberikan senyum, hingga memelihara dan memberi makan makhluk ciptaan Allah yang lain. Semua itu adalah ibadah, nama lain dari kebaikan.

Ibadah adalah kunci utama kesuksesan manusia di yaumil akhir nanti. Jika ibadah baik maka baik pulalah balasan yang akan didapatkan, pun begitu sebaliknya. Dalam ibadah Islam, ada kemuliaan-kemuliaan yang akan didapatkan secara berbeda kepada orang yang melaksanakannya. Diawali dengan niat yang baik dan pelaksanaan yang sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasul, maka faktor kualitas dan kuantitas ibadah tentunya yang akan membedakan kemuliaan yang akan diraih setiap pelaksananya. Maka betapa sempurnanya Allah yang memuliakan manusia dari makhluk lainnya ketika menyertakan akal dan hati dalam proses penciptaannya.

Sayangnya, kebanyakan kita lalai akan kebaikan atau yang kita sebut ibadah ini,  bahkan mulai cenderung menolaknya. Ketika kita tahu bahwa sesuatu itu adalah kebaikan yang dianjurkan dalam agama ini dan menjanjikan kemuliaan, akan tetapi banyak diantara ibadah-ibadah itu yang ternyata masih kita tinggalkan. Kita tahu kemuliaan akan shalat berjamaah, kemuliaan menebar salam kepada sesama saudara kita, kemuliaan mendahulukan bagian tubuh yang kanan dalam berpakaian, kemuliaan datang tepat waktu, kemuliaan bersedekah dikala susah, dan kemuliaan-kemuliaan lain yang tak sedikit itu. Tetapi tak jarang kita lalaikan berbagai kemuliaan itu.

Ketika diri merasa sedikit lelah kita cenderung menurunkan pandangan akan shalat berjamaah dan berfikir “tak apalah shalat sendiri saja hari ini”. Ketika bertemu saudara seolah bibir ini pelit untuk mengucapkan salam indah yang siap menebar kebaikan. Ketika merasa terburu-buru kita tak lagi merasa bahwa mendahulukan bagian tubuh yang kanan saat berpakaian sebagai suatu hal yang mulia. Ketika merasa malas kita cenderung berfikir “tak apalah sedikit datang terlambat”. Ketika merasa kita masih butuh  banyak hal, kita urung untuk bersedekah.

“Ini kan ibadah sunnah, tak apa jika tidak dilakukan”. Ia, mungkin ini adalah pendapat sebagian besar dari kita. Maka ketika kita sudah masuk dalam pemikiran yang lebih dewasa akan agama ini, maka pendapat seperti ini mungkin akan terasa aneh. Ya, aneh. Kita dengan mudahnya memandang rendah sesuatu yang telah Allah muliakan. Padahal Allah telah memuliakan kita dengan akal dan hati yang ketika kita memfungsikannya akan berbuah ilmu dan keimanan. Ilmu mengantarkan pada ketahuan dan iman yang akan memberikan keteguhan kepada pemiliknya bahwa ibadah-ibadah sunnah itu adalah kemuliaan lain yang telah Allah sediakan.

Maka masihkah kita merasa orang yang beriman dengan baik ketika kita sudah mulai terbiasa melalaikan kebaikan-kebaikan itu? Maka masihkah kita dengan mudahnya menurunkan kualitas diri dihadapan Rabb kita ketika ada sedikit kendala pada pribadi kita lalu menjadi alasan besar untuk meninggalkan kemuliaan? Hal yang rasanya selalu Rasulullah S.A.W hindari pada para sahabat.

Kita tentu masih ingat kisah Abdullah Bin Ummi Maktum saat dia menemui Rasulullah dengan harapan diberi keringanan untuk tidak bisa ikut shalat berjamaah setiap saat. Abdullah bin Ummi Maktum, sahabat yang tak bisa melihat itu pun tak diizinkan Nabi. “Apakah kau bisa mendengar suara Azan?” tanya rasul. “Ya”, angguk nya. “kalau begitu penuhilah panggilan itu”.

Hal ini jugalah yang kemudian berimbas pada pribadi-pribadi sahabat. Bagaimana Abu Bakar yang rela memasukkan tangannya kedalam mulutnya agar makanan yang baru dimakannya keluar seluruhnya. Makanan yang ternyata baru dia ketahui didapat dengan cara yang tidak halal. Bagaimana Ali yang memberikan makanannya kepada pengemis meskipun dia sendiri sedang dalam keadaan lapar. Bilal bin Rabah yang suara langkahnya didengar Rasul berada di Surga karena komitmennya menjaga wudhu. Atau seorang sahabat yang dijamin Rasul masuk surga dengan amalan andalan sebelum tidurnya memaafkan segala kesalahan saudara-saudaranya.

Kisah-kisah tersebut hanyalah sedikit dari kisah luar biasa sahabat dalam menjalankan komitmen mereka menjaga ibadah. Mereka mulia bukan karena hanya sekedar melaksanakan yang sudah diwajibkan, tetapi komitmen atas amalan-amalan sunnah yang membawa kemuliaan. Maka hiduplah dengan memandang kebaikan itu sebagai suatu kemuliaan, kemuliaan yang akan mengantarkan kita kepada keridhoan Allah. Jangan  membiasakan memandang rendah kebaikan sekecil apapun. Karena mungkin saja ketika kita mulai meninggalkan kebaikan-kebaikan yang lebih dan hanya mengerjakan sesuatu yang standar membuat kita menjadi hamba yang tak menarik untuk diperhatikan oleh Allah dan mungkin juga oleh orang lain. Sementara ketika kita membiasakan diri untuk memuliakan ibadah atau kebaikan-kebaikan itu, tentu meningkatkan perhatian Allah kepada kita dan dijadikanNya hati ini cinta akan keimanan yang terasa indah dan membenci kekafiran, kekufuran, dan kedurhakaan. Dengan selalu memperhatikan dari hal yang terkecil, seperti kesunnahan-kesunnahan, maka kita bisa menjadi manusia yang ideal, bukan hanya manusia standart.

Oleh: Rizli Ansyari

Tinggalkan Balasan