Di pojok asrama D 16 pesantren Salafiyah, sambil tertunduk lesu dengan ekspresi tanpa gairah, Nanang memegang surat dari adik perempuannya. Surat yang berisi tentang kabar Umi, seorang gadis manis yang selama ini Nanang kagumi dan telah menjadi bayangan terindah dalam lamunannya.
Namun, kini semuanya telah berubah, bersamaan dengan surat tersebut, adik Nanang memberi kabar bahwa Umi baru saja menjalin sebuah ikatan hati dengan seseorang yang masih tergolong satu angkatan dengan dirinya.
Melihat tingkah Nanang yang sedikit aneh, salah seorang teman dekatnya yang bernama Soleh datang menghampiri.
“Hai kawan, kuperhatikan dari tadi tingkahmu sedikit aneh, ada apa?”
“Umi, Leh ..” Jawab Nanang tanpa gairah.
“Umi .. ada apa dengan Umi? Sakit?”
“Nggak, dia sehat-sehat aja kok.” jawab Nanang sambil mencoba untuk tetap tersenyum meski ia tetap tidak dapat menyembunyikan kemurungannya.
“Lantas, kenapa kamu bertingkah seperti ini?” Tanya si Soleh sedikit heran.
“Dia udah jadian sama Uzan, ponakannya Ustadz Dadang.” Timpal Nanang lirih sambil kembali tertunduk lesu.
Mendengar jawaban Nanang, Soleh merasa iba dengan kondisi temannya yang satu ini. Sulit membayangkan bagaimana perasaan Nanang ketika itu. Gadis yang selama ini dia kagumi, kini telah menambatkan hati dan perasaannya terhadap orang lain.
“Yang tabah, Nang. Lantas, apa yang akan kamu lakukan setelah ini?” lanjut Soleh sambil memegang pundak Nanang penuh perhatian. Setelah terdiam beberapa saat, Nanang baru menjawab dengan nada yang lebih tegar namun masih terkesan dipaksakan.
“Entahlah, sepertinya aku akan tetap mempertahankan rasa ini sampai saat dimana dia memang benar-benar nggak bisa kumiliki lagi.”
“Hem… ya, aku mengerti dengan keadaanmu, kawan. Tetapi apa kamu serius dengan keputusanmu ini?” lanjut Soleh.
“Iya, Leh, aku serius, malah, dengan begini aku merasa tambah cinta sama dia.”
“Kalau nanti Umi tetap tidak bisa kamu miliki, lantas bagaimana?” Soleh melanjutkan dengan nada yang agak serius.
“Resiko, Leh, namanya juga cinta, cinta itu kan terkadang butuh pengorbanan, dan aku siap mengorbankan apa saja demi Umi.”
“Termasuk merelakan dia kalau nanti benar-benar nggak bisa kamu miliki?”
“Iya, karena bagiku cinta itu bukanlah masalah kalah atau menang, tapi bagaimana tetap mempertahankan perasaan tanpa memperdulikan apapun yang terjadi nantinya.” lanjut Nanang dengan pancaran sedikit semangat dari dirinya.
Sesaat, keduanya terdiam, larut dengan pikiran dan perasaan mereka masing-masing. Nanang bergaul dengan kegalauan, sedangkan Soleh dengan rasa prihatin terhadap kondisi temannya yang menurutnya terlalu berlebihan dalam bercinta. Beberapa saat kemudian, Soleh mencoba untuk kembali menghidupkan suasana.
“Aku hargai perasaan dan tekadmu itu kawan. Nggak mudah menemukan laki-laki yang mempunyai cinta dan pendirian seperti kamu, yang tetap berani bertahan tanpa memperdulikan apa yang akan kamu rasakan kemudian.” Soleh terdiam sejenak. Sambil menghela nafas, lantas dia kembali melanjutkan sambil menoleh kepada Nanang dengan mimik muka yang sedikit serius. “Tapi, menurutku, lebih baik kamu sedikit mencoba untuk memahami kaidah fiqh yang udah pernah kita pelajari bersama.”
“Kaidah fiqh? Kaidah fiqh yang mana maksud kamu?” timpal Nanang kurang paham.
“إِذَا تَعَارَضَ الْمَانِعُ وَالْمُقْتَضِى قُدِّمَ الْمَانِعُ”
“Artinya?” Nanang mengernyitkan kening tanda tak paham.
“Pengertian kaidah itu begini, jika ada suatu penghalang dan keinginan bertentangan dalam suatu keadaan, maka yang harus diprioritaskan adalah penghalangnya. Bener kan!”
“Iya, terus apa kaitannya dengan keadaanku?” tanya Nanang tambah penasaran.
“Begini teman,” lanjut Soleh sambil membetulkan posisi duduknya. “Kamu kan masih sangat cinta sama Umi, cinta itu menimbulkan keinginan dari diri kamu untuk memiliki dia. Memang, cinta itu tak harus memiliki, tapi akan lebih sempurna kalau apa yang kita cintai sekaligus dapat juga kita miliki. Bukan begitu?”
“Iya betul, lantas?”
“Nah, sedangkan di sisi yang lain, Umi sudah menjalin sebuah ikatan dengan Uzan. Jalinan itu kan pastinya menghalangi kamu untuk tetap berkeinginan memiliki dia.”
“Kok bisa?” Tanya Nanang agak kurang menerima.
“Lha iya, wong perasaannya Umi dah diberikan sama Uzan, berarti Uzan sudah memiliki perasaan dan simpati dari seorang Umi. Bukankah sesuatu yang udah dimiliki orang, tak bisa kita miliki?”
“Sementara sih seperti itu, terus?!”
“Berdasarkan kaidah barusan, dalam hal ini kamu harus memprioritaskan ikatan yang sudah terjalin antara Umi dengan Uzan. Tau nggak kenapa?” lanjut Soleh.
“Karena ikatan antara Umi dan Uzan menjadi penghalang keinginanku untuk tetap mencintai dia.” Jawab Nanang sigap.
“Cerdas. Lah itu sudah paham.” Ucap Soleh sambil cengengesan mencoba untuk mencairkan suasana.
“Jadi, menurut kamu aku harus berhenti untuk tetap mencintai dia?” Nanang bertanya dengan nada yang terkesan keberatan.
“Pasti! Lagipula, apa yang bakal kamu dapat ketika mempunyai keinginan untuk memiliki sesuatu yang sudah dimiliki orang?”
“Ngomong memang gampang, Leh! Dasar kamu nggak pernah merasakan cinta.” Tanggap Nanang dengan agak kesal.
“Lha kalau cintamu sudah terhalang? Dirimu bisa apa, sayang?” Soleh menanggapi kekesalan temannya sambil bergurau.
“Ya tetap mempertahankan cintaku dong, minimal sebagai pembuktian kalau aku benar-benar sayang sama Umi!”
“Terus, Umi bakal bilang ‘wow’ gitu?”
“Ah, dasar kamu, ngeledekin teman aja hobinya. Tapi menurut aku nggak selamanya bakal begitu, Leh…”
“Maksud kamu?” kini Soleh yang sedikit bingung.
“Maksud aku, nggak selamanya penghalang itu bakal menghalangi apa yang kita inginkan.”
“Kok gitu?” sergah Soleh.
“Karena, إِذَا زَالَ الْمَانِعُ عَادَ الْمَمْنُوْعُ , jika penghalang sudah tidak ada, maka yang dihalangi akan kembali ke posisi semula, yakni nggak terhalang lagi.” Nanang mencoba menjelaskan.
“Lantas, kaitannya dengan keadaanmu?” Soleh bertanya karena merasa masih belum mengerti.
“Ah, kamu kok nggak secerdas aku sih.” Canda Nanang disambut cengiran dari Soleh. “Begini, jika seandainya nanti ikatan antara Umi dan Uzan sudah ngga’ ada, berarti aku kan boleh untuk kembali mencintai dia.”
“Alah, itu sih cuma kemungkinan. Iya kalau nantinya mereka pisah, kalau nggak? dirimu bakal merana sendirian! Udah lah, kita bicara apa yang terjadi aja sekarang, perkara nanti, kita serahkan aja semuanya sama Tuhan.”
“He he, benar juga apa kata kamu.” Nanang mulai bisa tersenyum lepas Karena telah merasa terhibur dengan kehadiran Soleh.
“Nah, gitu dong, jangan galau terus. Pokoknya Qul Lâ Lî Galau, oke?! Tos dulu.” ucap soleh sambil mengangkat tangan kanannya disambut ayunan ringan dari tangan kanan Nanang. Plok!
“Eh, aku punya solusi lho buat masalah yang kamu hadapi saat ini.” Ucap Soleh tiba-tiba.
“Apa?” Tanggap Nanang singkat.
“إِذَا بَطَلَ الْأَصْلُ يُصَارُ إِلَى الْبَدَلِ” Lanjut Soleh kembali mengutarakan kaidah fiqhnya.
“Ciee… gayamu pake’ kaidah fiqh terus-terusan, apa itu maksudnya?” Nanang menanggapi sambil menjotos ringan lengan Soleh.
“Jika yang asli sudah nggak ada, cepetan cari ganti. Solusi paling mantap tuh di edisi ini.” Jawab Soleh sambil memegang dagu dengan mimik muka sok serius.
“Guayamu, itu resiko, Leh ..!”
“Kenapa?”
“Katanya, wanita itu perasaan banget. Coba kamu bayangkan kalau wanita yang aku pilih entar statusnya hanya dianggap sebagai pengganti Umi, bisa-bisa aku dicap sebagai laki-laki yang nggak mau menghargai wanita”
“Eits, jangan salah, karena بَدَلُ الشَّئِ قَائِمٌ مَقَامَ أَصْلِهِ”
“Kaidah lagi, apa itu maksudnya?”
“Sebagai sebuah penghargaan bagi wanita, terdapatlah kaidah fiqh barusan.” Ucap Soleh belum mau menjawab pertanyaan Nanang.
“Iya tapi maksudnya apa?” Nanang mulai kembali kesal.
“Eits .. sabar dong kawan, he he, begini. Ganti dari sesuatu itu posisinya sama persis dengan apa yang digantikan. Jadi kalau kamu sudah mendapatkan pengganti, kamu harus memposisikan dia sama seperti kamu memposisikan Umi di hati kamu, atau malah lebih diistimewakan. Paham!”
“Iya, aku paham. tapi tak semudah yang kamu bayangin, Leh…” ucap Nanang dengan nada datar. “Umi itu gadis istimewa, mencari penggantinya sesulit mencari jarum di tengah hutan.”
“Ho ho, jangan salah, wanita itu bukan jarum dan tempat mencarinya juga bukan di hutan. Memang, di sana banyak wanita, malah bermacam-macam bentuknya. Ada yang berkaki empat, melata dan yang hidupnya bergelantungan. Tapi, apa kamu mau dengan mereka? Kalau mau sih, ga’ usah repot-repot ke hutan lah, di rumahku juga banyak. Tinggal nyebutin aja mas kawinnya berapa. Ha ha!”
“Ya bukan begitu maksud aku.” Nanang mencoba membela diri.
“Ya sudah, aku maklum! Benar apa kata kamu, Umi memang gadis yang istimewa, sebenarnya nggak cuma kamu, aku pun juga sempat jatuh cinta sama dia.” Ucap Soleh sambil melirik Nanang.
“Sialan kamu.” Nanang mulai terpancing emosi.
“He he, santai kawan, hanya bercanda kok, meskipun sempat suka, tapi aku juga nggak mau mengincar sesuatu yang sudah diincar kawan dekat.” Ucap Soleh sambil merangkul Nanang penuh akrab.
“Ya sudah, hampir jam 8, sebentar lagi diskusi kelas mau dimulai, berangkat ke kelas yuk, berpikir ruwet di sana saja, nggak usah terlalu ruwet berpikir tentang cinta, kasian ma tu otak, entar karatan hanya gara-gara cinta.” Soleh mengajak sambil lalu mencoba untuk mengingatkan.
Nanang hanya bisa tertunduk lesu, teringat kembali akan wajah manis Umi yang selama ini menjadi bayangan terindah dalam angannya. Galau!
“Sudahlah kawan, Tuhan pasti sudah mengatur semuanya. Lagipula, gadis di pesantren ini nggak hanya satu.” ucap Soleh tiba-tiba. Nanang kembali mengernyitkan dahi pertanda heran dengan ucapan Soleh barusan. “Eh maaf, maksudku, nggak usah terlalu risau, gadis di dunia ini kan nggak hanya satu.” Ralat Soleh sambil cengengesan menjawab keheranan disambut gerutu ringan dari Nanang.
Teng, teng teng .. !! Bel berbunyi delapan kali pertanda semua santri harus segera berangkat ke kelas untuk memulai proses belajar.
(Img: akamaihd)