Mengunjungi tempat bersejarah di Jakarta bisa menjadi pilihan yang menarik untuk mengisi Ramadan. Mendalami jejak Islam dan keistimewaan masjid-masjid yang ada di Jakarta merupakan daya tarik tersendiri.
Kampung Arab Pekojan, Jakarta Barat, bisa menjadi pilihan wisata sejarah Islam. Perjalanan di tempat itu dapat dimulai dari Gedung Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) atau yang kini dikenal dengan Museum Bank Mandiri, kemudian dilanjutkan berkunjung ke Masjid Al-Anshor, Masjid Ar-Raudhoh, Masjid Zawiyah, Masjid An-Nawier, dan Langgar Tinggi.
Masjid-masjid ini memiliki keistimewaan tersendiri, seperti Masjid Al-Anshor, misalnya, yang merupakan masjid tertua di Jakarta. Didirikan pada 1648, masjid ini terletak di tengah-tengah permukiman warga.
Sedangkan Masjid Ar-Raudhoh dikenal masyarakat karena memiliki mata air yang tak pernah kering, meski musim kemarau. Bahkan kedalaman mata air di masjid yang berdiri sejak awal abad 20 itu tidak pernah diketahui hingga sekarang.
Masjid An-Nawier menerapkan konsep rukun Islam yang bisa dilihat dari jumlah pintu. Sisi kanan dan kiri masing-masing dilengkapi lima pintu, sesuai dengan rukun Islam. Sedangkan Langgar Tinggi memiliki keunikan pada lokasi yang menyatu dengan Kali Angke.
Dahulu, para pedagang dan tukang perahu dapat langsung menyandarkan perahunya untuk mengambil air wudu. Masjid yang dibangun pada 1829 ini menyediakan pintu khusus. Sayangnya, pemandangan Kali Angke di samping masjid ini tak lagi indah karena sampah.
Untuk mencapai sejumlah lokasi yang totalnya mencapai sekitar empat kilometer, akan terasa lebih asik dengan menggunakan sepeda ontel. Dengan sepeda tentu akan memudahkan saat menelusuri masjid-masjid tersebut yang letaknya di lokasi terpencil dan harus melalui gang-gang kecil.
Perjalanan budaya Islam juga bisa dinikmati di Mesjid Al Anwar, di Jalan Tubagus Angke Jakarta Barat, yang merupakan peninggalan tahun 1761 Masehi. Mesjid ini dibangun oleh saudagar Cina bermarga Liong.
Dikisahkan, Liong berteman baik dengan warga muslim keturunan Bali dan para prajurit Kerajaan Banten. Oleh karena itu, arsitektur mesjid ini merupakan perpaduan gaya arsitektur Belanda, Bali dan Cina.
Gaya arsitektur Belanda terlihat pada corak jendela mesjid, sedangkan gaya arsitektur Bali terlihat pada bentuk mihrob yang menyerupai pura, dan ukir-ukiran bunga teratai di pintu mesjid. Sementara gaya arsitektur Cina terlihat pada tiang dan dan atap mesjid yang memiliki hiasan lampion.
Selain menjadi tempat Dakwah Islam, masjid ini dahulu digunakan sebagai tempat menyusun strategi para pejuang muslim untuk mengusir kompeni dari Jayakarta, nama Jakarta pada waktu itu.
Sejumlah pejuang dan ksatria Kerajaan Banten pada massa kejayaan Sultan Fatahilah dimakamkan di tempat ini. Antaranya, Pangeran Tubagus Anjani, atau Tubagus Angke, yang kini digunakan sebagai nama Jalan Tubagus Angke. Kompleks Mesjid Angke ini menempati lahan seluas 300 meter persegi dan menyatu dengan pemukiman warga di Kawasan Tambora.
Tak hanya itu, Mesjid As Salafiah, yang terletak di Kawasan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur, juga termasuk mesjid tua bersejarah. Mesjid ini didirikan pada tahun 1619 Masehi oleh Pangeran Achmad Jakarta, yang merupakan cucu raja banten Maulana Hasanudin, yang juga di kenal sebagai Pangeran Jayakarta.
Setelah VOC atau kompeni menaklukan Jakarta pada tahun 1619, Gubernur Jendral VOC, JP Coen, memporak-porandakan masjid kesultanan Jayakarta yang terletak di Kawasan Kali Besar Timur. Kemudian, Pangeran Jayakarta beserta pengikutnya hijrah ke Kawasan Jatinegara kaum dan membangun mesjid ini.
Walaupun sudah berusia empat abad, mesjid ini masih kokoh berdiri. Empat tiang utamanya terbuat dari kayu jati hingga kini masih asli. Walaupun mesjid ini telah direnovasi dan diperluas sebanyak 8 kali. Atap mesjid yang bergaya arsitektur Jawa juga tetap di pertahankan keasliannya. Di samping mesjid, juga terdapat makam Pangeran Jayakarta beserta keluarga dan para pengikutnya.
Di wilayah Jakarta Selatan, juga terdapat mesjid tua, bernama Mesjid Hidayatullah, yang terletak di Jalan Jendral Sudirman, di tengah pusat bisnis ibu kota. Masjid ini kini terhalang oleh sejumlah bangunan tinggi di Kawasan Semanggi.
Padahal dahulu masjid ini merupakan masjid kebanggaan warga Betawi di kawasan Setia Budi. Mesjid ini dibangun sekitar tahun 1747 di atas lahan seluas tiga ribu meter persegi dan memiliki dua menara.
Pembangunan mesjid ini dilakukan secara bergotong royong, antara lain warga muslim Tionghoa, karena itu pengaruh gaya arsitektur Cina terlihat pada mesjid ini, yaitu pada atapnya, yang membentuk lengkungan tipis mirip kelenteng.
Keberadaan mesjid tua di Jakarta bukan hanya peninggalan bangunan bersejarah semata, tetapi juga sekaligus menjadi bukti sejarah peradaban Islam di Jakarta. (Viva)