Sejak semula, manusia diciptakan hanya untuk menyembah sang khaliq. Karena itulah tugas utama yang dibabankan, disamping sebagai khalifah di muka bumi ini. Itu pula yang menjadi ukuran derajat seseorang di hadapan rabbul āalamin. Namun, tabiat manusia dilengkapi dengan hawa nafsu, dan seringkali membuat manusia abai untuk beribadah kepada Tuhannya.
Demikianlah, sehingga hasrat untuk beribadah dalam diri manusia beraneka macam, karena pengaruh hawa nafsu, dia beribadah sekedar menunaikan kewajiban saja. Tanpa gairah untuk memburu ridla Sang Maha Kuasa.Ā Pokoknya bebas dari dosa lantaran lalai beribadah. Begitupun sebaliknya, sebagian malah mengerahkan seluruh kemampuan demi melakukan ibadah secara sempurna. Tidak hanya bebas dari tanggungan, tapi untuk menggapai derajat yang mulia di sisi Allah s.w.t.
Akan tetapi, jalan yang harus dilalui memang penuh lika-liku. Terkadang ada saja yang menghalangi keinginan untuk beribadah secara maksimal. Apalagi bagi kaum perempuan. Bila sudah datang bulan, mau tidak mau harus istirahat, bahkan sebagian besar ibadah menjadi haram dilakukan.
Sama halnya jika ramadhan telah tiba, kaum muslimah yang kedatangan ātamuā, sontak saja diharamkan berpuasa. Kendatipun demikian, tidak semua perempuan berpasrah diri dengan kondisi yang lazim ini. Karena itulah, mereka berupaya melakukan pengaturan datangnya haid. Bisa dengan mempercepat atau menundanya. Disamping untuk mengerjakan puasa secara utuh di bulam ramadhan. Ditambah lagi jika dia harus mengganti (mengqadlaā) di bulan yang lain, terasa begitu menyulitkan.
Sampai di sini, praktek semisal itu tentu memancing beberapa pertanyaan. Antara lain, apakah sebenarnya haid itu? dan, lebih baik mana melakukan ibadah dengan menunda haid atau biar saja haid itu berjalan alami?
Jauh-jauh sebelumnya, para ahli fiqh telah memberikan gambaran tentang apa sebenarnya haid. Mereka mendefinisikan bahwa haid adalah darah yanng keluar secara alamiah dari pangkal rahim perempuan saat kondisi sehat pada waktu-waktu tertentu. Bukan karena gangguan kesehatan ataupun melahirkan. Biasanya, haid mulai dialami oleh perempuan yang berusia kurang lebih 9 (sembilan) tahun hijriyah. (Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuh, I, 455).
Pandangan fuqahaā ini ternyata senada dengan argumentasi kedokteran. Secara sederhana, haid dilukiskan sebagai proses keluarnya darah akibat mengelupasnya dinding rahim. Hal itu karena rahim mengalami kekurangan zat kimia, disebabkan tidak adanya sperma yang membuahi sel telur. DarahĀ yang keluar tersebut mengandung banyak kotoran dan berpotensi menjadi penyakit.
Tidak hanya itu, keluarnya darah haid memiliki banyak manfaat. Bagi yang tidak hamil, keluarnya darah haid merupakan proses pembersihan rahim dari kotoran-kotoran yang terbentuk pada permukaan dinding-dindingnya. Secara alamiah proses ini akan berlangsung secara berkala dalam masa subur pada wanita-wanita yang sedang dalam kondisi sehat.
Sedangkan perempuan yang sedang hamil, tidak akan ada penumpukan kotoran pada didnding rahim dan darah tidak akan keluar, karena terlebih dahulu diproses menjadi sumber makanan bagi sang janin. Dan jika dalam keadaan menyusui, darah itupun akan menjadi air susu yang akan dikonsumsi oleh si bayi (John F. Knight, Wanita Ciptaan Ajaib, tt., 1917, Mughni Wa Syarh Al kabir 347, Fakhrurrazy, III, 69).
Pandangan seperti inilah yang menyalahi pandangan orang yahudi pada zaman Jahiliyah. Mereka enggan menggauli istrinya yang sedang haid. Karena darah haid dianggap sebagai kotoran yang menjijikkan sehingga menurunkan kehormatan seorang perempuan. Perempuan haid diibaratkan sedang ketiban kotoran. Hanya tidak boleh disenggamai, bukan malah dijauhi. Demikian al-qurāan menjelaskan tentang haid. (QS. Al-Baqarah : 222)
Untuk mempertegas firman Allah s.w.t. tersebut, dalam sebuah riwayat Nabi s.a.w. bersabda :
Ā āHaid itu adalah suatu yang ditetapkan Allah terhadap kaum perempuan bani Adamā(HR. Bukhari).
Dalam syariāat Islam, keluarnya darah haid ini berpengaruh pada pelaksanaan ibadah. Sampai disini, para ahli fiqh bersilang pendapat tentang apa saja yang haram untuk dikerjakan. Namun ada beberapa hal yang haram untuk dikerjakan. Antara lain, dilarang mengerjakan shalat, puasa, baik wajib maupun sunnah, sujud tilawah dan sujud syukur. Selanjutnya, diharamkan juga melaksanakan tawaf, lewat atau berdiam diri di masjid, menyentuh dan membawa mushaf, membaca al-qurāan, bersesuci dari hadats, baik besar maupun kecil. Sebagian menambahkan, perempuan haid haram ditalak atau diceraikan. Terakhir, haram melakukan senggama (jimaā). (al-Mabahuts, III, 152; al-Syiraj al-Wahhaj, I, 238; al-Fatawa al-Hindiah, I, 51-52).
Lebih jauh, ternyata keluarnya darah haid juga bisa ādiakaliā. Salah satu caranya, dengan mengkonsumsi obet-obetan tertentu yang berguna sebagai penunda atau mempercepat datangnya haid. Tentu saja, pengaturan ini disesuaikan dengan kebutuhan. Sebagai tamtsil, kebutuhan yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah. Di mana pelaksanaannya sangat terkait dengan datang bulannya seorang perempuan. Contohnya saja berpuasa dibulan ramadlan, sebagaimana disinggung di atas.
Tapi apakah praktik ini dibenarkan oleh Islam? Ternyata dalam beberapa literatur fiqh, para ulamaā menghukumi boleh praktik seperti itu. diantaranya, ulamaā Malikiyah dan Hanabilah memandang, bahwa pengaturan haid seperti mempercepat atau menunda hukumnya boleh (jawaz). Namun, dengan catatan pengaturan itu tidak menimbulkan efek negatif (dlarar) bagi si wanita dan menggunakan obat yang sudah dikenal (Fiqh āAla Madzahib al-āRbaāah, I, 126; Mughni Wa Syarh al-Kabir, I, 408).
Secara medispun, praktik seperti ini bisa dibenarkan, diiringi dengan pengawasan yang teliti sesuai standar ilmu kesehatan. Oleh karenanya, DR. Yusuf Qardlawi menambahkan bahwa pengaturan haid ini juga harus dikonsultasikan dulu dengan dokter yang ahli di bidang haid.(Fatawa Muāashiroh, I, 322).
Kaitannya dengan pelaksanaan ibadah, kebolehan pengaturan haid ini tentu tidak bisa dipukul rata. Artinya, belum tentu boleh melakukan pengaturan haid untuk semua jenis ibadah yang terkait dengannya. Sering dan tidaknya ibadah itu dilakukan, juga harus diperhatikan. Hal ini terkait untuk menghindari efek negatif yang mungkin saja terjadi. Meskipun pengaturan haid diperbolehkan, namun jika sampai menimbulkan kerusakan dalam tubuh, hukumnya tentu menjadi haram. Demikian disinyalir dalam sebuah kaidah ushuliyah yang berbunyai:
Ā āPada dasarnya setiap yang mengandung mudharat adalah haram dan yang mengandung manfaat adalah halalā.
Dari pada itulah, jika memperhatikan tingkat bahaya pengaturan haid itu, maka sangat mungkin melakukannya dalam jenis ibadah haji dan puasa. Apa alasannya? tentu saja karena kedua ibadah tadi memiliki rentang waktu pelaksanaan yang cukup panjang. Dengan demikian, kemungkinan timbulnya efek negatif menjadi kecil. Lain halnya dengan shalat yang sering dilakukan. Dapat dibayangkan jika kita terus-terusan menunda haid demi keinginan agar terus dapat melakukan, maka selama itu pula darah tidak keluar. Kondisi ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan. Oleh karenanya, mengatur haid untuk jenis ibadah shalat bisa dihukumi haram.
Selanjutnya, kalau memang mengatur haid itu diperbolehkan, manakah yang lebih baik dilakukan, antara meninggalkan ibadah karenaĀ datang haid atau menunda haid demi ibadah? Untuk menjawabnya, kita harus memperhatikan beberapa hal penting tentang ibadah tesebut.
Untuk ibadah haji misalnya, pertimbangan waktu dan biaya tampak paling menonjol, ibadah haji ini dilakukan sekali dalam satu tahun dengan menggunakan biaya yang tidak sedikit. Jika ibadah ini tidak dapat diselesaikan karena datang haid (pada saat tawaf) sehingga harus diulang (qadlaā) pada waktu yang lain, jelas akan sangat memberatkan. Siapa yang tahu dia tetap mampu pergi haji pada tahun yang akan datang, sementara qadlaā haji itu menjadi kewajibannya? Maka, demi menghindari hal itu, manunda haid adalah solusi yang tepat.
Sementara untuk ibadah puasa di bulan ramadhan, yang dapat menjadi pertimbangan diantaranya adalah kenyataan bahwa bulan ini mengandung beberapa keistimewaan dan keutamaan. Dalam bulan ini, Allah memberikan kemurahanĀ dengan melipatkan pahala ibadah, lebih dari bulan-bulan yang lainnya. Pada bulan ramadhan, pahala ibadah sunnah disamakan dengan dengan ibadah fardlu, sedangkan satu ibadah fardlu disamakan dengan tujuh puluh ibadah fardlu. (Iāanah al-Thalibin, II, 255).
Dalam keterangan lain dari Anas bin Malik, dikatakan bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya ; āBarangsiapa melaksanakan shalat jamaāah (pada bulan ramadhan) secara terus menerus, maka Allah akan membalas setiap rakaatnya dengan limpahan nikmat yang tak terhinggaā.
Tidak hanya keistimewaan ramadhan saja yang menjadi alasan. Akan tetapi, pada biasanya, puasa akan terasa ringan jika dilakukan bersama-sama. Oleh karenanya, jika harus mengulang puasa (qasdlaā) di bulan-bulan lain. Pasti terasa sangat memberatkan. Apalagi jika orang itu mempunya pekerjaan yang cukup padat. Sebagai jalan keluar, menunda haid boleh dilakukan. Bila perempuan tadi berkehendak untuk berpuasa secara utuh dan sempurna di bulan ramadhan. (Img: miUJw8ryhGE)