Memerdekakan Hati dari Penjajahan Birahi

0
474

Sebuah pepatah Arab menyatakan:  “Tiada yang paling berharga dalam hidup ini selain kemerdekaan,” Kemerdekaan memang sangat mahal karena untuk meraihnya dibutuhkan perjuangan dan pengorbanan, baik harta maupun nyawa.

Musuh abadi kemerdekaan adalah penjajahan, baik itu penjajahan fisik, penjajahan kedaulatan, maupun penjajahan hati.

Penjajahan hati, oleh hawa nafsu atau setan, merupakan penjajahan paling berbahaya, karena dapat menyesatkan manusia dari jalan yang benar.

Namun demikian, kemerdekaan yang paling bermakna bagi hidup manusia adalah kemerdekaan hati. Karena hati  pangkal segala kebaikan dan keburukan.

Sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya dalam diri manusia itu terdapat segumpal daging. Jika daging itu baik, maka seluruh perilakunya akan baik. Sebaliknya, jika ia buruk, maka seluruh perilaku menjadi buruk. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Muslim).

Misi profetik para Nabi pada dasarnya adalah memerdekakan hati dari segala bentuk penyakit dan jajahan hati. Di antara manusia ada yang hatinya berpenyakit iri, dengki, dendam, suka mencuri dan korupsi. Sedangkan jajahan hati yang paling berbahaya adalah hati yang bersikap dan berperilaku syirik kepada Allah.

Hati yang diliputi syirik senantiasa menjauhkan manusia dari tauhidullah(mengesakan Allah). Karena itulah Allah mengutus para Nabi-Nya agar memerdekakan hati umat manusia dari segala bentuk kemusyrikan.

Al-Qur’an mengisahkan bagaimana Nabi Ibrahim AS mencari tuhan dan berdialog dengan alam raya, sehingga akhirnya beliau menemukan tauhid sejati.

Mula-mula beliau melihat bintang, lalu bulan, dan menganggap keduanya sebagai tuhan. Namun, karena keduanya sirna dari pandangan mata, beliau tidak lagi mempercayainya sebagai tuhan.

Setelah itu, beliau melihat matahari dan dianggapnya sebagai tuhan karena matahari jauh lebih besar dari bintang dan bulan. Karena semua itu terbit dan terbenam, beliau berkesimpulan semuanya bukan tuhan. Tuhan yang sesungguhnya adalah Sang Pencipta langit dan bumi berikut isinya (QS. Al-An’am [6]:75-78)

Ketika menemukan kebenaran tauhid yang hakiki itu, beliau memproklamirkan diri: “Sungguh aku merdeka (terbebas) dari apa yang mereka sekutukan. [Karena itu] sungguh aku orientasikan hidupku (aku hadapkan wajahku) kepada Sang Pencipta langit dan bumi dengan penuh hanif (kejujuran hati untuk menerima kebenaran) dan aku sekali-kali tidaklah termasuk orang  yang menyekutukan Allah.” (QS. Al-An’am [6]: 78-79). Jadi, kemerdekaan yang hakiki adalah kemerdekaan hati dari kemusyrikan.

Memerdekakan hati dari kemusyrikan tidak hanya membuat hidup manusia bermakna dan bertujuan, tetapi juga dapat mengantarkannya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Kisah para penentang Rasul, seperti: kaum Luth, kaum Hud, Fir’aun, Qarun, hingga Abu Jahal dan Abu Lahab memberi pelajaran bagi kita bahwa  hati mereka itu telah membatu dan terpenjara oleh kesombongan diri, kekufuran, dan kemusyrikan.

Suatu ketika Abdullah ibn Umar bin al-Khattab pernah memerdekakan anak kecil yang memiliki iman yang luar biasa. Anak kecil penggembala domba di padang pasir ini pernah diuji olehnya.

Nak, bolehkah aku beli seekor domba darimu? “Tidak tuan, ini bukan dombaku,” jawab anak itu. Abdullah terus merayu: “Majikanmu pasti tidak tahu. Kalau pun majikanmu tahu bahwa domba berkurang satu, engkau kan bisa mengatakan kepada sang majikan, bahwa yang satu itu dimakan serigala.”

Abdullah tercengang dan tersentak hatinya ketika sang anak itu menyatakan: “Jika sang majikan tidak mengetahuinya, Faaina Allah?(“Kalau begitu, di manakah Allah?”).

Dengan menitikkan air mata  Abdullah menyatakan kepada anak kecil itu: “Jawabanmu  “Faaina Allah”  itu tidak hanya memerdekakanmu dari perbudakan di dunia, tetapi juga memerdekakanmu dari siksa api neraka di akhirat kelak.

Abdullah kemudian memerdekakan anak itu dari status menjadi budak pengembala kambing, dan memberinya kemerdekaan sebagaimana layaknya seorang anak.

Jika manusia dapat selalu memerdekakan hati dari penjajahan kemusyrikan,  kedengkian, amarah, keserakahan, sifat korup, dan sebagainya, nicaya hidupnya akan penuh kemuliaan, kedamaian, dan kebahagiaan yang hakiki.

Yang disebut orang yang kaya bukanlah karena kaya harta, tetapi karena kaya hati. Dan orang yang kuat bukanlah karena kuat tenaga fisiknya, melainkan karena kuat mengendalikan diri (hati)-nya.” (HR. At-Thabarani). Mari kita merdekakan hati kita dari segala penyakit hati, sehingga kita dapat mewujudkan hidup bahagia yang sejati. (Republika, img: dzikirpengobatanqolbu)

Tinggalkan Balasan