Ibadah puasa merupakan ibadah agung yang menduduki posisi puncak di atas ibadah yang lain. Ia memiliki keistimewaan yang tak dimiliki ibadah lainnya. Ada tiga alasan yang menyebabkan ibadah puasa sangat diistimewakan. Pertama, ia merupakan satu-satunya ibadah yang bentuk pelaksanaanya meniru sifat Allah, yakni tidak makan dan meninggalkan syahwat.
Kedua, ibadah puasa mengajak kita untuk menanggalkan diri dari jubah maksiat. Melatih kita untuk tidak makan dan minum. Keistimewaan ini tidak ada dalam ibadah lain, semisal haji, umrah, ihram, dsb. Sungguhpun dalam shalat, kita dilarang makan, tapi itu hanya dalam hitungan menit saja. Ketiga, pahala ibadah puasa hanya diketahui dan akan dibalas langsung oleh Allah.
Namun demikian, keistimewaan dan keagungan ibadah puasa bukanlah jaminan atas diterimanya puasa seorang hamba. Puasa yang diterima oleh Allah hanyalah puasa yang telah mencapai tingkat sempurna. Syekh Muhammad Nawawi menerangkan tentang langkah-langkah untuk mencapai tingkat puasa yang sempurna. Pertama, mencegah pandangan mata dari maksiat dan dari segala sesuatu yang dapat melupakan kita kepada Allah. Sabda Nabi:
اَلنَّظْرُ سَهْمٌ مَسْمُوْمٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيْسَ لَعَنَهُ اللهُ فَمَنْ تَرَكَهُ خَوْفاً مِنَ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ أَتاَهُ اللهُ إِيْمَاناً يَجِدُ حَلاَوَتَهُ
Pandangan adalah anak panah yang beracun (terbuat) dari anak panah syetan yang dilaknat Allah. Barang siapa meninggalkan pandangan karena takut kepada Allah, maka Allah akan memberinya secercah iman dimana ia akan merasakan manisnya iman itu.
Kedua, menjaga lisan (mulut) dari pembicaraan yang tidak berguna. Hindari perkataan bohong, mencela, menyinggung perasaan dan segala bentuk ucapan kotor. Kalaupun lisan kita hendak berbicara, maka berbicaralah tentang sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupan akhirat. Nabi telah mengingatkan kepada kita:
مَنْ لمَ ْيَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَ الْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَ شَرَابَهُ
Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak akan menerima (amalannya) dalam meninggalkan makan dan minum (berpuasa)
Ketiga, memelihara telinga dari mendengarkan hal-hal yang haram. Sebab, orang yang mendengarkan perbuatan haram sama saja dia rela dengan keharaman. Misalnya mendengarkan ghibah, maka dia dianggap bersekutu dengan orang yang berghibah. Nabi menjelaskan:
اَلْمُغْتاَبُ وَ الْمُسْتَمِعُ شَرِيْكَانِ فِى اْلإِثْمِ
Orang yang berghibah dan orang yang mendengarkan adalah berserikat dalam perbuatan dosa.
Selain tiga anggota badan tersebut (mata, mulut, dan telinga), tentu setiap ruas tubuh kita harus kita pelihara dari kotoran maksiat. Menjaga tangan dari perbuatan mencuri, melukai, membunuh dan semacamnya. Memelihara kaki dari berjalan untuk segala keperluan maksiat. Begitu seterusnya. Dengan demikian, seluruh inci tubuh kita harus benar-benar bersih dari noda dosa.
Keempat, menjauhkan diri dari makanan yang haram. Makanan dan minuman yang kita konsumsi untuk berbuka atau sahur harus halal. Mengkonsumsi makanan haram demi melaksanakan ibadah puasa ibarat orang membangung rumah lalu ia merobohkannya. Maka ibadah puasa itu akan sia-sia tanpa memberi manfaat apa-apa.
Kelima, mengurangi makan dan minum. Kita sering salah menjalani ritual puasa. Kita bukannya mengurangi makan, tetapi malah menambah porsi makanan. Aktivitas puasa tak lebih hanya sekedar memindah jam atau waktu makan. Padahal, tujuan utama dari puasa adalah menundukkan syahwat dan melemahkan nafsu dari gelora maksiat. Dan hal ini akan dicapai manakala kita bisa mengurangi makan dan minum (Maraqiyu al-‘Ubudiyah, 59-60)
Di samping lima cara di atas, ada satu hal yang sudah pasti dilalui oleh orang berpuasa, yaitu berpuasa harus didasari dengan keimanan dan keikhlasan. Dalam hal ini, Nabi telah mengajarkan kepada kita:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan dasar iman dan ikhlas, maka dosa-dosa (pada hari)sebelumnya akan diampuni.
Demikianlah langkah-langkah yang harus kita tempuh untuk mewujudkan kualitas puasa yang sempurna. Maka, agar puasa kita diterima di sisi Allah, perbaikilah kualitas puasa kita. Teguhkan hati dan bulatkan tekad untuk menjaga seluruh anggota badan kita dari perbuatan maksiat. Sungguh, apalah artinya kita meninggalkan makan-minum dan jimak, tetapi tingkah laku kita masih bergelimang dengan dosa.
Tentunya, semakin berkualitas ibadah puasa kita, maka semakin tinggi pula derajat kita di hadapan Allah. Karena itu, ulama’ membuat tiga kategori tingkatan orang puasa. Pertama, ‘awam, derajat orang berpuasa yang hanya sebatas menjaga diri dari hal-hal yang membatalkan puasa. Kedua, khawas, tingkatan orang berpuasa yang menjaga seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa. Ketiga, khawasul khawas, sebuah maqam dimana orang yang berpuasa tidak hanya menjaga anggota badan dari maksiat, tapi dia juga memelihara hatinya dari perbuatan dosa. Inilah derajat tertinggi bagi orang berpuasa (Qul Hazihi Sabiliy, 57)
Ketika status puasa kita sudah paripurna menurut pandangan Allah, maka Dia akan memberikan anugrah tak terhingga. Di antaranya adalah: (1) Allah akan mengampuni dosa-dosa orang yang berpuasa, sebagaimana keterangan hadits di atas (2) Allah membangun sebuah surga yang pintunya diberi nama “Rayyan”. Nabi bersabda: di Surga terdapat delapan pintu. Di antaranya, ada yang disebut Rayyan. Tidak ada yang masuk lewat pintu itu, kecuali orang-orang yang berpuasa.
(3) Lisan orang berpuasa akan harum melebihi harumnya minyak misik. (4) Puasa akan menjadi benteng yang menyelamatkan kita dari kobaran api neraka. (5) Allah akan menjauhkan orang berpuasa dari api neraka. (6) Akan mendapatkan pahala tanpa batas. Dalam al-Quran, surat al-Zumar ayat 10, Allah berfirman: Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah (berpuasa) yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (7) Dibalas dengan beraneka macam nikmat. Allah berfirman pada surat as-Sajadah ayat 17: Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan (puasa).
(8) Setiap gerak-geriknya bernilai ibadah. Dalam hadits yang diriwayatkan al-Dailami dijelaskan: Diamnya orang berpuasa itu tasbih, tidurnya ibadah, do’anya dikabulkan dan amal ibadahnya dilipat-gandakan. (9) Memperoleh dua kebahagiaan: ketika berbuka puasa dan ketika bertemu dengan Tuhannya. (10) Puasa akan memberi syafaat di akhirat. Nabi bersabda: Puasa dan Quran akan memberi syafaat bagi hamba di hari kiamat. (11) Pahala puasa (sunnah) tidak bisa dibandingi dengan emas seisi bumi.
(12) Mendapatkan minuman ketika kondisi sangat panas di akhirat nanti. (14) Setiap berbuka puasa akan ada orang yang terbebas dari api neraka. (15) Bila dia kuat dari godaan orang yang mengajak makan, minum, jimak, dll, maka malaikat akan mendo’akan selamat kepadanya. (lihat redaksi hadits dan ayatnya di kitab: Syarafu Ummati al-Muhammadiyah, cet III, 148-164 ; Qul Hadzihi Sabiliy, 57-62)
Sebenarnya, hikmah atau fadhilah puasa tidak hanya itu, masih banyak keutamaan lain yang tersembunyi di bailik keagungan puasa. Dan fadhilah itu tidak hanya dapat dinikmati di akhirat, tetapi bisa dirasakan langsung di dunia. Di antaranya adalah (1) Menjaga kesehatan tubuh (2) Membentuk pribadi yang bertakwa (takwa secara pribadi) (2) Menciptakan persatuan dan kesatuan, kedisiplinan, keadilan, persamaan dan kasih sayang (takwa secara sosial).
Selanjutnya, amalan shaleh apa saja yang dianjurkan dilakukan pada bulan Ramadhan yang penuh maghfirah dan rahmah? Sebetulnya, segala bentuk amal kebajikan sangat dianjurkan untuk dilakukan pada bulan puasa. Namun ada beberapa amalan yang tak bisa ditinggalkan di bulan Ramadhan. Terutama bagi hamba yang senantiasa dahaga dengan siraman karunia Allah.
Pertama, melakukan shalat malam (Tarawih). Nabi telah memberi kabar gembira bagi kita, “Barang siapa yang melakukan (shalat tarawih) dengan berdasar keimanan dan keikhlasan, maka dosa-dosa sebelumnya akan diampuni oleh Allah”. Kedua, Melakukan I’tikaf (terutama sepuluh akhir dari bulan Ramadhan). Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa, Rasul melakukan i’tikaf di sepuluh akhir dari bulan Ramadhan, sampai beliau meninggal dunia.
Ketiga, mengharap datangnya Lailatul Qadr pada sepuluh akhir dari bulan Ramadhan. Imam al-Ghazali menerangkan bahwa, paling utamanya hari dari bulan Ramadhan adalah sepuluh akhir. Pada kurun waktu inilah, bulan Ramadhan akan berhiaskan dengan Lalilatul Qadar. (Ihya’ Ulum al-Din, I, 224). Nabi bersabda:
تَحَرُّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Berjaga-jagalah atas (datangnya) Lailatul Qadr pada sepuluh akhir dari bulan Ramadhan.
Keenam, membaca al-Quran baik dengan membaca sendiri atau tadarrus. Menurut Rabi’, Imam Syafi’i sampai menghatamkan al-Quran 70 kali selama bulan Ramadhan. Sementara al-Buthi, salah satu teman beliau, menghatamkan al-Quran setiap hari di bulan Ramadhan. Sebab, bulan Ramadhan memang dikhususkan oleh Allah untuk Tartilul Quran dan turunnya Lailatul Qadr yang lebih baik dari 1000 bulan. (Qutu al-Qulub, II, 25 ; Ihya’ Ulum al-Din, I, 26)
Keempat, Melakukan umrah. Ibadah umrah juga dianjurkan dilakukan pada bulan puasa. Hal ini berangkat dari sabda Nabi: Melakukan umrah pada bulan Ramadhan itu membandingi ibadah haji. Ketujuh, bersedekah, baik sedekah wajib (zakat) atau tathawwu’ (sunnat), seperti memberi makanan untuk berbuka, membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim, dll. Berkenaan dengan anjuran sedekah ini, Nabi bersabda: Barang siapa menyediakan buka puasa, maka dia akan memperoleh pahala sebagaimana orang berpuasa tanpa terkurangi sedikitpun pahala darinya (yang berpuasa). Falyatadabbar…!