Menjadi seorang mahasiswa membuatku berangan-angan besar hingga menjadikanku aktif di unit kegiatan mahasiswa, pasukan suara merdu. Esensinya hanya satu, ingin pergi ke luar negeri. Kemana saja, yang penting luar negeri. Inilah jalan tercepat dan terdekat. Mengapa? Karena suaraku tak diragukan lagi. Setiap yang mendengarnya pasti mengatakan,”Bagus sekali, merdu!”
Sebenarnya tanpa jalan ini pun, aku tak akan susah ke luar negeri. Aku ini mahasiswa sastra. Asal aku cerdas dan mahir berbahasa, insya Allah dimudahkan. Tapi, hidup itu pilihan.
Kamis dan Selasa tentulah menjadi hari yang selalu dinanti. Itu jadwal latihanku di dua tempat yang berbeda. Hari kamis di stadion kampus dan selasa di kampus yang lokasinya di kota Bandung. Kampusku tersebar dibeberapa titik di kota Bandung. Anggota pasukan suara merdu yang membludak hampir mencapai tujuh ratus orang menyulap stadion kampus yang hijau menjadi tempat bernyanyi. Tujuan mereka masuk pasukan suara merdu dengan alasan yang berbeda. Bahkan, hampir semua mempunyai alasan sepertiku.
Aku belum terlalu banyak mengenal kawan baru di sini. Hanya memanaskan pita suara dan bernyanyi di tangga stadion tempat menonton, itu yang aku lakukan. Sangat sulit untuk berinteraksi dengan satu sama lain, apalagi senior. Kulihat tampilan mereka tampak borju, baik dari segi penampilan serta bahasa yang digunakan. Penilaian dari luar sangatlah tidak menjamin. Abaikan! Sungguh, jangan menilai buku dari sampulnya!
***
Tiga hari kedepan, aku akan bermalam bersama rekan pasukan suara merdu yang hanya tinggal seratus lima puluh orang. Yang lain sudah terseleksi oleh alam, hilang dari tempat latihan. Aku akan resmi dilantik menjadi anggota muda. Tas ransel kugendong ke tempat berkumpul. Banyak sekali kerumunan orang dan mobil truk TNI telah berjejer siap untuk dinaiki.
Acara pelantikannya sangatlah sayang untuk dilewatkan. Kami dikerjai oleh senior. Mulai dari pos to pos di malam yang menggigil menusuk tulang, mengharuskan kami bernyanyi. Ada juga pos yang mengajarkan kami menari sambil bernyanyi lagu bahasa latin. Kami tidak boleh lupa gerakan dan lagunya karena akan menjadi password untuk bisa bermain di pos berikutnya. Acara puncak adalah lomba bernyanyi. Setiap kelompok harus menyanyikan lagu wajib yang telah ditentukan di panggung hiburan. Pengalaman yang sangat berharga aku dapatkan. Syal merah hasil jerih payah yang aku kenakan dileher adalah bukti kebertahananku di sini.
***
“Kia, kau tak bisa diam ya? Jangan bernyanyi, berisik!” Sering sekali kata itu terlontar dari mulut ibu.
Di rumah, ibuku selalu naik darah mendengarku bernyanyi. Sejak kecil beliau telah menitipkanku ke banyak ustadz untuk dibimbing agar pandai mengaji. Cita-citanya adalah agar aku pandai tilawah. Beliau memang sudah paham betul bakatku. Namun, aku tak serius hingga akhirnya tidak pandai murotal dan tilawah.
Bergabung dengan pasukan suara merdu adalah hal yang nekat dan menentang ibu. Saat mengetahuinya, ibu hanya bilang,”Terserah!”
***
Seleksi alam masih terjadi setelah selesai pelantikan. Semakin sedikit saja orang yang datang untuk memanaskan pita suaranya di stadion. Aku mulai kenal banyak orang. Entah itu di jalan, kamar mandi, tangga fakultas, gerbang universitas, sering kali aku menyapa teman-teman pasukan suara merdu. Lumayan memperpanjang silaturahmi, walau banyak diantara mereka yang non muslim.
Jadwal latihan selalu diposting lewat dunia maya untuk memastikan ada atau tidaknya latihan. Aku buka facebook lewat ponselku. Kubaca sebuah postingan.
“Selamat malam teman-teman, akan diadakan audisi untuk konser tahunan pada hari Minggu pukul 10.00 di stadion (11/8). Lagu yang diaudisikan adalah lagu-lagu yang telah dipelajari sebelumnya. Ditunggu kehadirannya. Terima kasih.”
Mataku terbelalak melihatnya.
Konser tahunan adalah konser tour ke beberapa kota di Indonesia yang diselenggarakan setiap tahun. Kali ini akan konser di Bandung, Jakarta dan Manado.
“Aku harus lolos!” Ujarku dalam hati.
Hari audisi pun menghampiri. Semua peserta dibagi menjadi perkelompok, satu kelompok berisi dua belas orang dengan jenis suara yang berbeda. Ada suara rendah wanita yang disebut alto, suara tinggi wanita disebut sopran, suara tinggi pria disebut tenor dan suara rendah pria disebut bas. Aku sopran.
Saat audisi, ada banyak juri berjejer di hadapan kami. Ada lelaki yang memainkan piano. Setiap orang diharuskan mengikuti nada piano untuk mengetahui jangkauan nada yang bisa dia nyanyikan. Bisa saja yang asalnya alto berubah menjadi sopran. Kemudian diharuskan membaca not angka. Aduh, jantungku mau copot. Ada salah seorang juri pria hitam manis memegang alat untuk membunyikan ketukan nada. Kami akan mulai menyanyikan lagu yang diaudisikan dengan nada masing-masing. Nada sopran, alto, tenor dan bas. Gemetar badanku yang sedang berdiri.
“Buu..ngong jeumpa.. buungong jeumpa..” Suaraku tertahan ditenggorokan.
Orang-orang disampingku juga sama-sama tegang.
Aku tiba-tiba ingat ibu yang tak merestuiku.
Berdoa penuh pasrah, hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang. Pengumuman hasil audisi akan diumumkan lewat pesan singkat.
Sambil menunggu hasil, aku giat sekali datang latihan ke stadion untuk mempersiapkan konser dua angkatan termuda. Ini wajib, tanpa audisi. Latihannya menjadi sangat keras. Terkadang, aku pulang pukul sebelas malam. Rasa lelah mulai melemahkan tubuh.
***
Getar handphone membangunkan tidurku. Ada sebuah pesan singkat dari nomor tidak dikenal. Isinya,
“Selamat malam. Mohon maaf, kamu belum lolos audisi konser tahunan. Rajin latihan ya!”
Kantuk pun pergi dalam diri saat melihat layar handphone. Hatiku tiba-tiba menjadi sebuah kepingan yang terpisah.
Semenjak saat itu, aku jadi kurang berselera latihan. Kawan-kawan yang lolos audisi tampak sombong sekali dan merasa suaranya paling merdu. Mereka meremehkanku yang tak lolos. Biarlah, akan kubuktikan semuanya!
Latihan persiapan konser dua angkatan termuda menjadi gencar setiap hari. Sore hingga larut malam. Menjelang H-7, panitia membagikan selembar kertas berisi makna lagu yang akan dinyanyikan saat konser. Mataku melirik makna lagu klasik yang berasal dari Prancis. Aku kaget sekali saat membacanya.
“Lagu ini merupakan sebuah pujian untuk Yesus.”
Aku baca lagi makna lagu yang lain.
“Lagu ini merupakan kisah Joshua yang diambil dari kitab injil.”
Bimbang tak terkendali. Aku jadi malas ikut. Tapi, aku tak mungkin mengundurkan diri diwaktu yang mepet seperti ini. Apa aku ini telah menjadi kafir? Apa ini taktik para Yahudi untuk menghancurkan diri semua muslim di bumi?
***
“Aku takut sekali mendengar pasukan suara merdu menyanyikan lagu klasik kemarin, seperti suara orang bernyanyi di gereja.” Ujar Hana sambil duduk santai di sampingku.
“Iya, untuk apa sih ikut yang seperti itu? Kalau kamu suka nyanyi, mending nyanyi biasa aja.” Balas Rika sambil memakan donat keju.
Aku hanya menganggap ucapan mereka angin lalu.
Sebenarnya aku kuliah di Sastra Arab yang terkenal kental akan agama. Jurusan dan kegiatan mahasiswaku sangatlah bertolak belakang dunia dan akhirat.
Konser kemarin sukses memukau penonton. Tiket terjual habis. Kami masuk dalam berita koran.
***
Bulan suci mulai mewarnai hari. Libur telah tiba. Pasca konser, aku hanya pernah latihan sekali dua kali. Aku kira, tak kan ada latihan dibulan penuh berkah ini. Namun, latihan tetap rutin. Aku tak pernah hadir. Rasanya tak pantas berlatih sore-sore dibulan suci. Lebih baik menyibukkan diri dengan beramal saleh.
Televisi menarik mataku untuk memperhatikannya. Ada sebuah acara di stasiun televisi yang mengadakan lomba tahfiz Al-Qur’an. Para peserta lomba adalah anak-anak yang berkisar dari 3-10 tahun. Saat melihat aksi mereka di layar kaca, aku tak kuat menitikan air mata. Malu pada diri sendiri. Usiaku seperlima abad dan belum hafal Al-Qur’an. Yang kulakukan hanya bernyanyi, bernyanyi dan bernyanyi. Sedangkan mereka, anak-anak dengan semangat berapi-api menghafalkan surat-surat di Al-Qur’an.
Aku mulai ingat ibuku yang sejak dulu melarangku melagu. Ingat pula teman-teman yang sering menegurku. Serta perasaanku yang semakin meragu karena menyanyikan lagu yang berisi pujian untuk Tuhan agama lain dan bulan suci yang terus digunakan waktunya hanya untuk bernyanyi. Tolong, aku galau! Ada selintas pikiran untuk berhenti dari pasukan suara merdu.
***
Berpisah dengan bulan suci membuat hampa diri. Mulai beraktivitas normal seperti biasa. Job-job bernyanyi semakin berdatangan. Apalagi sebentar lagi hari kemerdekaan.
Sudah lama aku tidak latihan. Hari ini aku memulai latihan kembali untuk mengisi job kemerdekaan. Bis damri melaju dengan kencang sekali. Jalanan kota bandung lengang. Aku datang tepat waktu.
Saat bernyanyi, ada perasaan tak nyaman. Apa yang sebenarnya membuatku tidak nyaman? Orang-orangnya kah? Itu salah satunya. Lagu-lagu kemerdekaan belum selesai dinyanyikan semua. Setengah lembar dari buku partitur lagu menanti untuk dinyanyikan. Adzan maghrib telah berkumandang. Latihan diberhentikan sejenak dan akan dilanjutkan pukul 18.30 malam. Aku bergegas menuju masjid dengan Hasna.
“Hasna, sepertinya aku tidak akan ikut latihan sesi dua. Aku mau pulang saja, takut dimarahi ibu.”
“Yah, nanti aku sendiri.” Hasna tampak sedih.
Dia adalah sahabat terbaikku di pasukan suara merdu.
Selesai melaksanakan shalat, kakiku melangkah jauh dari masjid. Aku menaiki kendaraan umum untuk sampai ke rumah. Ada rasa bersalah saat datang latihan hari ini. Entah mengapa.
Keesokan harinya, aku mendapatkan pesan singkat untuk hadir latihan gladi sore hari. Daripada aku merasa tidak nyaman, lebih baik aku mengundurkan diri. Akhirnya aku mengundurkan diri. Bahkan memutuskan untuk berhenti.
Aku berjanji bahwa kemarin adalah terakhir kalinya aku berlatih. Sudah kupikirkan hingga membuat kepala berputar. Keinginan untuk berhenti tetaplah menjadi yang paling besar. Banyak cara menuju ke luar negeri, tidak hanya lewat pasukan suara merdu. Mungkin bukan rezekiku di sini. Aku ingin menjadi seorang muslimah yang baik dan soleh saja.
Bulat dengan keputusanku, aku berusaha mencari kesibukan lain. Kini, aku kuliah sambil pesantren tahfiz Al-Qur’an di Bandung. Semoga aku bisa menjadi seorang hafidzah dan wanita salehah. Amin.
Oleh: Sri Hidayanti, Margasih Bandung.
Img: i1.ytimg