“ Udah nyusun agenda buat hari ini? Udah sholat dhuha? Udah belajar? Udah baca buku? Udah baca Qur’an berapa juz ? Materi buat mata kuliah besok gimana? Udah disiapin? Udah ke toko buku? Minum vitamin udah, kan? Pokoknya jaga kesehatan disana jangan lupa”
“Ssttt,ssst,sstt. Banyak banget sih pertanyaannya aku gak bisa jawab, nih”
Aku tersenyum lagi saat melihat rekaman video call itu yang direkam empat tahun yang lalu, aku merindukannya, senyumnya, ocehannya, nasihatnya, setianya, percayanya, beraninya. Semua tentangnya bersama kenangan kami di kota kelahiranku.
Disinilah aku sekarang, New York. Kota yang tak pernah tidur, kota yang selalu sibuk seperti tak ada kata istirahat untuk sekedar menghela nafas di kota ini. Aku ditemani jilbabku, mencoba memijaki kota yang banyak orang bilang adalah kota anti Islam, penduduknya mayoritas beragama Katholik gereja ada disetiap dua blok kompleks perumahan. Tapi aku tak khawatir aku masih memegang teguh jilbab ku.
Beasiswa di Universitas Columbia dengan jurusan Seni dan Sains mengantarkanku menjadi pemilik perusahaan produk kecantikan di Kota ini. Bahkan tak hanya di Kota ini saja, produk kecantikan yang berlabel halal disetiap kemasannya itu telah merambah keseluruh penjuru dunia mengalahkan merk-merk terkenal yang sebelumnya beredar disana. Alhamdulillah..
Aku mahasiswi pertama yang mengenakan jilbab di jurusan itu, orang-orang disana sempat memandangiku sinis, tapi karena kebijakan kampus yang memperbolehkan aku mengenakan jilbab aku jadi tak khawatir. Hari pertama ku disini cukup menyenangkan aku bisa cepat berbaur dengan teman-teman baik yang satu jurusan ataupun dari jurusan lain. Di asrama aku satu kamar dengan Sarah seorang Amerika, kehidupannya bebas bahkan Ia tak memegang teguh agamanya. Juga dengan Karina, gadis hitam manis asal India ini seorang yang ramah dan Hindustan yang sangat patuh pada agamanya. Kami bertiga bersahabat dengan segala perbedaan yang kami miliki.
New York : 02.30 a.m
Suasana hening mulai menyelimuti asrama dengan bangunan klasik bergaya kastil kerajaan Inggris ini, hanya ada tiga tempat tidur di setiap kamar dalam asrama. Luas setiap kamar cukup untuk ditempati tiga ranjang tempat tidur, meja belajar dan lemari yang cukup besar, tidak terlalu buruk bahkan ini sangat cukup bagiku. Sejenak ku perhatikan kesekeliling, menyaksikan kedua sahabatku tertidur pulas, lucu juga. Lalu ku lihat keluar kamar yang kebetulan kamar yang aku tempati ini persis menghadap langsung ke tepi jalan, disana pun suasana masih hening. Tapi ditengah kebisuan malam itu aku tak mendengar suara orang mengaji ataupun adzan awal dari pengeras suara di masjid. Astaghfirullah, aku lupa ini New York bukan Indonesia tempat kelahiranku.
Aku berjalan menuju toilet asrama menelusuri lorong-lorong yang remang oleh cahaya kuning bola lampu, ku basuhkan air wudhu yang mengalir dari washstand modern yang terpasang disetiap sudut toilet yang jauh dari kata kotor. Alhamdulillah, amat menyejukkan. Ku gelar sejadah coklat teduh pemberian Ibu dari Baitullah ku kenakan mukena berwarna putih bersih ini, ku dirikan sholat malamku dengan perlahan sambil tak henti mengucap syukur disetiap sujudnya. Setelahnya ku lantunkan ayat suci Al-Qur’an dalam suasana damai di heningnya malam ini.
Tilawahku terhenti saat ku dengar ketukan keras yang terdengar dari pintu kamar asrama lalu seseorang berteriak dengan keras diikuti suara gaduh dari kira-kira belasan orang yang menyertainya hingga membangunkan Sarah dan Karina.
“HEY! YOU! MOESLEM! THIS IS NEW YORK! YOU CAN’T READ YOUR BOOK AT HERE! YOU’RE DISTRUBING!”
Astaghfirullah, aku masih terpaku menahan rasa takut dan ingin menangisku dengan memegang erat mushaf merah muda dengan garis putih menghiasinya. Sarah langsung memelukku dan air mata pun tak terbendung akupun menangis dalam peluknya. Samar ku lihat dari balik bahu Sarah foto bukit favoritku di Kota Kembang, semakin menambah tangisku karena teringat seseorang.
Kerusuhan tadi malam membuatku berusaha keras untuk tak berubah hari ini, meskipun mereka yang “memprotes” itu berbeda fakultas denganku tetap saja aku merasa was-was. Apalagi ini hari-hari pertama aku pergi sejauh ini jauh dari siapapun yang aku kenal. Aku buka laptop-ku lalu terhubung pada e-mail pribadiku. Fariz, Ia mengirimiku foto pemandangan Kota Bandung lagi. Ya Allah aku semakin ingin pulang. Terlebih setelah kejadian tadi malam yang cukup membuat mentalku tergoncang hebat.
Aku meluncur melalui dunia maya bercerita seakan Ia ada disampingku, berkeluh kesah seakan Ia akan datang lalu mendatangi orang-orang semalam dengan gagah dan bijaksananya lalu mengatakan padaku semua akan baik-baik saja diiringi senyumnya. Perbincangan yang tak lebih dari tigapuluh menit itu Ia akhiri dengan menenangkanku sekali lagi.
“Kamu pasti kuat wa, aku yakin kamu bisa. New York ada dalam genggaman tanganmu mulai dari saat ini, saat pertama kau ada disana. Aku selalu menunggumu disini Annisa Zahwa Khalifa”
Kalender yang terpampang di dinding kamar menunjukkan sudah dua bulan aku berada disini, dan selama itu pula aku masih sembunyi-sembunyi untuk membaca Al-Qur’an. Sampai pada suatu ketika Sarah mendatangiku yang tengah membereskan mukena dan sajadah seusai sembahyang Ashar sore itu.
“Wa, be your self. You’re moeslem, show your identity”. Aku yang tak begitu mengerti maksud perkataan Sarah hanya terdiam, tapi Ia melanjutkannya lagi.
“Your personality, your conviction change my life”
Lalu kami berbincang lebih dalam.
“Tilawahmu setiap malam membuatku terganggu. Entah mengapa badanku seolah mengeluarkan keringat dingin kala satu persatu nadanya masuk melalui gendang telingaku dan seolah merasuk hingga membuat ruh yang ada dalam jiwa ini ikut bergetar. Sempat aku bertanya pada diri sendiri sihir apa yang kau lantunkan hingga aku menjadi begitu lemah saat lambaian lembut kitabmu itu merasuki hatiku dari lapis kelapisnya. Dan Zahwa aku minta maaf, qur’an terjemahanmu yang hilang seminggu lalu itu ada padaku, karena aku sangat ingin tahu apa isi kitab yang kau baca hingga membuatmu menangis terisak-isak saat membacanya dalam sholatmu. Kini, aku tahu apa isi kitabmu itu, tapi aku tak mengerti. Ini aku kembalikan, maafkan aku ya Zahwa.”
Aku masih terdiam sampai Ia berlalu menuju muka pintu lalu terhenti dan menoleh padaku.
“Zahwa, jangan berhenti mengaji. Tunjukkan identitasmu sebagai muslim sejati, suatu saat aku akan memintamu untuk menjelaskan apa yang tak aku pahami.”
Subhannallah, Maha Suci Allah yang mengendalikan setiap hati manusia.
Hari-hari disini tak terasa begitu berat lagi, meskipun tatapan-tatapan sinis masih kudapati saat menunggu kereta di stasiun atau saat sedang berjalan-jalan di supermarket bersama Sarah dan Karina. Tapi aku hanya tersenyum menanggapi semua itu. Aku ingin buktikan pada dunia bahwa Islam adalah agama peneduh semua jiwa, bukan agama yang menjadi biang kerusuhan aksi teror di berbagai Negara yang mereka kira selama ini. Sekali lagi aku ingin buktikan dengan segala kelemahanku melalui hati dibalik dada yang tertutup jilbab ini bahwa Islam bisa berkibar dengan jaya dibawah kepemimpinan bendera dengan garis merah putih dan bintang dengan latar berwarna biru sekalipun.
Waktu setengah tahun telah amat mempersatukan aku, Sarah dan Karina. Terlebih kami satu kelas di jurusan ini. Aku seakan tengah menjajaki halaman Taj Mahall saat Karina menceritakan India dengan ratusan tradisi dan kultur budayanya. Tarian dan nyanyian yang ku saksikan di film-film bollywood saat disekolah dasar terasa nyata saat Karina sendiri dengan lincahnya kesana kemari menarikan tarian Mohini Attam yang merupakan tarian klasik tertua India lengkap dengan kain sarinya. Kami tertawa terbahak-bahak karena menyaksikan lucunya raut wajah Karina yang manis seperti meloncat kesana kemari mengikuti tariannya.
Suasana terkadang menjadi haru saat Sarah dengan perlahan menggambarkan betapa hancur keluarganya, Ayah yang pergi begitu saja dengan Sosialita New York tanpa meninggalkan kata cerai pada Ibunya yang kini ada di pedalaman Amerika mencari uang untuk sebotol whisky hingga mengabaikan Sarah anak perempuan satu-satunya yang Ia miliki. Karena tekad kuat untuk tak mengikuti jalan kelam yang membuat keluarganya seperti saat ini. Sarah pun tinggal bersama Paman dan Bibi yang tak kalah tak mempedulikannya juga, tapi tak ada pilihan lain. Selama bersekolah di tingkat menengah atas Ia habiskan tiga tahun dengan bekerja didepan penggorengan restoran pizza cepat saji dan mengurus pekerjaan rumah karena Paman dan Bibi Sarah pun tergolong orang yang sangat sibuk di New York dengan pekerjaan yang hanya itu-itu saja setiap harinya.
Namun, saat semester terakhir kantor tempat bekerja Paman dan Bibi Sarah mengalami pailit hingga jatuh sejatuh-jatuhnya. Semua pekerja di PHK tanpa uang pesangon sedikitpun, dari situ Paman dan Bibi Sarah yang belum dikaruniai anak hingga di usia pernikahan yang menuju 18tahun itu akhirnya menyekolahkan Sarah ke Universitas Columbia dengan tabungan seadanya. Dan berharap suatu saat Ia bisa membangun kembali perusahaan milik Paman dan Bibinya itu suatu hari nanti.
“Aku takkan pernah meyia-nyiakan waktu saat ada disini”. Itu yang selalu Sarah bilang ketika sulitnya tugas berkecamuk bersama waktu yang sempit atau saat uang saku tak lagi cukup untuk membeli buku referensi yang dibutuhkan. Sarah memang wanita tangguh, tak sangka aku menemukannya di tengah-tengah Amerika yang notabene adalah Negara serba modern karena memiliki teknologi-teknologi canggih yang membuat siapa saja yang mendengarnya tercengang kagum.
Cerita tentang Indonesiaku yang sederhana seakan telah menjadi dongeng sebelum tidur untuk Sarah dan Karina. mereka terbuai damai mencerna setiap kata yang menggambarkan tentang bumi hijau Nusantara. Dengan dagu yang ditopang telapak tangan mereka sesekali terpejam membayangkan indahnya pegunungan-pegunungan yang menjulang mengelilingi suatu Kota. Belum lagi kesejukkan hamparan perkebunan teh yang luasnya berpuluh-puluh hektar dengan kualitas teh terbaik seantero Bumi Pertiwi. Mereka juga merindukannya, meski hanya terlintas lewat imajinasi. Apalagi aku, aku sangat merindukan Indonesia tempat bernaungku.
Sampailah aku pada penyusunan skripsi dan sidang di semester terakhir dengan mengusung tema skripsi mengenai “Implementasi Sains for Art”, aku meneliti tentang bagaimana Sains bisa dinikmati dengan mudah tanpa orang memandang sulit seperti dengan mudahnya orang menikmati Seni. Berbagai hipotesa tentang tema tersebut aku cari hingga ke pelosok perpustakaan New York, tak lupa observasi langsung pada Universitas-Universitas dan Komuntias Seni se-New York. Dengan mengorbankan separuh waktuku untuk tidur setiap malam, Alhamdulillah aku mendapatkan cum-laude dengan nilai paling tinggi yang didapat satu Fakultas itu.
Bahagianya aku saat wisuda Ayah, Ibu, Zafira adikku dan ketiga sahabatku Ilhamy, Nurjanah juga Rosi mengunjungiku di New York. Suatu kejutan karena biasanya aku yang pulang selepas libur Tahun Ajaran baru. Tapi sosok lainnya pun turut hadir tanpa disangka, Fariz. Sudah sejak SMA kami bersahabat baik, tapi Ibu bilang aku dan Fariz tidak hanya sekedar bersahabat, entahlah aku tak tahu apa yang Ibu maksudkan. Tapi aku tahu memang ada perasaan yang lain antara aku dan Fariz, aku hanya tertunduk tersipu malu saat Fariz melakukan hal yang sama.
Karina sudah lebih dulu mendapatkan pekerjaaan di sebuah Laboraturium Penelitian tersohor di New York sesekali, kami bergabung untuk menikmati Weekend bersama dengan Sarah. Sarah, dua tahun yang lalu tepat saat semester ke-empat Ia mengejutkanku dengan memakai sebuah mukena berwarna krem yang Ia beli di supermarket terdekat. Dibalik mukena itu aku mendengarnya membaca Al-Qur’an dengan masih terbata-bata. Aku menangis haru menyaksikan semua itu. Kini, Ia melanjutkan kuliah di Al-Azhar dengan jurusan Tafsir dan Ilmu Al-Qur’an. Subhannallah.
Setelah lulus kuliah aku tak buru-buru kembali ke Indonesia, aku menuntaskan karirku berjualan kosmetik kecil-kecilan lalu bekerja di Laboraturium kosmetik merk tersohor disana. Tapi meskipun produk merk terkenal dan harganya yang selangit untuk setiap kemasannya, aku ragu dengan kehalalan bahan baku produk tersebut. Akhirnya dengan modal tabunganku selama bekerja di Mc’donals aku akhirnya mendirikan perusahaan kosmetik dengan Laboraturium “pinjaman” dari kampus. Dua bulan pertama memang belum terlalu terlihat hasilnya, tapi karena banyak investor yang memang masih teman-teman satu kampusku dulu akhirnya aku bisa mendirikan perusahaan besar dalam waktu enam bulan.
Tak aku sangka produk yang awalnya hanya terpajang di etalase toko-toko kecil, kini telah terpampang di pameran-pameran Internasional dan dijual diseluruh penjuru New York. Sikutan-sikutan tajam para pengusaha kosmetik dengan brand terkenal tak menyurutkan langkahku membuat aman setiap konsumen dengan membuat kosmetik tanpa efek samping dan memberikan berkah untuk pemakainya. Meskipun berlabel halal disetiap kemasannya, orang-orang “kulit putih” pun tak ragu memakainya.
Satu tahun pertama, aku telah dirikan sekolah-sekolah dasar di pelosok Amerika. Lalu memberikan fasilitas pendidikan dan layanan masyarakat di kota-kota Afrika yang sarat akan kemiskinan. Targetku kini, membangun kembali Palestina dengan anak-anaknya yang luar biasa. Tak lupa kembali ke Indonesia memupuk bangsa dengan semangat juang, tekad kuat dan nilai-nilai Islam. Agar kelak bangsa ini maju, dan bisa setara dengan Negara Adidaya Amerika yang pernah ku pijaki. Insya Allah.
Oleh: Afifah Ruwaidah
Img: