“Hati-hati ya, Nak. Jaga diri baik-baik. kamu itu perempuan, jangan sembarangan. Jaga kehormatan, shalatnya jangan ketinggalan, jangan ikut-ikutan teman yang tidak baik, jangan suka keluar malam, hati-hati kalau bergaul, jangan ikut pergaulan bebas, jangan lupakan ajaran agama, kuliah yang benar, jangan buang waktu sia-sia….” itulah sederet nasihat Ibu Nabila saat hendak berangkat ke kota.
Dengan penuh rasa haru Nabila mencium tangan ibunya dan meyakinkannya bahwa ia akan baik-baik saja.
“Iya, Bu. InsyaAllah Nabil nggak akan melupakan pesan, Ibu. Doakan Nabil ya, Bu.”
“Iya, Nak. Ingat, sekolah tinggi prilaku juga harus bijak ya.”
“Iya, Bu”.
Pelukan hangat dan doa mengantarkan kepergian Nabila ke kota, menuju tempat asing yang belum pernah dijamahnya. Tempat asing yang penuh tantangan dan cobaan.
Di perjalanan Nabil membuka amplop pemberian ibunya.
“Apa uang ini cukup, Nak. Ibu hanya punya segini” kata Ibu Nabila lirih.
“Seadanya saja, Bu. Nanti Nabil cari yang murah. Kata teman harganya macem-macem kok, Bu, ada yang murah ada yang mahal. Yang murah memang fasilitasnya kurang tapi nggak apa-apa yang penting bisa buat istirahat” jawab Nabil tenang.
“Andai saja Ibu punya uang banyak, Nak. Kamu bisa menyewa yang mahal, biar nyaman”. kata ibunya.
“Alah, Ibu, kalau terlalu bagus nanti keenakan. Yang penting bisa istirahat dan belajar kan sudah cukup, Bu.” tandas Nabila.
“Ya sudah terserah kamu”.
***
Sudah hampir setahun lebih Nabila indekos. Meski banyak kriteria kos-kosan ideal yang dicarinya namun karena tanpa dukungan kantong tebal, kos-kosan murah pun akhirnya jadi pilihan.
Yang murah pastilah tak mewah dan tidak aman. Betapa tidak, siapa saja boleh keluar masuk di asrama Senja, nama kos-kosannya itu, tanpa gerbang dan satpam pula. Penghuninya pun beragam, cowok, cewek, dan yang sudah berumah tangga. Bahkan tak ada larangan bagi para penghuninya untuk membawa siapa saja ke dalam kamar bahkan tinggal bersama dengan pacar atau apalah namanya.
***
Setahun yang lalu, ucapan bismillah mengiringi langkah pertamanya menginjakkan kaki di ruangan kecil di asrama itu, bakal tempat tinggalnya selama kuliah. Bahagia dan was-was beradu dalam pikirannya. Bahagia sebab kini ia punya tempat tinggal untuk sekedar beristirahat setelah seharian beraktifitas di kampus dan tempat untuk belajar tentunya. Namun kekhawatiran pasti selalu membayanginya dengan kondisi asramanya itu. Ancaman bisa saja datang kapan saja tanpa bisa diduga dan yang paling dikhawatirkannya adalah jika ia terpengaruh dengan lingkungannya yang buruk itu.
“Astagfirullahal adzim, ya Allah jagalah hambamu ini. Tetapkanlah hati hamba dalam kebaikan dan jadikan hamba orang yang berpegang teguh pada ajaranmu kapan dan dimana saja. Peliharalah hamba, Ya Allah” pintanya di penghujung shalat malam yang ia lakukan secara rutin.
***
“Nabila ya namanya” tanya tetangga di sebelah kamar Nabila.
“Iya, nama saya Nabila, Kak” jawab Nabila pada tetangga laki-laki yang lebih tua setahun darinya. Mahasiswa di kampusnya juga.
“Wah, ada cewek cantik lagi nih di asrama kita”
“Iya, ada lagi yang manis, hehehe” seru dua orang teman lain yang duduk di teras asrama.
Nabil tidak menggubris celoteh genit tetangganya itu. Ia hanya tersenyum dan masuk membenahi kamarnya .
“Huff mereka sebenarnya baik, tapi jangan sampai berbaur terlalu dekat atau membuat masalah dengan mereka” desahnya dalam hati.
Sebagai anak baru, Nabila masih merasa canggung dengan para tetangganya namun ia mencoba untuk mempelajari karakter mereka masing-masing.
***
Seminggu sudah Nabil tinggal di asrama itu. Jantungnya berdetak selalu kencang. Ada saja yang membuatnya sebal, prihatin atau terkejut. Selalu saja ada kejadian di luar dugaan yang terjadi setiap hari, mulai dari pertengkaran di kamar tetangga, cek-cok mulut, atau bahkan bisik-bisik tak enak tentang dirinya.
“Wah, gak enak banget, ada cewek cupu sok alim di asrama kita”. kata tetangga Nabila suatu malam. Suaranya yang keras di malam yang sepi terdengar sampai di telinga Nabila meski ia berada di dalam kamarnya.
“Iya, bakal ada yang sewot nih kayanya” tambah yang lain.
Nabil meneteskan air matanya di atas pembaringan, alas tidur serupa karpet tanpa kasur. “ Ya Allah jadikan hamba orang yang sabar” pintanya dalam hati.
***
Hari demi hari dilalui Nabila dengan ketabahan atas penolakan sebagian besar penghuni asrama padanya. Namun nabil tak peduli dan tetap pada pendiriannya. Nabila berperilaku seperti biasa dan melakukan aktifitas yang sudah biasa pula dilakukannya tanpa terpengaruh atau sekedar ikut-ikutan dengan kebiasaan mereka yang rajin ngerumpi, bermain kartu, mabuk dan tidak shalat.
Saat azan berkumandang, seperti biasa Nabila bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu meskipun pada saat yang sama tetangganya sedang asyik ngerumpi di teras asrama. Nabila pun berkerudung meski tak seorang pun tetangganya ada yang berkerudung sehingga pantaslah penghuni asrama itu selalu memicingkan matanya saat melihat penampilan Nabila.
Selain itu Nabila paling tak suka melihat sampah sehingga ia selalu menyapu asrama dan membersihkan kamar mandi. Berbeda dengan tetangganya yang sangat rajin membuang sampah sembarangan dan buang hajat tanpa disiram. Nabila kesal dan membuat pengumuman di kamar mandi dan sudut-sudut bangunan asrama. Tindakannya itu sentak menyita perhatian seisi asrama. Pembicaraan miring pun berhembus kembali.
“Tuh anak sok cari perhatian banget sih. Sok pembersih” celetuk penghuni kamar no 5.
“Setuju banget. Cari-cari muka dia” tambah yang lain.
Namun lambat laun ada pula sebagian dari tetangganya yang menyadari kebaikan Nabila.
“Eh, anak baru itu rajin ya. Sejak ada dia asrama kita jadi cling” kata tetangga cewek, penghuni kamar sebelah kiri kamar Nabila.
“Iya, lagipula nggak pelit dia mah. Pinjam apa aja dikasi” tambah yang lain.
Nabila pun mulai akrab dengan beberapa tetangga yang meskipun berbeda prinsip namun tetap menghargai keberadaannya. Mereka menyadari bahwa keberadaan Nabila membawa manfaat di asrama itu.
Yang paling menghebohkan adalah kesenangan Nabila bersendirian di kamar saat jam istirahat sepulang dari kampus, bukannya duduk-duduk di teras sambil ngerumpi seperti para tetangganya. Sebutan “anak udik kamaran” pun kerap didengar sendiri oleh Nabila. Namun Nabila tetaplah Nabila. Nabila yang keukeuh dan tak mudah terpengaruh. Nabila berprinsip selagi yang dilakukannya bermanfaat maka tak ada alasan untuk menghentikannya, hanya karena malu pada omongan tetangga misalnya.
Nabil tahu bahwa dirinya jauh berbeda dengan penghuni kamar lain yang umumnya anak orang beruang, bergaji, sedangkan Nabila cuma anak petani kecil yang sering telat mendapat kiriman atau bahkan tidak mendapat sama sekali. Jika hal itu terjadi Nabila hanya dapat bersabar. Namun ia bukan hanya bersabar tanpa berusaha. Ia tahu bahwa ia harus mencari uang sendiri untuk tambahan biaya hidupnya.
Ia mencoba mencari tahu apa yang bisa ia lakukan dan mencocokan dengan jadwal kuliah. Hingga suatu hari ia mendapat tawaran menjadi tentor pada salah satu tempat kursus di kota itu. Dengan penuh rasa syukur ia menerima tawaran itu meski dengan bayaran kecil dan sering telat dibayar. Uang itu hanya cukup untuk sekedar membeli lauk sementara kebutuhan tugas kuliah datang setiap hari. Nabila jadi kewalahan dan memikirkan cara untuk mendapatkan tambahan uang.
Jadilah Nabila memiliki kehidupan yang berbeda dengan penghuni asrama lainnya. Tak ada waktu untuk sekedar nongkrong sambil bercanda hihihaha di depan asrama sebab waktunya terbatas sementara kebutuhannya tidak terbatas. Ia harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya sendiri.
Suatu hari, Marni, tetangga baik Nabila bertanya langsung padanya saat meminjam ember untuk mencuci baju.
“Nab, sibuk bikin apa sih, ngurung aja di kamar dan rajin banget duduk di depan laptop?”tanyanya penasaran.
“Oh, anu saya suka ngetik” jawab Nabil seadanya.
“Ngetik apaan, kamu buka jasa ngetik ya” tanyanya lebih lanjut
“Hmm nggak kok cuma …ini, ngisi waktu aja” jawab Nabil tak mau terus terang.
“Alah, Nabil nggak usah pake rahasia-rahasiaan sama aku. Kamu lagi buat apa sih?” desak Marni.
“Hmm aku lagi nulis ne” jawab Nabila pendek.
“Nulis apaan” Tanya Marni penasaran.
“Nulis apa aja, cerpen, puisi..” terang Nabila.
“Emang buat apaan itu cerpen dan puisi kamu?”
“Ya buat dikirim di medialah, kalau beruntung dimuat kita dapet bayaran. Lumayankan buat tambahan uang bulanan selain itu bagus buat nyalurin ide-ide kita”
“Wah, keren juga tuh. Aku juga mau. Tapi sayang nih, aku nggak bakat nulis. Ntar ajarin aku ya,”
“Oke, siplah”
“Wah, gara-gara kamu doyan nulis, yang lain pada bilangin kamu sombong tuh. Kamunya sih jarang gabung sama mereka” Terang Marni.
“Yah, bukannya sombong. kita kan berhak mengatur waktu kita sendiri kan, Mar. Dan tiap orang kan beda-beda jadwalnya. Lagipula apa yang aku lakukan ini penting dan berguna buat aku, Mar. Terserah mereka ngomong apa, emangnya kalau aku nggak punya duit mereka yang bakal ngongkosin biaya hidup aku..”
“Iya juga sih. Mereka aja yang gak punya kerjaan” ceplos Marni.
“Weh, lagi lowong kali waktunya. Udah biarin aja. Jangan balik ngomongin orang. Aku mah oke aja dibilang sombong. biarin aja .” tandas Nabila dengan sabar.
“Kamu Mar memang penyabar. Kalau aku mah udah aku damprat mereka.”
“Ups udah, mau mencuci nggak sih. Sono ntar bikin panjang antrian!”
“Iya. Bawel banget sih. Cuma sedikit kok cucianku”.
***
Hari ini Nabila bukanlah Nabil yang dulu. Nabila si anak cupu yang dianggap remeh. Kini para tetangganya menghormatinya, memanggap dia ada, keberadaan yang berguna.
Asramanya selalu rapi tanpa sampah. Kebiasaan baiknya pun menular pada beberapa tetangganya. Mulai ada satu dua orang yang shalat. Mereka mulai rajin memutar rekaman pengajian alquran dan ceramah. Keberanian Nabil pun diakui. Tak ada lagi pesta miras yang sering dihelat setiap malam minggu karena Nabila akan menegur mereka jika mereka mabuk-mabukan di asrama itu.
“Assalamualaikum. Teman-teman hari ini kita akan memilih ketua asrama yang baru. Kemarin kita telah mendapatkan dua kandidat yaitu Nabila dan Doni. Hari ini kita akan memutuskan siapa yang akan menjadi ketua dengan mencari suara terbanyak”, kata mantan ketua asrama, kak Rizal, yang sebentar lagi akan pulang kampung.
Tepuk tangan terdengar riuh rendah mendengar kedua nama itu. Tak berapa lama voting pun diadakan. Teriakan keras para penghuni Asrama memenuhi seisi halaman. Satu-persatu kertas suara dibuka. Angka kedua kandidat saling berburu satu sama lain. Hingga akhirnya tinggal satu kertas suara yang dibuka.
“Nabila” .
“Yesssss!. teriak para pendukung Nabila.
Akhirnya Nabila terpilih menjadi ketua asrama. Ia diberi wewenang untuk mengatur asrama dan membuat peraturan-peraturan asrama dengan persetujuan pemilik asrama.
***
Seminggu kemudian….
“Baiklah, teman-teman. Hari ini saya akan mengumumkan peraturan baru di asrama kita. Untuk menjaga kebersihan dan keindahan asrama, tidak ada yang boleh membuang sampah sembarangan dan meninggalkan toilet tanpa disiram. Dilarang memutar musik terlalu keras lewat tengah malam….” Nabila membacakan sederet peraturan baru asrama Senja.
Ada yang menanggapi positif namun banyak juga yang membecinya.
“Makin belagu itu anak, mentang –mentang udah jadi tentor, bisa nulis, eh sekarang mau ngatur-ngatur kita macem-macem. Mau jadi tukang perintah juga rupanya. Lama-lama bikin eneg. Mending pindah aja, masih banyak asrama lain yang lebih bebas, iya gak?” kata Diro, penghuni paling liar di asrama Senja.
“Iya, dia pikir siapa dia” sambung teman lain yang sealiran.
Beberapa minggu kemudian Diro dan kawan-kawannya pindah dari asrama Senja. Kamar yang kosong pun kini hanya boleh di sewa oleh perempuan saja.
Asrama senja kini menjadi asrama yang asri dan damai di bawah kepemimpinan Nabila. Bahkan Nabila membuat program baru untuk menyalurkan bakat para penghuni asrama Senja. Waktu kosong tidak lagi dihabiskan untuk hal-hal yang tidak berguna seperti ngerumpi, gaple atau mabuk, melainkan kegiatan-kegiatan berguna seperti diskusi, latihan kepenulisan, membuat hasta karya dan apa saja yang bisa mereka ciptakan sendiri dan bermanfaat tentunya.
Oleh: Hermin Pujihantari, Kendari Sulawesi Tenggara
Img: detik