Muhammad Ali as-Shâbûny, dalam salah satu kitabnya menyatakan bahwa riba adalah pelanggaran sosio-religius yang sangat krusial.[1] Pernyataan tersebut dapat dibenarkan. Secara sosial, tindakan membungakan uang ini dapat merusak semangat berkhidmat kepada masyarakat. Orang akan enggan berbuat apapun kecuali yang memberi keuntungan terhadap diri sendiri. Keperluan seseorang dianggap peluang bagi orang lain untuk meraup keuntungan. Kepentingan orang-orang kaya dianggap bertentangan dengan orang-orang miskin. Masyarakat demikian tidak akan mencapai solidaritas dan kepentingan bersama untuk menggapai keberhasilan dan kesejahteraan. Cepat atau lambat, masyarakat demikian akan mengalami perpecahan.[2]
Nabi Muhammad sebenarnya telah mewanti-wanti sejak dulu dengan sabdanya,
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Jika telah tampak di suatu negeri perbuatan zina dan riba, maka mereka telah menghalalkan datangnya adzab Allah pada diri mereka.”[3]
Sangat terang sekali, bahwa hadits ini benar-benar mengutuk perbuatan riba dengan datangnya azab Allah yang akan menimpa sebuah negara atau daerah yang melakukan praktek riba. Pada zaman sekarang ini, riba telah tampak menjadi institusi bahkan masuk dalam sebuah sistem ekonomi. Tidak heran jika bencana-bencana sosial yang diakibatkannya membuat masyarakat kebingungan dalam memenuhi kebutuhan.
Riba memang persoalan pelik sejak dulu. Sebelum masehi pun, tindakan riba telah mendapat perhatian banyak kalangan karena mencabik tatanan sosial-ekonomi masyarakat. Filusuf Yunani masyhur, Aristoteles (384-322 SM) setuju jika riba dilarang. Riba saat itu disebut dengan rokos, yaitu sesuatu yang dilahirkan oleh suatu makhluk yang tidak organik. Uang, kata Aristoteles, adalah objek yang tidak tergolong organik (inorganic), dan digunakan sebagai medium pertukaran. Karena itu, uang tidak bisa ‘beranak’. Barang siapa yang meminta bayaran dari meminjamkan uang, maka tindakannya itu, oleh Aristoteles, dinilai bertentangan dengan hukum alam.[4]
Tidak hanya Aristoteles, gurunya yaitu Plato (427-347 SM), dan dua filusuf Romawi, Cato (234-149 SM), dan Cicero (106-43 SM) mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktekkan pengambilan bunga.[5] Plato mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan. Pertama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi masyarakat miskin. Dua filusuf Romawi di atas, yakni Cato dan Cicero memberikan alasan yang juga tidak jauh berbeda dengan dua filusuf Yunani di atas. Ringkasnya, para ahli filsafat Yunani dan Romawi menganggap bahwa mengambil bunga adalah sesuatu yang keji. Pandangan demikian itu juga dianut oleh masyarakat umum waktu itu. Kenyataan bahwa bunga merupakan praktek tidak sehat dalam masyarakat, merupakan akar kelahiran pandangan tersebut.[6]
Pada masa Romawi, sekitar abad V sebelum Masehi hingga IV Masehi, tradisi pinjam meminjam atau transaksi hutang piutang sudah menjadi tradisi saat itu. Terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan “tingkat maksimal yang dibenarkan hukum” (maximum legal rate). Nilai suku bungan ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara berlipat ganda (double countable).[7]
Di Roma, tabel dua belas diciptakan untuk membatasi suku bunga hingga 10 % saja pertahun. Tetapi pada tahun 342 SM., telah diumumkan hukum lex genucia yang melarang pengambilan bunga uang berapapun juga tingkatnya. Membungakan uang sama dengan melakukan tindak kejahatan. Namun demikian, larangan mengambil bunga ini ternyata ada pengecualiannya juga, yaitu pemberian uang muka untuk perdagangan laut (foenus naticum). Pada masa kaisar Justinian, tinggi bunga diatur hingga 6 % saja untuk pinjaman umumnya, 8 % untuk kerajinan dan perdagangan, 4 % untuk bangsawan tinggi, tetapi 12 % untuk perdagangan maritim.[8]
Dari fakta-fakta di atas, para filusuf Yunani dan Romawi sangat menentang tindakan membungakan uang sebab bertentangan dengan logika alam. Uang dalah barang mati yang tidak bisa berkembang dengan sendirinya. Ia hanya bisa berkembang apabila digunakan dalam usaha bisnis dan sebagainya. Namun demikian, pada batas-batas tertentu, ternyata bunga masih dipraktekkan apabila itu terkait dengan produksi dari berbagai aspek dan tidak dalam kadar yang sangat tinggi.
Di Arab, pada masa jahiliyyah Sebelum Islam datang, praktek-praktek riba di kalangan masyarakat Arab merajalela. Berdasarkan beberapa riwayat, mereka melakukan jual beli dengan cara pembayaran bertempo. Jika pada waktu tempo yang ditentukan tidak bisa membayar, maka ada tambahan pembayaran yang dibebankan kepada pembeli.[9] Menurut riwayat yang lain, transaksinya berupa hutang piutang. Orang yang berhutang (debitur) dibebani untuk melunasi hutangnya dalam kurun waktu tertentu. Jika dalam waktu yang ditentukan tidak bisa membayar, maka debitur harus ada bunga. Semakin lama ia tidak bisa membayar, maka semakin besar pula beban bunga yang ia tanggung.[10] Bunga yang dikembalikan disamping harta pokoknya mereka sebut sebagai ‘riba’. Bunga tersebut merupakan perbandingan dari waktu atau kesempatan yang diberikan kepada debitur. Yang paling menonjol, Praktek-praktek riba yang dilakukan oleh masyarakat arab saat itu adalah riba nasî’ah.
Parahnya lagi, pada masa jahiliyyah praktek riba menemukan momentumnya. Orang-orang jahiliyah saat itu mengambil riba setinggi-tingginya (adl’âfan mudlâ’afah). Tidak diketemukan secara pasti dan tegas berapa kadar riba yang diambil oleh masyarakat jahiliyyah kala itu. Yang pasti kadar yang diambil sangatlah mencekik.
Menurut riwayat yang dinukil oleh at-Thabary dalam tafsirnya, pada masa itu, jika ada seseorang yang menagih hutang dalam tempo yang sudah ditentukan, ia akan bertanya pada debiturnya apakah akan melunasi atau akan memberi ‘tambahan’. Apabila debitur mampu melunasinya saat itu, maka ia akan melunasi sesuai dengan kadar yang ia pinjam. Namun jika tidak, maka, seiring bertambahnya waktu, hutangnya akan semakin menumpuk. Apabila hutangnya sebesar 100, dan ia tidak mampu membayar pada tahun yang telah ditentukan, maka pada tahun berikutnya ia harus membayar sebesar 200. Jika tidak mampu lagi, maka ia harus membayar sebesar 400.[11] Jadi, tiap tahun bunganya naik menjadi 100 persen.
Untuk memberikan respon atas kejadian ini, dengan tegas al-Qur’an menyatakan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imrân [3]: 130).
Ayat di atas, sering digunakan oleh cendekiawan modern untuk menghalalkan riba. Menurut mereka, riba yang diharamkan adalah riba dengan nilai yang sangat tinggi. Jika mengambil riba dengan kadar yang rendah (semisal 3 sampai 5 persen) tidaklah haram.
Untuk menanggapi statemen ini, ada beberapa hal yang mesti diketahui. Pertama, bahwa ayat tersebut masih multitafsir. Menurut sebuah penafsiran yang dikutip oleh as-Samarqandy, maksud ayat tersebut adalah larangan mengembangkan (melipatgandakan) harta dengan riba.[12] Jadi, menurut penafsiran ini, berapapun kadar riba yang diambil itu tetaplah haram. Sedangkan Menurut kebanyakan penafsiran, yang dimaksud oleh ayat di atas adalah larangan mengambil riba dengan adl’âfan mudlâ’afah (berlipat-lipat).
Kedua, jika yang diambil adalah penafsiran yang kedua, apakah lantas ayat tersebut dapat memberi pemahaman, bahwa apabila kadar riba yang diambil tidak berlipat-lipat menjadi tidak haram? Tunggu dulu. Kata adl’âfan mudlâ’afah bukanlah catatan (qayyid/syarat) yang dapat diambil mafhûm mukhalafah (pemahaman terbalik)-nya, sebab ia merupakan penjelasan terhadap apa yang terjadi kala ayat tersebut diturunkan. Dalam kaidah ushul fiqh, jika sebuah qayyid disebut untuk memberikan penjelasan mengenai apa yang terjadi (li muwâfaqah al-wâqi’) maka tidak bisa diambil mafhum mukhalafahnya. Oleh karena itu, berdasarkan ayat di atas, berapapun kadar riba yang diambil, baik berlipat-lipat atau tidak tetaplah haram. Dengan demikian, ayat di atas tidak bisa membatasi (taqyîd) ayat-ayat lain yang menyebut keharaman riba secara mutlak, baik dengan kadar yang sangat tinggi atau tidak. Misalnya ayat berikut,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْ
مِنِينَ (278)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah [2]: 378).
Img: konsultasisyariah
[1] Muhammad Aly as-Shâbûny, Tafsîr âyât al-Ahkâm, jilid 1, h. 279.
[2] Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, h. 77.
[3] Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Muhammad al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala Shahîhain, jilid 2, h. 293.
[4] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h. 599. Sebagian kaum filusuf berkata, “Orang-orang yang mengembangkan riba lebih mirip dengan pohon kurma jantan. Mereka hidup dari kerja orang lain dan mereka tidak bekerja sendiri.”(Abu Zahrah: Buhûts fi ar-Ribâ, h. 8-7).
[5] Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, h. 45.
[6] Ibid.
[7] Ibid, h. 44.
[8] Lihat: M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, h. 599.
[9] Tafsir ibnu Jarîr, jilid 3, h. 67.
[10] Tafsir al-Manâr, jilid 4, h. 134.
[11] Abu Ja’far at-Thabary, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, jilid 7, h. 205.
[12] Bahrul ‘Ulûm li as-Samarqandy, jilid 1, h. 312.