“ Di antara tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan) Allah adalah Dia menciptakan dari jenis kamu berpasang-pasangan agar kamu (masing-masing) memperoleh ketentraman dari (pasangan)-nya dan dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum [30]:21)
Manusia adalah satu dari sekian makhluk Allah Yang Maha Kuasa yang diberi kecenderungan untuk berpasang-pasanagan. Sepasang burung merpati berkicau dan bercumbu sambil merangkai sarangnya, bunga-bunga mekar nan indah rupawan warnanya merayu burung dan lebah agar mengantarkan benihnya ke kembang yang lain untuk dibuahi. Bukan hanya binatang-binatang dan tumbuhan yang mempunyai kecenderungan untuk berpasangan, bahkan atom pun yang negatif dan positif – elektron dan proton – bertemu untuk saling tarik menarik demi memelihara eksistensinya. Dan sudah barang tentu kecenderungan untuk memiliki pasangan tidak lepas dengan cinta dan kasih sayang yang mendalam atau dalam arti bahwa antara keduanya ada hubungan batin yang erat sehingga pasangan dapat merasakan kehadiran dirinya pada pasanagan yang ia sukai.
Imam Ghazali yang bergelar Hujjatul Islam (Pengurai bukti kebenaran Islam) berbicara tentang macam-macam cinta dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Beliau menuturkan bahwa salah satu penyebab akan adanya cinta adalah “keserupaan”. Yang serupa, menurutnya, secara naluriyah selalu tertarik terhadap sesuatu yang menyerupainya. Namun, katanya lebih lanjut, hal -hal yang bersifat bathiniyah sangat sulit diungkap, dan juga memiliki sebab-sebab yang sangat halus, di luar kemampuan manusia mengetahuinya. Rasulullah saw. Bersabda yang artinya:
“Jiwa manusia masing-masing memiliki kesatuannya, yang saling mengenal akan mesra (hubungannya) dan yang tidak saling mengenal akan berselisih.”
Imam Ghazali menjelaskan hadis diatas dengan memberikan ilustrasi yang dikemukakan ulama bahwa Allah SWT. Menciptakan jiwa manusia dan membelahnya, lalu menjadikan jiwa-jiwa tersebut berkeliling di ‘Arsy (singgasana) Tuhan. Yang terbelah dan saling bertemu di sana akan bersanding dan menjalin hubungan cinta kasih yang mesra dalam kehidupan dunia.
Meskipun hanya ilustrasi, tetapi kisah ini bisa dimabil makna yang terpendam dalam kisah diatas bahwa cinta dan kasih sayang telah dikenal dan telah terjalin jauh sebelum kehadiran masing-masing di panggung drama dunia ini. Hal ini juga berarti, mereka yang menjalani hubungan harmonis, pada hakikatnya telah saling jatuh cinta, walaupun tidak terungkap dengan kata-kata atau tidak terdeteksi oleh para antropolog.
Begitulah cinta – yang merupakan salah satu penyebab kecenderungan untuk berpasangan – ia menuntut pengakuan akan eksistensi dirinya, bahkan kepribadian kekasihnya, yang selanjutnya karena cinta mengharuskan adanya dua “aku” – memang sejak awal jenis laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan-perbedaan – maka yang mementingkan dirinya dan tidak mempertimbangkan kekasihnya bukanlah seorang yang bercinta. Maka benar dan tepat pandangan yang dilontarkan oleh Prof. DR. Quraish Shihab tentang cinta bahwa “Cinta adalah dialog dan peretemuan dua “aku” serta hubungan timbal balik yang melahirkan tanggung jawab kedua “aku” itu.”
Definisi di atas benar adanya, karena memang bahasa Al-Quran memakai zaujaini / azwaajan (berpasang-pasangan). Hal itu mempunyai arti bahwa yang namanya berpasang-pasangan itu adalah sesuatu yang berbeda – karena sejak awal penciptaan makhluk, terutama manusia mempunyai beberapa unsur perbedaan, namun karena adanya suatu keserupaan – sebagaimana pendapat Imam Ghazali di atas – yang ia sadari dan menyadari akan keserupaan tersebut sehingga terlahir rasa untuk berkumpul (jam’un) serta menyatukan diri dengan lawan jenisnya dan pada tahap selanjutnya akan muncul kecenderungan untuk berpasanga-pasangan demi memadu cinta, berbalut kasih sayang. Oleh karena itu, dalam islam kita dianjurkan untuk menikah yang secara bahasa mempunyai arti jam’un dan dhommun (berkumpul dan melekat menjadi satu). Hal itu mempunyai arti bahwa pernikahan merupakan suatu proses penyatuan diri untuk membentuk suatu kekuatan yang kita kenal dengan mawaddah. Sebagai akhir dari tulisan ini, yang perlu di pendam dalam lubuk hati bahwa cinta itu memerlukan kesetiaan dan kejujuran. Wallahu ‘Alam