Pohon-pohon telanjang itu mengayunkan dahannya, menari-nari diatas angin, menghembuskan unsur O2 untuk menjalin silaturahmi dengan mahluk Tuhan yang lain, rela begitu saja dihirup untuk mahluk yang bernama manusia dan binatang. Sang surya dengan gagahnya bersinar diatas awan, berkolerasi dengan mahluk lainnya, begitu tinggi suhu yang diserap partikel-partikel kulit ini, panas, sangat panas.
Panas, hati panas Akbar yang sedari tadi ingin mengungkapkan raungan penat akan kehidupannya dengan sang ibu,
“Ibu tiduran aja dulu! Nggak usah kemana-mana nanti biar Akbar panggilin bi Inah buat nyiapin sarapan ibu.” Ucap Akbar dengan oktaf yang sedikit tinggi melihat sepiring nasi jatuh berhamburan di lantai dengan serpihan kaca dari piring pecah tadi.
“Ibu cuma mau nyiapin sarapan sendiri, nak. Biar bi Inah nggak terlalu repot,” beberapa patah kata yang sangat lembut keluar dari bibir wanita tua itu.
“Nggak repot apaan! Hidup ibu itu selalu ngerepotin! Bikin marah Akbar aja kerjaanya. Udah Akbar mau berangkat kerja dulu!” Akbar langsung melenggang pergi, dan menutup pintu kamar ibunya.
“Hati-hati, nak”. Lirih kata sang ibu mengantar anaknya untuk pergi bekerja.
Di usianya yang menginjak dua puluh lima tahun, pria bertubuh tegap tinggi yang beranama Akbar ini adalah seorang pengusaha sukses di kotanya. Uang hanyalah masalah kecil baginya, apalagi banyak perempuan yang tertarik dengannya.
Tidak seperti dulu, waktu disaat dia masih berjuang dengan kehidupannya yang bisa dibilang tidak mampu. Ayahnya yang pergi ke sisi Tuhan mendahului Akbar dan ibunya, hanya mewarisi gubuk reot kecil dikota tinggalnya. Saat semua remaja sibuk dengan sekolahnya, Akbar sibuk merawat ibunya yang sakit-sakitan serta biaya minim yang dimiliki mereka tidak cukup untuk membeli seragam dan buku. Dia hanya berhasil menggapai gelar kelulusan dibangku Sekolah Menengah Pertama dan pendidikannya terputus ketika ia lulus dan sang ayah meninggal.
Keluarga Akbar hanya bergantung sesuap nasi pada pekerjaan sang Ayah yang hanya buruh serabutan, Akbar mencoba mengerti dengan keadaan yang sedang dialaminya. Dia sabar merawat sang ibu, dengan penuh kekhusyukan memanjatkan secercah doa kepada sang Kholik untuk menempuh kehidupan yang layak dengan ibunya yang sudah tak berdaya karena sebuah kecelakaan.
Setiap pagi, dengan embun hangat yang membungkus tubuh. Akbar dengan lembut menyuapi ibunya,sedikt makanan yang diberikan tetangga dapat membuat mereka kenyang. Hari ketujuh setelah ayahnya meninggal, Akbar tidak bisa setiap hari bergantung kepada tetangganya, dia mencari kesana kemari peluangpekerjaan yang dapat disandangnya. Dengan bermodal ijazah SMP dia berhasil menjadi seorang pegawai restoran kecil, kegigihan mengantarkannya sebagai pengusaha swasta pengekspor bahan pangan. Sekses diraihnya, rumah mewah yang dibangunnya di pusat kota, membuat dia dan sang ibu meninggalkan gubuk sebagai saksi bisu perjuangannya.
Kesibukan yang menyita waktunya, mengacuhkan sang ibu yang sedang sakit. Dengan pola pikir yang berevolusi, Akbar menyewa jasa bi Inah untuk merawat rumah sekaligus ibunya. Sang ibu dapat melihat anak semata wayangnya ketika mentari mulai memamerkan teriknya, sebelum Akbar berangkat kerja.
Sepulang Akbar dari kantor, mendekati tengah malam. Sepucuk surut bertengger manis di ruang tamu, dia ambil dan tertulis nama bi Indah diwajah amplop putih bersih itu. Dibukanya perlahan dan dibacanya tenang dalam batin,
Assalamu’alaikum,
Maaf tuan, saya tidak bisa bekerja lama lagi disini. Saya harus merawat anak-anak saya dikampung dan menyelesaikan pekerjaan yang lebih penting di kampung saya. Saya berterima kasih, tuan sudah memperkerjakan saya disini dan terima kasih kemarin sudah member gaji yang lebih pada saya. Tuan bisa mencari pembantu lain untuk merawat ibu tuan, sekali lagi maaf tuan, saca ucapkan terima kasih.
Dari saya Inah,
Wassalamu’alaikum.
Telapak tangan akbar meremas-remas kertas surat itu , dia lemparkan kencang ke tembok yang bercat hijau diruang tamu rumahnya. Bagaimana aku dapat merawat ibu jika tidak ada dia, ah! Ibu! Wanita tua itu merepotkan hidupku saja. Pikir Akbar meluapkan emosinya.
Dengan terpaksa, dia suruh pegawai kantornya sebelum berangkat kerja mengantarkan makanan kerumah Akbar untuk ibunya. Setiap pagi tanpa basa-basi, Akbar meletakan makanan dari pegawainya di meja makan dan langsung pergi berangkat bekerja tanpa sepatah kata untuk berpamitan dengan wanita tua yang melahirkannya dua puluh lima tahun silam itu. Dia semakin sibuk, hari-hari dihabiskannya untuk kantor dan sang kekasih. Semakin sering Akbar menugasi pegawainya untuk mengantarkan makanan pada ibunya. Padahal sering kali terbersit rasa ingin melahap sesuap nasi bersama anak semata wayangnya.
Derup lampu taman kota meramaikan aktivitas para pengarung langit bintang, polusi yang dihembuskan dari beribu-ribuk knalpot menambah kelamnya langit malam. Angin malam bertiup lembut, mewarnai dinner Akbar dan kekasihnya di restoran Prancis di hotel berbintang. Suasana perhotelan yang sangat khas dengan beberapa lilin yang menghiasi sekitar restoran menambah romantisnya pasangan muda itu.
“Aku capek Lis sama ibuku, dia itu ngrepotin aja. Nggak ngertiin kalo aku sibuk, mana nggak ada pembantu lagi, aku nggak pengen tinggal serumah sama dia.” Curahan hati Akbar keluar begitu saja didepan Lisa, sang kekasih. Berwajah indo jerman menambah kecantikan parasnya, dengan lengkuk tubuh dan fisik yang hampir dapat dibilang sempurna, Akbar sangat mencintai wanita yang disebut sebagai kekasihnya dua bulan yang lalu.
“Kamu itu nggak boleh gitu! Itu ibumu, dia lebih berkorban banyak sampe naruhin nyawanya buat ngelahirin kamu,” ucap Lisa dengan raut wajah gemas dengan perkataan Akbar tadi.
“Iya, aku tau Lis tapi aku tuh bingung ngurus dia. Kalo tiba-tiba dia mati gimana? Kan tambah ngrepotin,”
“Asstaghfirullah Bar, kok kamu ngomongnya gitu sih. Itu ibumu loh.” Lisa menggelengkan kepala seakan tak percaya dengan ucapan yang baru saja keluar dari bibir Akbar, “Kamu tau nggak Bar tentang keluargaku,” dia melanjutkan perkataanya.
“Enggak, kan kamu nggak pernah cerita tentang keluargamu ke aku,”
“Sebenernya aku anak piatu Bar, terakhir aku mandang wajah ibuku waktu umur tiga tahun. Wajahnya putih berseri, senyum, bibirnya merah. Tetapi kain kafan udah terbalut ditubuhnya, waktu itu aku belom terlalu ngerti artinya kehilangan tapi kalau inget rasanya terpukul banget. Ayahku pergi nggak tau entah sejak aku lulus SMA, aku kuliah pakai biaya sendiri. Aku nemuin sepucuk surat dari ayah yang isinya ngasih kartu nama ‘seseorang’ yang kira-kira bisa ngebantu masa depanku dan beberapa jumlah uang, ‘seseorang’ itu sahabat ibuku. Aku nemuin ‘sesorang’ yang dimaksud dan bilang kalau aku anaknya ibuku, nama sahabat ibu itu tante Mira, sekarang usianya enam puluh lima tahun. Sepuluh tahun aku dididik tante Mira biar tahan banting, mentalku diasah. Aku diajarin nyari duit sendiri sampai aku kayak gini sekarang.
Waktu aku tanya ke tante Mira kenapa dia mau susah payah ngedidik aku, kata dia dulu ibuku bantu tante Mira buat bayar sekolah waktu SMAnya, ayah tante Mira Cuma kuli bangunan dan ibunya ibu rumah tangga, dia anak pertama dari lima bersaudara. Penghasilan orang tuannya nggak cukup buat nyekolahin anak-anak mereka, tapi ibunya tante Mira ngedidik anak-anaknya buat belajar mandiri. Meskipun mereka miskin tapi kasih sayang dikeluarga itu sangat kental, dan saudara-saudara tante Mira jadi orang sukses semua. Keluarga tante Mira agamanya juga kenceng banget, sholat sunah apalagi rajin banget. Bukankah peran ibu sangat penting dan besar Bar,” jelas Lisa panjang lebar sampai membuat Akbar diam memperhatikan cerita Lisa. Akbar tetap diam ketika Lisa selesai dengan penjelasannya. “Coba Bar kamu pikir, dulu waktu kamu sakit, waktu kamu nangis, kamu jatuh dari kehidupanmu, siap yang ada? Ibu Bar, emang temen kamu juga ada yang disisimu tapi doa ibu Bar, subhanallah mustajab banget Bar. Dia nggak pernah minta yang aneh-aneh, cuma pengen ngeliat anak-anaknya hidup bahagia dan berbakti sama dia, sampai kapanpun kamu nggak akan bisa ngebalas perjuangan ibu kamu Bar.” Lanjut Lisa menyadarkan Akbar.
Akbar masih terdiam, tangnnya sibuk mengaduk kopi yang sedari tadi sudah tercampur rata. Pikirannya perlahan menafsirkan penjelasan Lisa tadi, ekspresi wajah yang terlukiskan tanpa arti. Hati kecilnya menyetujui penjelasan Lisa, tetapi hati besarnya seakan ragu dengan semua itu, otak yang masih sibuk bekerja mencari sebuah jawaban yang sedari tadi tak berujung pangkal. Entah apa yang masih dipertanyakan dalam pikirnya.
“Maaf, mas dan mbak ada yang mau dipesan lagi?” Tanya pegawai restoran itu memecah keramaian bisu seribu bahasa mereka.
“Oh, enggak mbak kami udah mau pulang kok,” jawab Akbar menanggapinya. Sang pegawai menundukkan kepala dan langsung pergi melanjutkan pekerjaannya.
“Pulang yuk!” ajak Akbar pada Lisa yang sedari tadi memandangnya, menerjemahkan bahasa tubuh Akbar atas penjelasan-penjelasan yang sudah terlontarkan dari bibir merahnya.
Tangan Akbar menggandeng lembut pergelangan tangan Lisa. Di perjalanan pulang setelah mengantar Lisa pulang, Akbar masih memikirkan penjelasan Lisa, saraf pikirnya dipenuhi dengan banyak tanda tanya. Disisi lain Lisa sudah menjelesakan secara rinci kata demi kata tapi tetap saja masih timbul pertanyaan yang menghiasi ruang hatinya.
Jemari tangan Akbar membuka perlahan pintu rumah, sepi dan gelap karena memang ini waktunya hewan nokturnal menyanyi, sang ibu sudah terlelap di ruang alam bawah sadarnya. Langkah kaki Akbar menuju kamar sesorang yang satu-satunya mendiami rumahnya selain dirinya sendiri. Penglihatanya menatap dalam-dalam wajah sang ibu yang sedang memjamkan matanya.
Kenangan yang dulu terputar kembali di rol ingatan otaknya, masa saat dia sangat menyayangi ibunnya, kehidupan yang sempurna akan kasih yang telah melewati serangkaian butiran suka, duka, derita, bahagia, gembira, gagal, kehilangan, pasang dan surut. Ya, semua itu dilalui dengan helai-helai kesabaran sang ibu. Akbar sadar akan simpul kasih sayang sang ibu yang masih terikat kuat dijiwanya.
**
Nyanyian ayam jago memecah senja fajar yang siap menyingsing, mengajak setiap insane beranjak dari lelapnya. Langkah Akbar yang masih disertai rasa kantuk dengan matanya ingin sebentar-bentar ingin terpejam menuju kamar mandi, desiran air wudhu membersihkan titik-titik najis dari partikel kulitnya. Akbar yang biasanya mendirikan sholatnya seorang diri, kini berbeda, ia mengajak sang ibu untuk sholat berjama’ah.
Untaian lafadzh-lafadz bacaan surah Allah dan doa dipanjatkannya, salam terucap dari khusyuknya ibadah mereka, telapak tangan bersih sang ibu dicium Akbar, aroma khas seorang ibu menelusuki indra penciumannya.
“Bu, ibu mau nggak tinggal di panti jompo?” tanya Akbar setelah mencium tangan ibunya.
“Astaghfirullah nak, beginikah balasanmu terhadapmu yang sudah melahirkanmu, tapi jika aku memang mengganggumu disrumah ini biarlah aku pergi saja.
“Ya Allah, maafkan aku ibu tapi bukan maksutku menyia-nyiakan ibu, aku hanya takut tidak dapat merawat ibu disini,”
“Tidak nak, senikmat apapun sebuah kehidupan. Seorang ibu tetap memilih hidup disamping anak-anaknya.”
“Tapi sekali lagi maafkan Akbar bu, karena Akbar tidak menjalankan kewajiban sebagai seorang anak, maafkan Akbar bu. Jika itu kemauan ibu, Akbar akan berusaha mengatur waktu demi bersama ibu.” Wajah Akbar tertunduk sembari mencium punggung tangan ibunya.
“Sebelum kamu minta maaf, ibu sudah memafkanmu nak. Ibu bangga mempunyai anak sepertimu, ibu juga bangga atas kesuksesanmu.” Jemari lembut sang ibu mengusap ubun-ubun anak semata wayangnya itu.
“Akbar bisa sampai seperti ini karena ibu juga kan, Akbar masih ingat nasihat ibu yang mengatakan ‘jangan tunggu hebat untuk memulai karya tapi mulailah karya untuk menjadi hebat’ itu sangat Akbar tanemin di hati Akbar bu, maafin kekhilafan anakmu ini bu udah memerlakukan hal yang semena-mena terhadap ibu,”
“Iya nak iya, masih ingat saja kau nasihat kuno itu, tapi baguslah tanamkan itu pada anak-anakmu kelak dan jangan pernah lupa dengan kuasa Sang Kholik.” Sembari mencium kepala sang anak. Akbar memeluk ibunya erat.
Kini pegawainya sudah tak perlu lagi melakukan tugas sebagai pengantar makanan dirumahnya. Akbar membeli sendiri makanan di rumah makan terdekat sebelum bekerja, bahkan jika dia mempunyai waktu agak lama, dia menyempatkan untuk memasak makanan dengan kemampuan minim yang ia miliki. Akbar juga sering menyuapi ibunya makanan, seperti yang dilakukannya dahulu.
Tuhan ampuni dosa-dosa yang sering hamba singgahi, betapa hinanya hamba ya Allah yang khilaf akan silau duniaMu hingga hamba tak menyadari ada mahlukMu yang hamba sia-siakan. Bakti yang sekonyong-konyong menyublim, hingga hamba tak sempat untuk mengejar uapnya. Terimakasih Ibu, untuk kesetiaan dan ketulusanmu. Ampunilah hamba dan ibu hamba. Jadikan hamba anak shaleh, golongkan kami orang-orang beriman ya Allah. Hamba berada di titik terbawah dari kurva ketakberdayaan dan hendakilah hamba menorehkan helai-helai kasih untuk orang sekitar hamba.Terima kasih atas Rahmat dan Ridlo Engkau. Rabbana atina fiidunnya hasana wa fil akhiroti hassanataw wakina adzabannar. Amin.
Muhammad Akbar Al Ghazali.
Oleh: Fita Diyan Erika, Grobogan Jawa Tengah