Suara kebisingan kota sudah terdengar walau hari belum beranjak siang. Terlihat beberapa karyawan sudah mali sibuk berdiri di depan lokernya. Aku tak mau kalah. Seperti biasanya, aku datang lebih pagi dibanding karyawan lain untuk mengepel lantai masjid. Seraya memegang alat pel terkadang aku mulai curi-curi pandang untuk melihatnya di dalam ruangan itu. Suasana seperti inilah yang membuat aku memandang keindahan dunia. Menjalani kehidupan yang seperti ini sungguh melelahkan raga dan batinku. Aku membuka kotak mungil yang terselip di lokerku. Kupandangi bros ungu yang berkilauan. Bagi orang sepertiku, barang seperti ini dapat membantu semangat hidupku. Cantik… Tidak, bros ini sangat cantik. Tidak ada bosannya aku memandangi bros ungu berbentuk kupu-kupu ini. Seakan aku melupakan segala duka dan kehidupan gelapku melalui pancaran sinar bros ini. Tidak terasa air mataku membasahi bros yang aku pegang.
Memasuki waktu dhuha, aku mengambil air wudlu untuk menunaikan sholat dhuha. Aku ingin bercerita dan berkeluh kesah kepada Tuhanku. Beruntunglah Tuhan masih memberikan suatu kekuatan untuk tetap hidup di dunia ini. Selesai menunaikan sholat, aku langsung menuju taman masjid untuk merawat tanaman disana. Sesekali pandanganku mengarah ke kantor pusat. Berharap melihat sesosok makhluk yang menggetarkan jiwa.
Memasuki waktu dhuhur , semua pekerjaanku telah usai. Aku beristirahat di belakang kantin. Namun Bu Darmi, penjaga kantin memberitahuku bahwa ada lelaki tinggi besar mencariku. Aku kuatkan kakiku untuk melangkah menemuinya. Tanganku gemetar. Keringat mulai mengalir deras.
“Sudah lama tidak bertemu, kau tetap cantik walaupun sekarang kau harus bekerja keras disini. Tapi kamu kelihatan agak menua dalam pakaian seperti ini. “ Tangannya mulai merayap mendekatiku. Aku melangkah mundur untuk menjauhinya.
“Jangan coba-coba membawaku kembali. Kalau uang yang kamu mau, ambil ini” seraya melemparkan kunci motor dan BPKB ke arahnya. Tanganku tetap gemetar.”Sisanya aku bayar kemudian, sekarang kamu cepat pergi dari tempat ini”. Namun laki-laki itu tetap mendekat hendak merangkul tubuhku yang kecil ini. Tiba-tiba sebuah tinju mendarat di mukanya yang menjijikan. Aku pun sangat terkejut, reflek aku menoleh ke belakang. Ustadz umar?
“Bukankah wanita ini dengan sopan meminta anda untuk pergi. Saya harap perlakuan saya ini anda anggap sebagai peringatan. Jangan ganggu dia lagi “ Aku memandang wajah damai itu. Aku ternganga. Seakan dunia berhenti, bau tubuhnya tak pernah aku lupakan. Bau ini sama seperti saat saya mencucikan baju Ustadz Umar.
“Aku akan berhenti kalau wanita jalang ini telah melunasi hutangnya. Daa sayang…” Sambil melambai ke arahku
Tubuhku seakan lemas. Selain aktivitasku yang berat, kata-kata bajingan itu seakan duri yang tertanam di tubuhku. Senantiasa menyakitkan. Meremukkan setiap tulangku. Aku terjatuh lemah tak berdaya. Seakan aku telah kehabisan akal menghadapi semua ini. Sontak, ustadz umar menangkap tubuhku dan membawa ke tempat yang lebih nyaman. Setelah melihat kondisiku yang sudah membaik, ustadz pun membuka keheningan.
“Aku tidak bisa membayangkan beratnya hidupmu, mungkin ada yang mau kamu ungkapkan untuk meringankan pikiranmu sejenak?” Kata-katanya bagaikan embun segar dipagi hari. Aku tak kuasa membendung tangis yang mengalir di kedua pipiku.
“tidak papa, katakan saja”Tangisanku semakin menjadi ketika mendengar kata-kata ustadz muda ini. Aku mulai berkata-kata dalam hati kecilku walaupun aku hanya menangis dihadapan ustadz ini. Hidupku memang kelam ustadz. Setelah ayahku meninggal, aku diperkosa oleh ayah tiriku. Tak hanya sampai disana Allah mengujiku, ibuku meninggal setelah mengetahui kelakuan bejat ayah tiriku. Akibat terlilit hutang yang sangat banyak, ayahku menjualku kepada seorang pemilik rumah bordir. Untunglah diperjalanan menuju rumah bordir, aku bertemu denganmu, ustadz. Namun aku berkewajiban untuk melunasi hutang ayah tiriku karena ia pergi entah kemana. Aku seakan kehilangan semua mimpiku, siapa sangka wanita 18 tahun ini pernah bercita-cita menjadi seorang dokter.
“Oh ya…. Elin sangat menyukai hasil sulamanmu. Kurasa tidak berlebihan kalau aku memberimu beberapa kerudung ini”bingkisan itu tampak sangat menarik dan berisi.
“Aku merasa sangat senang kalo Dek Elin menyukainya. Hadiah ini terlalu banyak ustadz.” Aku merasakan sesuatu yang sangat kuat, bergejolak didadaku.” Maaf ustadz, aku ada pekerjaan di dapur… “aku tersipu malu sambil menundukkan wajahku. Aku segera berlari menuju dapur hingga aku melupakan bingkisan yang diberikan Ustadz Umar . Nafasku terasa sesak. Ustadz Umar memang selalu baik kepadaku, bahkan ketika seolah semua orang memperlakukanku seperti binatang, ia tetap sopan dan menggunakan bahasa yang halus kepadaku. Namun perasaan tadi, aku merasa seperti diperlakukan layaknya seorang wanita. Bukan sebagai pegawai rendahan atau seorang yang ditolongnya saat nasib ingin menenggelamkanku.
Adzan ashar telah selesai dikumandangkan. Aku mulai berkemas-kemas agar setelah sholat nanti langsungpulang. Namun apa daya, setelah sholat Pak kyai malah ingin bertemu denganku. Setelah lama terdiam, Pak Kyai mulai mencairkan suasana.
“Apa ini? Apa saya melihat seorang perempuan yang sedang jatuh cinta?” Suaranya berat namun tetap hangat.
Aku yang semula tertunduk mulai mengangkat kepalaku perlahan. Mencoba berpikir sejenak dan aku pun menelan ludah sebelum menjawabnya.
“ Maaf Pak Kyai, saya tidak tahu maksud Pak Kyai.”
“Apa rumor yang saya dengar benar kalau kamu menyukai Ustadz Umar?”Terlihat pak kyai mengembangkan senyumnya
Aku bersibah ke tanah,” Saya tidak berani Pak Kyai, menyukai pemuda biasa saja saya tidak berani apalagi menyukai ustadz. Tolong maafkan saya kalau perilaku saya selama ini menyebabkan rumor itu.”
Pak kyai hanya mampu menghela nafas saat mendengar jawabanku. “ Jadi, apakah kamu mencintai ustadz?”
Mendengar kata-kata itu, tubuh ini gemetar hebat. Pandanganku kabur namun masih dalam posisi bersibah sehingga tak terlihat jelas. Air mataku menetes. Kupejamkan mataku seraya menggelengkan kepala. “ Baiklah, sekarang kamu boleh kembali ke tempatmu.”
***
Seminggu kemudian tesebar kabar bahwa kyai besar akan menjodohkan ustadz dengan salah satu santriwatinya. Mendengar rumor itu, badanku menjadi kurang sehat. Aku putuskan untuk pulang cepat hari itu. Saat ku buka pintu lokerku, kulihat banyak bingkisan cantik disana. Melihat salah satu bingkisan itu aku dapat menebak darimana bingkisan-bingkisan itu datang. Aku ingat saat ustadz memberiku bingkisan berisi kerudung yang tak pernah ku terima secara langsung. Kini hayalan indah itu hanya akan mengendap di pikiranku. Namun aku tak mungkin berpikir seorang jebolan Al Azhar mau menjadi pendamping orang sepertiku. Aku hanya bisa memeluk bingkisan ini. Saat ku ambil salah satu bingkisan itu,tanganku menyenggol bros ungu yang ada dipinngir bibir loker. Bros itu hancur menjadi beberapa bagian. Aku hanya dapat memunguti pecahan itu dengan tetesan air mata bersama dengan remuknya hatiku.
***
Kini aku merasa, rasa yang dulu dipertanyakan oleh Pak Kyai benar. Hatiku sangat sakit saat melihat potrethari pernikahan ustadz. Namun ku segera ingat untuk menjaga cinta ini hanya untuk Allah semata. Tak mungkin saya bermimpi untuk bersanding dengan orang semulia ustadz. Baru saja mengingat masa-masa saat ustadz masih berada di sini tiba-tiba terganggu olah suara laki-laki diluar ruangan memanggil namaku. Kini aku hanya bisa pasrah jika aku akan dibawa laki-laki bejat diluar. Rasa takut yang kurasakan setiap bertemu dengannya tak lagi terasa. Seperti biasanya, ia menagih hutang ayah tiriku kepadaku. Aku hanya menatapnya tajam.
“Wah pemandangan apa ini? Sejak kapan kamu berani menatapku seperti itu? Mana uangnya?” Katanya sambil menghisap rokok ditangannya.
“Apalagi yang ingin kamu ambil dari ku? Aku sudah tak punya apa-apa!”Teriakku
“Oh sudah mulai melawan sekarang? Hahaha… Sombong sekali sekarang. Tapi kurasa sekarang ustadz itu tidak akan datang mengganggu. Bersiap-siap saja ikut denganku” Tiba-tiba ada suara lembut menyela pembicaraan kami
“Biar saya yang melunasi hutangnya.” Ternyata Bu Sarah yang menjawab, istri Ustadz Umar.
“Berapa jumlah uang yang harus saya berikan agar kamu melepaskan wanita ini?”Terlihat wanita ini sangat serius. Setelah ia menyelesaikan urusannya dengan laki-laki itu, ia membelai jilbabku dengan lembut. “Sungguh kau wanita yang sangat tegar”
“Bu, aku pasti akan mengganti uang ibu.”
“Mau kamu ganti dengan apa? Kamu ingin menggantinya dengan gajimu bekerja di mesjid ini? Berapa lama saya akan menunggu?”
“Lalu saya harus menggantinya dengan apa? Ibu sudah tau sendiri kalau saya tidak punya apa-apa. Aku…” Belum selesai aku mengucapkan kata-kataku.
“Menikahlah dengan suamiku” Ia menatapku dengan tatapan serius.
Aku tak mampu berkata-kata, hanya mulutku yang masih menganga. “Aku tidak berani Bu” Jawabku lirih
“Aku sudah mendengar cerita tentangmu, baik dari suamiku, Pak Kyai maupun karyawan lain. Aku melihat ada sesuatu yang mngikat kalian meski kalian tak pernah mengucapkan kata-kata cinta. Aku menerimanya sebagai suamiku karena aku yakin dia mampu membimbingku lebih dekat dengan Allah. Tapi alasanku yang membuatku memintamu untuk menjadi istrinya adalah…aku mandul” Suaranya bergetar.
“Dulu… Aku juga pernah mempunyai perasaan yang berbeda pada seorang ikhwan. Lalu akupun meminta ayahku untuk menanyakannya untukku. Aku sangat bahagia ketika kudengan kabar ia menerimaku. Namun nasib berkata lain, Allah lebih merindukannya dibanding diriku. Tidak berhenti disana cobaan yang ku alami. Mengingatnya membuat fisikku semakin lemah. Aku ternyata mengidap kanker rahim yang semula aku kira sudah dalam masa penyembuhan. Kini aku sangat bahagia memiliki suami yang sangat menyayangiku dalam keadaanku yang seperti ini dan sekarang giliranku memberikan kebahagiaan kepada suamiku.”
“Maaf Bu, aku tidak berani” Aku meninggalkan Bu Sarah dikoridor masjid, aku mengambil bros disaku celanaku dan kupandangi bros yang hancur itu lekat-lekat. Namun seorang anak kecil menabrakku dari belakang. Bros yang sudah hancur itu jatuh berkeping-keping. Aku berusaha memunguti serpihan bros yang berhamburan di atas rumput.
“Kenapa kau memunguti barang yang hancur berkeping-keping?” Suara itudatang dari arah belakang punggungku. Terdengar seperti suara laki-laki yang tak asing bagiku. Aku yang masih sibuk memunguti pecahan itu langsung menjawabnya tanpa memandang siapa yang berbicara.
“Meskipun ini pecahan kecil namun orang yang memberikanya adalah orang yang membuatku merasa sempurna. Orang yang melengkapi hidupku yang kosong dan hampa.”
“Subhanallah…lalu bagaimana dengan tawaran istriku?” Tangan yang semula sibuk mengais pecahan kecil ini mulai bergetar. Lalu seorang wanita tiba dihadapan wajahku. “ Dulu ia hanya dapat memandangimu dari kejauhan, ia tak berani mendekat karena takut menyinggung perasaanmu. Dulu ia meminta kyai untuk menyampaikan lamaran untukmu yang kau tak berani terima lamarannya. Dulu ia yang selalu mendoakanmu agar kau dapat terlepas dari segala derita. Ia pula seorang pria yang kau tidak berani terima lamarannya lantaran istrinya yang memintamu. Ia yang selalu khawatir akan perasaanya,apakah kau tidak kasihan? Ia takut perasaannya padamu menggantikan rasa cintanya pada Allah SWT. Apakah aku sanggup memilikinya tanpamu disisi kami?”Wanita itu mengakhiri kata-katanya dengan senyum yang mengembang yang membuat lesung pipinya menjadi semakin dalam. Aku menggenggam pecahan bros itu, kutarik nafasku dalam-dalam. Aku bangkit dan membalikkan tubuhku. Sejenak kupejamkan mata, “Aku belum pernah mendengarnya secara langsung. Bagaimana bisa aku tahu, kalau ia benar-benar ingin menikahiku?”
Kulihat tubuh ustadz itu mulai mendekat, “Jangan buat saya menghapus harapan ini sekali lagi, mau kah ukhti menjadi istriku?” Kulihat bibirnya bergetar saat mengucapkan kata-kata itu
“Bismillahirrahmanirrahim, saya bersedia”Aku menundukkan kepala perlahan.
Tetes air mata ustadz tak bisa dibendung,kudengar ia mengucapkan hamdalah lirih. Akhirnya cintaku pada Allah menuntunku pada kebahagiaan yang hakiki.
Terkadang kita merasa sangat rendah untuk memandang dunia hingga kita tidak berani untuk menerima sesuatu yang sangat indah. Namun hal terpenting yang harus kita jaga adalah mencintai Allah diatas segalanya.
Oleh: Karya Eva Novitalia