Udara pagi masih terasa dingin. Mentari tampak enggan keluar dari peraduan untuk melakukan tugasnya menyinari bumi. Awan mendung menggelayut di langit sekolahku. Sinar surya yang mencoba menerobos melalui celah-celah awan mendung itu tidak dapat memberikan cahaya terang yang berarti. Mungkin sebentar lagi turun hujan.
Bel, tanda ujian akan segera dimulai, berbunyi. Anak-anak berseragam putih biru berbaris di depan ruang ujian masing-masing. Beberapa dari mereka masih ribut berdiskusi dan menghafalkan sesuatu. Aku berada di antara mereka – mengenakan seragam sama, namun telah lusuh. Aku mengikuti barisan di depanku memasuki ruang ujian dengan tertib kemudian duduk di bangku deretan nomor dua dari depan paling kanan. Di sisi kanan meja, telah terpasang nama, kelas dan nomor ujianku. Dua orang pengawas mulai membagikan soal dan lembar jawab usai berdoa.
“Silakan mulai mengerjakan.” Salah satu pengawas berkata dengan tegas.
Bukan ujian nasional, hanya ujian akhir semester. Tapi ujian ini sangat berarti bagiku. Terlebih mata pelajaran ini, IPA. Pikiran dan hati memaksaku bersemangat mengerjakan ujian ini. Namun, sepertinya badanku tidak mau bersahabat. Tanganku gemetar,bahkan seluruh tubuhku merasakan hal yang sama. Belum sempat mengerjakan satu nomor pun, aku kembali memikirkan perkataan Pak Alif, guru IPA-ku, beberapa hari sebelum ujian dimulai …
“Anak-anak, siapapun yang bisa mendapatkan nilai sempurna pada ujian IPA kali ini, Bapak akan memberikan kalian hadiah,” ucap beliau bersahabat.
“Hadiahnya apa, Pak? Boleh minta smart phone, Pak?” celetuk salah seorang temanku.
“Baiklah. Bapak akan memberikan kalian smart phone bila kalian bisa mendapatkan nilai seratus.”
Anak-anak bersorak kegirangan. Aku hanya tersenyum simpul di tengah kegaduhan kelas. Kala itu, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan mendapatkannya. Nilai seratus dan smart phone itu. Bukan karena aku ingin gaul seperti teman-temanku, tapi lebih dari itu.Ada sesuatu yang lebih penting dari sekedar ingin terlihat gaul dengan smart phone.
Smart phone bukan apa-apa bagi Pak Alif, karena selain guru, beliau mempunyai usaha peternakan yang cukup besar. Bagi beliau, mengajar hanya sarana mendedikasikan diri untuk mencerdaskan anak bangsa. Semacam pekerjaan sampingan, bukan penghasilan utama. Tanpa mengajar pun sebenarnya beliau sudah sangat berkecukupan. Satu hal yang kukagumi dari beliau adalah jiwa sosialnya yang tinggi. Beliau tak pernah sungkan membuang uang untuk sesama. Sebagai murid, tentu saja kami ikut merasakan enaknya. Beliau sering memberikan hadiah kepada kami jika kami berprestasi.
“Apakah kau baik-baik saja, Ra?” Teguran seorang pengawas ujian membangunkanku dari lamunan. Aku kembali menyadari bahwa aku tidak punya banyak waktu untuk melamun dan harus segera mengerjakan soal-soal ini.
“Ya, Bu. Tentu saya baik-baik saja,” balasku sambil tersenyum. Pengawas tersebut balas tersenyum kemudian berjalan menjauh, mengawasi peseta ujian lainnya.
Aku mulai mengerjakan soal-soal yang kuanggap mudah. Sebelas soal terjawab, masih ada dua puluh sembilan lainnya. Sepertinya jawabanku pada pengawas tadi tidak sepenuhnya benar. Aku tidak benar-benar baik pagi ini. Perutku mulai terasa nyeri. Sangat nyeri. Rasanya bak ditusuk ribuan jarum tepat di lambung.
Mag.
Aku seketika menyadari bahwa penyakit ini kambuh. Ya, pagi tadi aku tidak sarapan. Bukan karena kesiangan, tapi karena tidak ada sesuatu yang bisa dimakan. Uang ibu hanya cukup untuk membeli dua buah nasi bungkus. Aku mencoba untuk tidak mempedulikan rasa sakit ini. Soal demi soal kembali kujawab sambil susah payah menahan sakit yang tidak kunjung membaik, justru semakin menjadi-jadi.
Dua puluh lima soal terjawab. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi dahi. Semakin deras hingga jilbab yang kukenakan pun sedikit basah. Ingin rasanya aku berhenti. Tapi tidak, tidak bisa. Jika aku berhenti itu sama saja bunuh diri. Nilai yang akan kudapat adalah nilai dari jawabanku saat ini. Aku baru menjawab dua puluh lima soal, itu berarti nilaiku hanya 62,5. Itu pun apabila semua jawaban benar. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku bisa. Aku harus kuat! Aku kuat! Aku mampu! Aku akan mendapat nilai sempuna!
Tiga puluh tiga soal kukerjakan. Ayo, Zahfira, tujuh soal lagi.
Aku mulai merintih kesakitan. Kulirik jam dinding di pojok depan ruangan. Waktu tinggal lima belas menit. Mustahil bagiku mengerjakan tujuh soal ini dalam lima belas menit. Terlebih mengoreksi kembali, waktu tidak akan cukup. Aku terus mancoba, terus berusaha.
Sepuluh menit berlalu. Masih ada tiga soal yang belum tuntas. Keringat dingin tidak kunjung berhenti mengalir. Rasa sakit di perutku pun masih setia menemani. Aaaarrrggghhh! Aku mengukuti diriku sendiri. Tidak mungkin aku bisa mendapatkan nilai seratus. Tubuhku mulai lemas. Otakku seakan tidak mampu lagi bekerja. Pupus sudah harapan untuk mendapatkan nilai sempurna. Runtuh sudah kesempatan untuk mendapatkan smart phone. Bukan apa-apa, aku ingin mendapatkan smart phoneitu untuk biaya mengobatan ibu. Maksudku, aku akan menjualnya terlebih dahulu atau meminta uang tunai senilai smart phonesaja kepada Pak Alif.
Sejenak, kututup mata dan kutundukkan kepala. Tak terasa butiran air mata mengalir menambah basahnya pipi, bercampur dengan keringat dingin. Ya Rabb, jika nasi bungkus hamba pagi tadi benar-benar bermanfaat untuk ibu tua itu dan jika hamba ridho memberikannya, maka bantulah hamba mendapatkan nilai sempurna dalam ujian ini.
Ya, itulah mengapa pagi ini aku tidak sarapan hingga mag-ku kambuh. Ibu hanya mempunyai uang untuk membeli dua buah nasi bungkus. Nasi bungkus pertama kusuapkan pada ibu, aku tidak tega melihat beliau terbaring sakit di atas ranjang. Kulit wajahnya kian keriput. Semakin hari badannya semakin kurus, seolah menjadi saksi penderitaan beliau yang berkepanjangan.Ayah? Ayahku meninggal dua tahun lalu karena penyakit yang sama dengan penyakit ibu, TBC. Inilah penyakit yang sering menyerang orang kecil seperti kami.
Nasi bungkus yang kedua seharusnya menjadi bagianku. Namun saat perjalanan pulang dari warung nasi, seorang wanita tua menghampiriku. Wanita itu sepertinya sakit. Wajahnya pucat dan bibirnya membiru karena kedinginan. Cara berjalannya sedikit pincang walaupun telah dibantu sebuah tongkat untuk menopang berat badannya yang tidak seberapa.
“Nak, maukah kau berbagi sedikit makanan? Nenek belum makan sedari kemarin,” katanya mengiba.
Aku menatap nasi bungkus di tanganku, kemudian memandang wanita tua itu. Tidak mungkin nenek ini berbohong. Kulihat badannya gemetar, mungkin karena lapar. Hatiku seperti tersayat. Aku dilema. Haruskah aku memberikan nasi ini? Aku juga belum makan sedari kemarin siang. Aku harus sarapan agar aku bisa mengerjakan soal tes IPA pagi ini. Di lain sisi, siapa yang tidak iba? Siapa yang tidak trenyuh hantinya melihat wanita tua ini?
Akhirnya, kuputuskan memberikan nasi bungkus jatahku kepada nenek tua itu. Ia tak henti-hentinya beryukur kepada Allah kemudian berterimakasih kepadaku. Ia memakan nasinya dengan lahap. Aku hanya tersenyum. Semoga Allah memberikan kekuatan bagiku mengerjakan soal-soal ujian IPA pagi ini walaupun aku tidak sarapan.
Menit-menit terakhir yang tersisa kugunakan sebaik mungkin untuk mengerjakan soal-soal yang belum terjawab. Tepat saat bel berbunyi, aku selesai memberikan bulatan pada lembar jawaban untuk soal terakhir. Aku sudah pasrah. Inilah kemampuan terbaikku. Aku sudah belajar mati-matian untuk mendapatkan nilai sempurna. Aku berusaha keras mengerjakan ujian ini meskipun sakit di perutku tak tertahankan. Semoga Allah membantuku. Ibu, maafkan Zhafira.
Aku membereskan peralatan ujianku sebelum meninggalkan ruang ujian. Baru berjalan beberapa langkah dari bangkuku, kepalaku mendadak pusing dan tiba-tiba … semua gelap.
******
Hari pengumuman nilai ujian tiba. Bukan, bukan hari terima rapot, tapi hanya pembagian nilai murni ujian yang belum dikalkulasi dengan nilai ulangan harian. Suasana kelas menjadi tenang ketika Pak Alif, guru IPA yang kebetulan wali kelasku, memasuki ruangan. Beberapa anak tampak tegang, ada juga yang senyum-senyum karena yakin nilai ujiannya akan bagus.
“Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.” Pak Alif mengawali kelas dengan salam. Serentak anak-anak menjawab salam tersebut.
“Baiklah, Anak-anak. Sejauh ini nilai kalian memuaskan untuk semua mata pelajaran. Hanya ada dua murid yang nilainya belum mencapai KKM. Sedangkan untuk mata pelajaran IPA sendiri, semuanya telah mencapai KKM.”
Anak-anak bersorak kegirangan mendengar ucapan Pak Alif. Sedangkan aku masih terperangkap dalam benteng ketegangan yang kuciptakan sendiri. Akankah nilai IPA-ku sempurna? Akankah aku mendapatkan hadiah dari Pak Alif itu? Bukan untuk apa-apa, aku hanya ingin menggunakan uang hadiah itu untuk pengobatan ibu. Aku sudah tidak kuat lagi melihat penderitaan beliau yang tidak kunjung usai.
“Namun, sayang sekali …” Pak Alif melanjutkan bicaranya. Kelas mendadak hening. Anak-anak menutup rapat mulut mereka. “… sayang sekali tidak ada yang mendapatkan nilai seratus pada mata pelajaran IPA.”
Deg.
Kalimat terakhir Pak Alif sukses membuat tubuhku begitu lemas. Benar-benar pupus harapan untuk membawa ibu berobat. Aku berusaha membendung aliran air mata yang siap tumpah. Tidak! Aku tidak boleh menangis. Ya Allah, hamba sudah belajar keras, berusaha mengerjakan walaupun sakit… dan nasi bungkus, apakah tidak berguna bagi wanita tua itu, Ya Rabb? Atau hamba yang tidak ridho, tidak ikhlas memberikannya?
“Peraih nilai tertinggi untuk mata pelajaran IPA kali ini hanya satu anak, seperti biasa, adalah Zhafira. Nilainya 97,5, hanya salah satu nomor. Selamat ya, Zhafira.”
Aku hanya tersenyum kecut. Tidak ada gunanya nilai tertinggi jika tidak bisa mendapat hadiah untuk pengobatan ibu.
“Apakah kalian membawa naskah soal ujian IPA kalian?” tanya Pak Alif.
Anak-anak menjawab antusias, “Ya, Pak.” Hanya aku yang tertunduk lesu.
“Coba kalian perhatikan soal nomor tujuh. Kebanyakan kalian salah pada soal itu. Termasuk juga Zhafira salah pada soal nomor ini.”
Ha? Aku mendongak dan memperhatikan soal yang disebut Pak Alif tadi. Tidak, sepertinya aku tidak salah. Aku yakin menghitungnya dengan benar.
“Untuk menghitung energi pada rangkaian resistif, kalian harus mengalikan tegangan, kuat arus dan waktu. Nah, karena yang ditanyakan adalah energi pada satu lampu saja, maka kalian harus menghitung tegangan jepit dan kuat arus pada lampu tersebut terlebih dahulu. Setelah itu, baru kalian bisa memasukkannya ke rumus awal.” Pak Alif menjelaskan panjang lebar.
Cara menghitungku sudah sama seperti penjelasan Pak Alif. Aku berusaha menghilangkan keraguanku dengan menghitung kembali soal pada nomor itu dan tidak lagi mendengarkan penjelasan Pak Alif.
“Bapak akan menuliskan jawaban di papan, kemudian kita akan membahasnya bersama” istruksi Pak Alif. Beliau lalu mulai menuliskan jawabannya di whiteboard.
Selesai menghitung, aku memperhatikan dan mencocokkan jawabanku dengan jawaban di papan tulis. Kurunut satu per satu, langkah per langkah. Dan kedua jawaban memang berbeda. Tunggu!
“Pak Alif, maaf,” ucapku sembari mengacungkan tangan.
“Ya, Ra. Ada yang bisa Bapak bantu?”
“Sepertinya Bapak salah menghitung.” Aku kemudian menunjuk ke papan tulis. “Pada langkah ke lima, hasil perkalian untuk mendapatkan nilai tegangan jepit seharusnya enam volt. Jadi hasil akhir seharunya dua puluh empat joule.”
Pak Alif sejenak memperhatikan tulisannya sebelum akhirnya mangut-mangut, “Oh, iya. Kau benar, Zhafira. Maaf, Bapak salah menghitung sehingga kunci jawaban ujian kalian untuk nomor ini pun salah.” Pak Alif segera mengganti jawabannya.
“Wah! Pak, jadi seharusnya saja dapat delapan puluh ini. Hehe.” Udin, salah satu temanku menyeletuk sambil terkekeh.
“Huh! Aku tetap saja salah,” ujar Annisa.
Susana kelas menjadi gaduh. Pak Alif berusaha untuk menguasai keadaan.
“Oke, tenang! Bapak akan mengoreksi ulang pekerjaan kalian. Jadi, sementar ini hanya Zhafira yang mendapatkan nilai seratus. Selamat Zhafira, kau mendapatkan smart phone yang Bapak janjikan.” Guru itu tersenyum bangga.
Suasana kelas kembali ramai. Anak-anak berteriak menyelamatiku, ada juga yang bersiul.Ada kelegaan yang luar biasa menyelinap masuk ke dadaku. Alhamdulillah. Terima kasih, Ya Rabb. Engkau mengabulkan doaku.
“Selamat, Zahfira. Ciiee, dapat ponsel baru nih. Beruntung sekali dirimu,” teriak Annisa, teman sebangkuku, sambil menghambur memelukku.
Ya, beruntung. Seperti namaku, Zhafira, yang berarti beruntung.
“Beruntung? Beruntung bukanlah sesuatu yang bisa kita dapatkan secara cuma-cuma, Nis. Tapi beruntung adalah buah dari ikhtiar terbaik kita, doa dan kebermanfaatan kita untuk orang lain.”
“Ah, iya. Proud of you, Zha.” Senyum turut bahagia menghiasi bibir gadis di sebelahku ini.
Oleh : Ardinda Kartikaningtyas, Blora Jawa Tengah